tirto.id - Sukim hanyalah seorang nelayan miskin di sebuah desa kecil di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Selama belasan tahun, Sukim bekerja di kapal ikan lokal maupun internasional. Ia sudah kenyang pengalaman di laut. Dari pengalaman itu pula Sukim sadar akan satu hal: masih banyak nelayan lokal yang tetap miskin meski sudah melaut bertahun-tahun.
Sukim memutar otak. Ia punya mimpi untuk memberikan kesejahteraan bagi nelayan di kampungnya. Industri perikanan lokal kala itu dinilai tak memberikan hasil optimal bagi buruh penangkap ikan, selain utang yang menumpuk. Satu-satunya cara agar pundi uang bisa terisi dengan cepat adalah dengan bekerja di luar negeri.
Ia merasa selama ini masih sedikit informasi dan fasilitas yang dapat dimanfaatkan oleh para tenaga kerja yang hendak bekerja di luar negeri sebagai anak buah kapal (ABK) kapal ikan. Banyak buruh yang tak tahu harus menuju ke mana agar dapat bekerja di luar negeri. Sukim melihat ceruk pasar yang belum tergarap.
Maka berbekal pengalaman dan jaringan yang kuat, Sukim bersama rekan-rekan sesama mantan ABK merintis sebuah perusahaan penyalur buruh migran bernama PT Seva Jaya Bahari sekira satu dekade lalu. Perusahaan yang terletak di Jl. Laksda Yos Sudarso, Pemalang tersebut bisa dibilang merupakan pionir dalam industri penyalur ABK yang kelak menjamur di Jawa Tengah, terutama di daerah pesisir utara.
Bisnis Sukim moncer. Banyak pengusaha dan mantan ABK yang lantas mengikuti jejaknya. Perusahaan serupa pun menjamur di seantero pesisir utara Jawa meliputi Tegal, Pemalang, Pekalongan, dan Cirebon. Hanya dalam waktu sebentar, Sukim sudah memberangkatkan ratusan orang - kebanyakan ke perusahaan penangkapan ikan di Cina dan Taiwan - dan melebarkan sayap dengan membuka beberapa perusahaan lain.
Di tengah menjamurnya agen penyalur ABK, PT Seva Jaya Bahari bubar setelah mengalami konflik antar pemiliknya pada 2014. Ia lantas fokus mendirikan PT Puncak Jaya Samudra (PJS) - sebuah perusahaan yang diklaim sebagai yang terbesar di Indonesia, bahkan di Asia oleh banyak pihak. PT PJS mengklaim mampu memberangkatkan sekira 600-800 ABK ke Asia dan Eropa per tahun, terbanyak jika dibandingkan agen penyalur lainnya. Mereka juga mengklaim telah memasok lebih dari 2.000 kru Indonesia ke kapal Taiwan dan menjadi mitra Fraserburg Inshore Fisheries (Inggris) & Chin Hong Corporation (Taiwan).
Tak butuh waktu lama, Sukim kembali memperluas emporium bisnisnya dengan mendirikan PT Astrindo Artha Samudra (AAS) di Pekalongan pada 2016 bersama Andi Sumarwanto, mantan ketua organisasi kepemudaan Laskar Merah Putih Pekalongan, yang merupakan sahabatnya. Di saat yang bersamaan, Sukim menjabat sebagai direktur utama PT PJS sekaligus komisaris PT AAS.
Herman Suprayogi, direktur PT PJS, menjelaskan peran Sukim dan perusahaannya dalam apa yang disebutnya demi ‘mengangkat kesejahteraan pelaut lokal’. Herman berujar, sejak berdirinya perusahaan itu banyak nelayan lokal yang sukses menjadi ABK kapal berbendera asing. Ia mengklaim nasib nelayan yang berlayar dengan kapal asing berubah, ditandai dengan munculnya rumah-rumah baru berdinding bata dan jumlah kendaraan pribadi yang meningkat di beberapa wilayah yang menjadi kantong-kantong buruh migran.
