tirto.id - Sugiono* adalah salah satu ABK yang kecewa dengan kinerja Satuan Tugas (Satgas) Tindak Pidana Perdagangan orang (TPPO) Bareskrim Polri. Penyebabnya, kasus perbudakan ABK yang menimpanya tiga tahun lalu tak pernah tuntas hingga saat ini. Upahnya selama bekerja belum dibayar, sementara perusahaan penyalur kabur dari tanggung jawab.
Pria 27 tahun itu sudah bekerja sebagai ABK di kapal asing cukup lama. Sebelumnya ia berangkat bekerja lewat salah satu perusahaan asal Pemalang, Jawa Tengah tanpa kendala berarti. Dia berhasil menuntaskan kontrak selama dua tahun dengan upah penuh.
Sugiono kemudian berangkat lagi ke luar negeri lewat perusahaan penyalur lain. Iming-imingnya lumayan: gaji $550 (Rp8 juta dalam kurs saat ini) per bulan.
"Alasan saya bekerja ke luar negeri dan memilih bekerja di sektor laut karena mencari pekerjaan di darat itu sulit,” ucap Sugiono. “Sedangkan saya harus memperbaiki ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan untuk masa depan saya nanti."
Iming-iming gaji besar menjadi petaka bagi Sugiono. Sekitar dua tahun bekerja di kapal berbendera China, perusahaan penyalurnya hanya mentransfer gajinya dua kali. Sedangkan sisanya tidak dibayarkan.
Bukan hanya persoalan gaji, Sugiono bekerja dalam kondisi tak manusiawi. Ia pernah bekerja 24 jam nonstop tanpa istirahat, diberi makanan dan minuman yang tidak layak, serta hampir tak pernah menginjak daratan untuk sekedar beristirahat. Terlebih, ia sering mendapat kekerasan fisik dari atasannya.
Buruknya perlakuan yang ia terima membuat Sugiono memberanikan diri melapor ke Satgas TPPO Bareskrim Polri agar kasusnya tuntas. Namun seiring waktu, proses penyelidikan polisi tidak menunjukkan hasil. Sugiono sangsi kasusnya bisa diselesaikan. Ia sempat berulang kali menanyakan progres kasus kepada penyidik Satgas TPPO Bareskrim Polri yang melakukan pemeriksaan, namun belum ada respons menggembirakan.
"Kata penyidik Bareskrim lagi diselidiki, lagi cari bos perusahaannya tapi enggak ketemu," katanya.
Berlarutnya persoalan ABK bukan hanya dialami Sugiono. Riski Agung Sulaiman, ABK asal Cikampek, Jawa Barat. Pria 27 tahun itu dipulangkan oleh KBRI Sri Lanka usai dua temannya Riswan dan Akhmad Wahid meninggal di kapal Han Rong 368, berbendera China. Tiba di Indonesia, Riski langsung dijemput tim Bareskrim Polri di Bandara Soekarno Hatta pertengahan 2020. Kepada Riski, pihak Bareskrim berjanji akan mengusut tuntas kasus yang menimpa dirinya.
Riski adalah ABK yang diberangkatkan oleh PT puncak Jaya Samudra (PJS) pada 2018. Ia bekerja selama 26 bulan dengan upah $350 per bulan. Rinciannya $100 untuk deposit, $200 untuk keluarga, dan $50 upah di atas kapal. Ia bilang, upah di atas kapal belum dibayar sepenuhnya oleh perusahaan.
"Setelah dikumpulkan, kita dipulangkan. Ya sampai sekarang mana, enggak ada kabarnya. Setiap kita telepon nomor kontak pihak yang bertanggung jawab di Bareskrim, enggak diangkat," kata Riski kepada tim kolaborasi akhir Oktober 2021.
Dugaan Pemerasan Penyidik
Permasalahan ABK yang ditangani Satgas TPPO Bareskrim Polri kerap menggantung. Ada dugaan bahwa informasi yang diperoleh dari ABK justru dimanfaatkan penyidik untuk memeras perusahaan penyalur dengan iming-iming tidak diperpanjang kasusnya.