“Itu contoh keberhasilannya,” ujar Herman. "Bukan rahasia lagi kesejahteraan pelaut lokal masih minim dengan penghasilan di bawah UMK. Sehingga Pak Sukim mulai dari itu dengan teman-temannya merintis PT Seva Jaya Bahari untuk memfasilitasi pelaut-pelaut yang mau berangkat kerja di kapal luar negeri," kata Herman di kantornya, Rabu, (27/9).
Herman menjelaskan banyak perusahaan yang berdiri kala itu memanfaatkan kekosongan regulasi di tingkat pemerintah pusat. Kala itu belum ada aturan soal penempatan pelaut Indonesia di kapal asing. Undang-undang no.39 tahun 2004, yang mengatur Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, belum mengatur secara spesifik soal penempatan ABK dan menyatakan pelaut masuk dalam profesi tertentu yang akan diatur oleh kementerian terkait - dalam hal ini Kementerian Perhubungan. Baru pada 2013 Kemenhub mengeluarkan aturan soal kewajiban perusahaan untuk memegang Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK).
"Pada saat kekosongan regulasi, manning agency sudah menjamur," katanya.
Berdasarkan dokumen yang didapat oleh Tirto.id dan Project Multatuli serta dikonfirmasi oleh Herman, Sukim memiliki saham sebesar Rp2.1 miliar di PT PJS dan Rp375 juta di PT AAS. Ia juga terafiliasi dengan beberapa perusahaan yang dikendalikan oleh keluarga dan rekan-rekannya, termasuk PT Mega Pratama Samudra di Batang, Jawa Tengah; PT Ocean Jaya Samudra, PT Baruna Jaya Sentosa, dan PT Duta Samudra Bahari, ketiganya berbasis di Pemalang.
Sukim menolak menjawab ketika ditanya lebih dalam soal PT PJS. Ia hanya mengarahkan tim liputan untuk menghubungi Herman.
Tak Ada Kesejahteraan Bagi ABK
Zaenudin, pria 38 tahun asal Demangharjo, Tegal adalah seorang mantan ABK. Sama seperti banyak pemuda desa di Tegal, Zae - sapaan akrabnya - berniat bekerja di luar negeri sebagai ABK demi keluar dari jerat kemiskinan. Ia sudah melaut sejak 2001. Mimpinya kesampaian. Sejak 2005, Zae sudah berpengalaman berlayar di laut lepas dari Asia Selatan hingga Oseania. Pada 2017, Zae direkrut oleh PT PJS. Ia ditempatkan di sebuah kapal penangkap ikan Cina Zhong Da yang berlayar ke perairan Fiji.
Sebelum berangkat, Zae diwajibkan menyerahkan ijazah, KTP, Kartu Keluarga, SKCK, paspor, buku pelaut, dan sertifikat basic safety training. Ia juga wajib membayar deposit sebesar $1.000 sebagai jaminan jika sewaktu-waktu Zae melanggar kontrak kerja. Jika tidak sanggup membayar, semua dokumen yang masuk ke PT PJS akan ditahan.
Tak pernah disangka, Zae justru diperbudak di kapal itu. Selama tujuh bulan sejak Oktober 2017, ia bekerja dalam kondisi yang tak manusiawi. Ia tak bisa mengontak keluarganya di kampung. Terlebih, ia rutin mendapat kekerasan fisik dan verbal dari kapten dan koki kapal tersebut.
"Kondisi untuk makan di kapal kurang layak, setiap malam pada saat kerja hanya dikasih makan ikan direbus dengan garam dan nasi. Itu pun saya makan tidak sampai habis karena menunya hanya itu dan itu saja. Untuk air minum saya minum dengan merebus dan menyimpan sendiri,” ujar Zae.
Tak kuat menghadapi siksaan lagi, ia memutuskan pulang sebelum masa kontraknya habis. Karena pilihannya tersebut, ia harus merogoh kocek sendiri untuk membeli tiket pesawat pulang. Zae pulang dengan tangan kosong.
Zae mengatakan sesampainya di Indonesia ia berusaha menagih PT PJS atas gajinya yang belum dibayarkan. PT PJS hanya memberinya uang Rp1 juta. Selebihnya, mereka mengatakan bahwa gaji Zae justru minus Rp13.500.000 untuk biaya pemberangkatan dan pembuatan dokumen.