Sudin Riyanto adalah salah satu korban dugaan pemerasan yang dilakukan Bripka Maulana, penyidik Satgas TPPO Bareskrim Polri. Sudin merupakan direktur sekaligus pendiri PT Anugerah Atlantik Nusantara (PT AAN) - perusahaan rekrutmen dan penempatan ABK yang berbasis di Tegal, Jawa Tengah. Dia mengingat kembali kejadian pemerasan yang menimpa perusahaannya tahun lalu.
Kala itu perusahaannya menerima surat panggilan polisi pada 27 april 2021 yang ditandatangani Kasubdit III Bareskrim Polri, Kombes Pol John Weynart Hutagalung. Dalam surat itu, perusahaan Sudin dituding melakukan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) terkait ABK Suyitno.
Padahal, menurut Sudin, perusahaannya tak memiliki ABK atas nama Suyitno. Belakangan diketahui, Suyitno merupakan ABK yang diberangkatkan oleh PT Bintang Benujaya Mandiri (BBM).
Tak cuma itu, terdapat kesalahan alamat perusahaan dalam surat panggilan Bareskrim. Alamat surat ditulis di Pemalang, padahal perusahaan berada di Tegal. Bukan hanya itu, Sudin diperintahkan untuk menghadiri pemeriksaan pada 5 April 2021, padahal surat tersebut datang pada tanggal 27 April.
"Kalau saya menolak surat bisa, karena PT-nya di Pemalang. Itu aja salah, ABK juga sudah salah alamat. Nama perusahaan betul, alamat salah, harusnya Tegal, ABK juga enggak ada atas nama Suyitno seperti dalam surat panggilan bareskrim," kata Sudin kepada tim kolaborasi Tirto dan Project Multatuli akhir Oktober 2021.
Meskipun surat panggilan salah alamat, Iwan Martikno yang kini mantan direktur PT AAN tetap mendatangi Bareskrim Polri bersama pengacara Muhadjirin untuk mengklarifikasi bahwa ABK itu bukan dari perusahaannya. Penyidik meminta Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (Siuppak) PT AAN. Siuppak merupakan izin yang dikeluarkan oleh Kemenhub. PT AAN kala itu mengaku belum mengantongi Siuppak, sehingga dianggap sebagai perusahaan ilegal.
Iwan lantas meminta Sudin untuk menyiapkan sejumlah dana supaya tidak diproses hukum.
"Dari minta Rp300 juta, turun 200 juta sampai 100 juta. Saya Rp300 juta berat, uang dari mana? Akhirnya saya disuruh bawa Rp100 juta. Saya pusing pinjam-pinjam," ucap Sudin kepada tim kolaborasi.
Dalam tangkapan layar percakapan yang diperoleh tim kolaborasi, Muhadjirin selaku pengacara perusahaan dari LSM Kemilau Cahaya Bangsa Indonesia (KCBI) saat itu meminta keringanan kepada Bripka Maulana, dari Satgas TPPO Bareskrim Polri.
"Mohon ijin bang, barusan klien telepon nangis minta angkanya diturunin karena benar-benar lagi kering. Sudah pinjam sana-sini kesanggupannya hanya setengahnya bang. Mohon ijin, mohon petunjuk bang."
Menanggapi pesan itu, Bripka Maulana merespons. "Waduh katanya udah oke bang, saya sudah sounding ke pimpinan bang. Saya bilang udah oke, kalau tiba-tiba ada perubahan saya dianggap main sendiri nanti. Daripada malu, lebih baik zong aja bang. Enggak usah sama sekali."
Persoalan ini membuat istri Sudin sakit karena harus meminjam uang kepada orang lain. Sudin mengakui bahwa pinjaman uang Rp100 juta didapat dari Muhammad Arifin, salah seorang dari manajemen PT AAN. Hal itu dibenarkan oleh Arifin saat dihubungi tim kolaborasi, Selasa (25/1/2022). Arifin menuturkan Sudin meminta pinjaman kepadanya sebesar Rp100 juta untuk penyidik Bareskrim.
Alhasil Arifin memberikan bantuan karena Sudin adalah pamannya, ia tak tega melihat wajah pamannya yang pucat karena ketakutan saat menghadapi Bareskrim. Ia menjelaskan uang yang diberi pinjaman ke Sudin merupakan tabungannya untuk membangun rumah.