Sudah berulang kali ia mendatangi kantor PT PJS untuk menuntut haknya. Namun usahanya sia-sia. Selama bekerja di Zhong Da, Zae dijanjikan gaji $405 per bulan. Dia seharusnya menerima $2.835.
Sampai detik ini, semua dokumen penting miliknya masih ditahan oleh PT PJS.
Tak ingin kejadian itu berulang, ia memutuskan aktif berorganisasi untuk mengadvokasi ABK yang menjadi korban. Saat ini Zae aktif sebagai ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Tegal.
Zae menilai pernyataan PT PJS soal memberikan kesejahteraan ABK berkebalikan dengan fakta di lapangan. Menurutnya banyak ABK yang mengadu ke SBMI terkait persoalan upah yang tidak dibayar dan pemilik perusahaan yang kabur dari tanggung jawab.
"Katanya mensejahterakan ABK, tapi faktanya kesejahteraan itu untuk perusahaan [PT PJS] dia sendiri," kata Zaenudin, Senin (13/12). "Itu bukan kesejahteraan untuk ABK. Kasus pengaduan ABK banyak terjadi di PT PJS.”
Berdasarkan laporan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), sejak September 2014 hingga Juli 2020 terdapat 338 aduan terkait kerja paksa di laut yang dialami ABK Indonesia di kapal ikan asing. Pada 2020, jumlah pengaduan yang masuk sebanyak 104, meningkat dibanding tahun 2019 sebanyak 86 pengaduan.
Data lainnya, terdapat 21 laporan yang masuk ke SBMI Tegal yang menyangkut PT PJS pada tahun ini. Beberapa persoalannya meliputi sisa gaji di atas kapal yang belum dibayarkan meskipun sudah selesai kontrak, uang asuransi yang tak dapat diklaim, dokumen yang ditahan, serta status kepulangan yang belum jelas.
Sementara dalam catatan Greenpeace Indonesia dan SBMI yang terbit pada Mei 2021, ada sekira 13 aduan sepanjang 13 bulan yang dialamatkan kepada PT PJS.
Erni Hikmah, Sekretaris SBMI Tegal menjelaskan dari 21 laporan, empat diantaranya diselesaikan secara paksa oleh perusahaan yang disertai dengan ancaman. Pemaksaan tersebut berupa ancaman penahanan dokumen jika ABK tidak kooperatif.
“Ada yang sudah selesai secara terpaksa, artinya mereka tidak penuh dapat hak-haknya karena butuh dokumen juga akhirnya menerima,” ucap Erni.
Pada 2020, Kemenlu mencatat ada 1.451 laporan dari ABK kapal asing terkait pelanggaran hak-haknya sepanjang 2020. Angka tersebut meningkat dari 1.095 pada 2019. Pelanggaran tersebut meliputi masalah repatriasi, gaji yang tak dibayar, kekerasan, dan kematian.
Pengalaman yang menimpa Zae turut dialami pula oleh Riski Agung Sulaiman, salah seorang ABK asal Cikampek, Jawa Barat yang diberangkatkan oleh PT PJS. Pemuda 27 tahun itu bergabung dengan kapal Han Rong 363 yang melaut di Laut Arab pada 2018. Setelah berlayar selama 26 bulan, Riski pulang dengan tangan kosong. Dalam perjanjian kerja, Riski berhak mendapat upah $350 per bulan, dengan rincian $100 untuk deposit, $200 untuk keluarga, dan $50 upah di atas kapal.
Setelah mendatangi kantor PT PJS, Riski hanya diberi upah di atas kapal selama enam bulan. Itu pun, katanya, tidak dibayar sebagaimana mestinya.
Puncaknya terjadi pada Desember 2020, ketika puluhan ABK menggelar demonstrasi di depan kantor PT PJS demi menuntut upah yang belum dibayar.
Bisnis Kematian di Laut Lepas
Tak cuma soal kesejahteraan, para ABK pun turut bertaruh nyawa di laut lepas. Berdasarkan pengaduan yang diterima oleh SBMI, sepanjang tahun 2015 hingga tahun 2020, terdapat 11 ABK asal Indonesia yang meninggal di atas kapal ikan asing. Pada Mei 2020, Dua ABK Indonesia, Daroni dan Riswan asal Jawa Tengah, meninggal di atas kapal berbendera Cina, Han Rong 363 dan Han Rong 368, dan jenazahnya dilarung di laut tanpa sepengetahuan keluarga.
Daroni diberangkatkan oleh PT PJS, sementara Riswan lewat PT Mega Pratama Samudra - dua perusahaan yang terafiliasi dengan Sukim.
"Tidak ada kabar atau informasi apa pun dari pihak PT tentang kondisi Daroni di atas kapal. Tahu-tahu dapat kabar bahwa anak saya sudah meninggal pada 19 Mei lalu," kata ibu Daroni, dikutip ABC News.
Joni Ramdani, rekan Daroni di atas kapal, ingat betul bagaimana kondisi lingkungan kerja di Han Rong 363. Joni menggambarkan kepada Tirto bahwa perlakuan terhadap ABK Indonesia di kapal Cina itu bak “anjing peliharaan sang kapten kapal.”
“Kalau anjing makan kacang, ABK dikasih makan kacang. Kalau anjing makan kepiting rebus, ABK dikasih makan kepiting rebus, yang enggak ada rasanya. Kalau anjing makan bakpau, kami makan bakpau. Anjing itu kita sebut monsternya kapten.”
Daroni adalah teman Joni sejak mereka mendaftar di PT PJS. Ia bercerita sempat mengajak Daroni untuk mengikutinya pulang ke Indonesia pada 26 Februari 2020. Tapi, Daroni menolak karena takut ancaman utang dokumen dan harus ganti tiket pesawat jika tak menyelesaikan kontrak paksa tersebut.
“Sebenarnya, ABK Indonesia lain pengin pulang, tapi enggak berani karena utang perusahaan,” kata Joni. “Ini benar-benar menyiksa orang Indonesia di kapal. Lebih baik mereka dipulangkan.”
Joni pun tak percaya jika Daroni meninggal akibat maag, seperti yang diklaim oleh perusahaan.
“Katanya sakit maag, tapi saya enggak percaya. Pasti sebabnya kecapekan, makan enggak benar, minum enggak benar,” kata Joni Ramdani kepada Tirto.
Tak Memenuhi Hak, Mengintimidasi ABK Pula
Praktik intimidasi perusahaan penyalur terhadap ABK yang menuntut haknya sudah umum terjadi. Pada Agustus 2021 misalnya, para ABK didampingi Erni dari SBMI terlibat adu mulut dengan Andi Sumarwanto dari PT AAS.
Saat itu para ABK tengah mendatangi sebuah rumah untuk mencari Agus Riyanto, direktur PT Bahari Kru Manajemen, yang menunggak gaji para ABK berbulan-bulan. Namun bukannya Agus yang menemui para ABK, justru Andi yang keluar menemui bersama enam orang yang diduga sebagai anak buahnya.
Di dalam ruang tamu, anak buah Andi lantas mengunci pintu rumah. Pembicaraan dimulai dengan menyampaikan tujuan kedatangan para ABK, lalu salah seorang ABK asal Ambon, Julkifli Soumena mempertanyakan keberadaan Agus Riyanto. Bukannya menjawab, Andi membentak Julkifli. Dia mengatakan Julkifli tak sopan.
"Sekarang maunya apa, saya punya ormas, lu punya apa? Bajingan lu ya!" kata Andi sambil menunjuk muka Julkifli. "Mau lu orang timur, anggota gue juga orang timur banyak. Enggak usah ketawa-ketawa. Ini bukan kantor, ini rumah, gue bisa ngusir lu. Lu keluar!" teriak Andi.
Ancaman serupa juga pernah didapat Muhammad Chadziq. Menurutnya, Andi kerap membawa nama ormasnya ketika ditagih upah oleh ABK. Dia sering memamerkan foto anak buahnya dan bisa dengan mudah memanggil mereka atas perintahnya.
Chadziq, pria 28 tahun asal Pekalongan, masih ingat betul pengalamannya ketika diberangkatkan oleh PT AAS pada 16 November 2017 ke Uruguay. Chadziq bekerja di kapal Fu Yuan Yu 880 berbendera Cina, yang dioperasikan oleh perusahaan Fujian Lianjing Farsea Fishery Co.ltd. Wilayah operasi kapal tersebut meliputi Uruguay, Peru, Argentina, dan India.
Saat berlayar, Chadziq dan ABK asal Indonesia lainnya dieksploitasi dengan bekerja lebih dari 12 jam setiap hari. Para ABK juga rutin mengalami kekerasan fisik, kekerasan verbal, serta menerima makanan tak layak konsumsi. Penderitaan itu berlanjut ketika tiba di Indonesia. Upahnya sebesar Rp20 juta selama bekerja tak kunjung dibayar PT AAS.
Chadziq mengungkapkan, sejak pulang ke Indonesia 27 Juli 2019, ia sudah mendatangi rumah Andi sekaligus kantor perusahaan sebanyak 20 kali lebih untuk menagih upah kerja. Terakhir, Chadziq mendatangi Andi pada pertengahan tahun ini. Sementara ABK lainnya tak ada yang berani datang untuk menagih. Sebab, Andi kerap menggunakan relasinya dengan ormas Laskar Merah Putih untuk mengintimidasi ABK yang mencoba menagih upah.
Andi juga kerap beralasan bahwa perusahaan rekanan PT AAS di Taiwan belum mentransfer upah ABK kepadanya. Andi juga menolak ketika Chadziq berupaya meminta kontak perusahaan di Taiwan.
"Kalau emang benar omongan dia, pasti kasih nomor kontak perusahaan [di Taiwan]. Aku sudah sempat minta beberapa kali, malah dia mengalihkan pembicaraan. Dia bilangnya percuma kamu hubungi [perusahaan], enggak bakal diangkat," ungkap Chadziq.
Saat dihubungi, Andi mengklaim bahwa PT AAS sudah tutup dua tahun lalu dan tidak merespon ketika ditanya soal upah ABK yang belum dibayar.
Cara PT PJS Melebarkan Sayapnya
Menurut Zaenudin, PT PJS memiliki jaringan perekrut yang luas, namun basis operasional utamanya tetap Pulau Jawa. Zae mengatakan PT PJS memberikan upah kepada calo yang berhasil merekrut antara Rp1-1.5 juta per kepala. Perekrutan itu dilakukan melalui getok tular dan media sosial, kata Zae.
Semuanya dengan modus yang sama: iming-iming gaji tinggi, bebas biaya dokumen dan pemberangkatan, serta tidak memandang status pendidikan.
Zae mengatakan, PT PJS menerapkan fee perekrutan yang rendah, sehingga menarik banyak perusahaan penangkap ikan di luar negeri.
“Perusahaan di luar itu mencari fee yang paling kecil. Kalau fee terlalu besar, permintaan ABK dari perusahaan luar sedikit. kalau fee kecil, otomatis perusahaan akan banyak minta ke agen. Risiko yang akan dialami ABK justru lebih besar. Karena ketika berangkat perusahaan tidak memandang fisik, semua bisa,” ungkap Jae. “Kenapa kasus di PT PJS banyak, karena permintaan tenaga kerja dalam satu bulan bisa mencapai 200 orang.”
Fee perekrutan itu menurut Zae bervariasi, antara $30-$50 per orang.
Direktur PT PJS, Herman Suprayogi, mengatakan perusahaannya justru menjadi jembatan bagi para pencari kerja. Sebab perusahaannya dapat menyediakan buruh migran dengan bermacam dokumen seperti paspor, buku pelaut, basic safety training (BST) dan sebagainya. Untuk mendapatkan dokumen itu semuanya butuh biaya dan calon ABK tak punya kemampuan finansial. Menurutnya, hampir 99% calon ABK memanfaatkan fasilitas itu di perusahaannya dengan biaya tertentu.
Ia menepis tudingan bahwa perusahaannya mengeksploitasi dan menipu ABK.
"Jadi di kami tidak ada penjeratan utang. Hal itu tidak ada sama sekali. Tapi kami menalangi pengurusan dokumen yang mereka tidak punya," kata Herman mencoba meyakinkan.
Selain biaya dokumen, perusahaan juga memberikan pinjaman kepada calon ABK, misalnya, untuk keperluan tiket bagi ABK yang ingin pulang ke kampung halaman. Perusahaan juga menyediakan mess yang dapat digunakan, tentu, lagi-lagi dengan biaya.
"Kita manusia, tapi kami juga tidak lupa bahwa kami adalah pengusaha," kata Herman.
Herman menuturkan untuk pembuatan dokumen tersebut, perusahaan tidak bisa melakukannya sendiri melainkan melalui biro jasa resmi.
"Kalau untuk dokumen-dokumen itu di angka Rp2,4 juta. Itu sudah termasuk asrama, asuransi, makan dan buku pelaut," kata Herman.
Laporan Tak Digubris Polisi
Ketua Umum SBMI Hariyanto Suwarno menyebut setidaknya ada tiga faktor penyebab terjadinya praktik perbudakan modern ini. Di antaranya karena tata kelola penempatan ABK yang masih amburadul, penindakan hukum yang kurang tegas terhadap para pelaku penempatan ABK yang bermasalah, serta lemahnya pengawasan dari pemerintah.
“Berdasarkan catatan SBMI, jenis praktik perbudakan terhadap ABK Indonesia ini di antaranya gaji tidak dibayar, tindak kekerasan hingga menyebabkan kematian, bahkan hingga pelarungan jenazah tanpa seizin keluarga. Praktik perbudakan ini telah merampas hak asasi para ABK sebagai manusia dan harus segera diakhiri,” tegas Hariyanto.
Namun upaya mengakhiri perbudakan tersebut terbukti tak mudah, setidaknya ketika hukum justru tak memihak ke buruh migran.
Pada awal September 2020, Erni mewakili SBMI Tegal bersama Chadziq dan seorang ABK bernama Ifan Ramadiansyah melaporkan Andi dari PT AAS ke Polres Pekalongan Kota terkait upah ABK yang belum dibayar. Erni juga telah memberikan data-data ABK yang dibutuhkan, seperti surat perjanjian kontrak, sebagai bukti pendukung.
"Sudah buat laporan, tapi surat tanda terima laporan polisi tidak dikasih," ucap Erni. "Waktu diminta surat laporan kepolisian, jawabannya nanti saja, nanti dihubungi."
Sebulan kemudian, pihak SBMI mendatangi lagi Polres Pekalongan Kota untuk menanyakan perkembangan kasus. Salah seorang petugas hanya bilang sudah memanggil perusahaan, tapi tidak direspon. Selanjutnya, pada November 2020, dua ABK dipanggil pihak Polres Pekalongan Kota dengan surat nomor B/353/XI/2020/Reskrim untuk dimintai keterangan.
Chadziq mengatakan dia beserta temannya sudah dimintai keterangan oleh pihak penyidik, tapi sampai sekarang tidak ada tindak lanjut dari pihak kepolisian.
"Saya heran, enggak ada kelanjutan. Walaupun kita lapor ke aparat, kasus saya dan ABK lainnya enggak ada kelanjutan," ucap Chadziq akhir November lalu.
Kasus lain yang dilaporkan para ABK adalah PT Bahari Kru Manajemen ke Polres Tegal, namun petugas mengarahkan untuk melaporkan ke Polsek Suradadi, Tegal. Saat mendatangi kantor Polsek, SBMI dan para ABK membawa surat pengaduan terkait upah yang tidak dibayar yang akan ditembuskan ke Mabes Polri beserta tujuh kementerian dan lembaga pemerintah.
Melihat isi surat itu, petugas terlihat gusar. Mereka menyarankan agar kasus tersebut dimediasi terlebih dahulu, alih-alih membuat laporan polisi secara resmi. Pihak SBMI dan para ABK lantas meminta untuk dimediasi oleh Polsek Suradadi karena perusahaan selalu menghindar.
Janji mediasi tersebut tak pernah dipenuhi oleh Polsek Suradadi.
Liputan ini merupakan hasil kolaborasi antara Tirto.id, Project Multatuli, dan Greenpeace Indonesia.
Penulis: Adi Renaldi
Editor: Adi Renaldi