"Akhirnya saya kasih karena saudara dan lihat mukanya kasihan gitu, ketakutan. Kalau saudara lagi ada masalah kita bantu," ungkap Arifin.
Transaksi di Parkiran
Sekitar dua hari menjelang Idul Fitri tahun lalu, Sudin Riyanto memenuhi permintaan Bripka Maulana untuk membawakan uang sebesar Rp100 juta. Pertemuan itu berlangsung di Jakarta Timur, tepatnya di parkiran mal Tamini Square. Pertemuan itu disaksikan Iwan Martikno yang kini mantan direktur PT AAN, Pengacara Muhadjirin, dan Sodikin, sopir Sudin.
Sudin membawakan uang pecahan Rp100 ribu dengan menggunakan kantong plastik hitam menuju mobil HRV merah, diduga milik Bripka Maulana. Ia juga ditemani oleh Muhadjirin. Saat masuk ke mobil, Maulana menggunakan baju biasa (bukan seragam polisi) dengan menggunakan kacamata hitam. Ia meletakan kantong plastik hitam yang berisi uang itu di jok mobil belakang.
"Pak Maulana uangnya saya taruh di sini. Silakan, di situ aja uangnya. Terima kasih pak Sudin," ucap Sudin mengingat kembali peristiwa penyerahan uang tersebut.
Sudin melihat wajah Maulana seperti cemas, ia tak banyak bicara. Setelah menaruh uang di jok mobil, Sudin dan pengacara langsung keluar mobil, Maulana langsung tancap gas keluar dari parkiran mal. Hal itu dibenarkan oleh Sodikin saat mengantarnya ke Tamini Square.
Pria 61 tahun itu menjelaskan pada saat pertemuan, mobilnya bersebelahan dengan mobil Honda HR-V merah yang dikendarai Maulana. "Mobilnya HRV merah, platnya Bogor," kata Sodikin saat ditemui tim kolaborasi akhir Oktober lalu.
Iwan membenarkan ada pertemuan dengan Bripka Maulana di Tamini Square, tapi ia berdalih bukan penyerahan uang. Saat ditanya tujuannya apa saat bertemu, ia klaim tidak tahu. Padahal Iwan berada di lokasi kejadian. Ia hanya menyebut ada pembicaraan dengan Maulana selama beberapa menit sebelum mereka berpisah.
"Jadi dengan adanya serah terima (uang) dan pembicaraan apa pun, sama sekali saya tidak tahu dan saya di dalam mobil (Sudin)," klaim Iwan mencoba meyakinkan.
Tim kolaborasi mencoba mencari mobil HR-V merah yang dimaksud Sodikin, berawal dari menggunakan aplikasi Getcontact. Cara kerja aplikasi itu adalah mengumpulkan nomor telepon berdasarkan nama yang disimpan para pengguna aplikasi. Hasil pengecekan nomor handphone 08137037XXXX memunculkan nama antara lain, "Bripka Maulana Satgas TPPO", "Bang Maulana Satgas TPPO Bareskrim Polri", "Cust Maulana HRV", serta “F 1384 AAD”.
Tim kolaborasi lantas mencoba menelusuri pelat kendaraan yang muncul dari Getcontact ke situs Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Jawa Barat, hasilnya menunjukan kendaraan Honda HR-V RU1 1.5 E CVT CKD, tahun 2019 bewarna merah. Temuan itu sama dengan pengakuan Sodikin. Sementara nomor telepon diperoleh dari surat panggilan Bareskrim kepada perusahaan PT Anugrah Atlantik Nusantara.
Dilaporkan ke Propam
Pada 31 Juli 2021, Sudin melaporkan dugaan tindakan pemerasan Bripka Maulana ke Divisi Propam Mabes Polri. Laporan pengaduan tersebut lewat surat pos. Pelaporan itu membuat beberapa petugas gusar, salah satunya Bripka Maulana. Pada 5 Agustus, Maulana menghubungi Sudin.
"Dia telepon saya, Kamu mau fitnah saya kasih uang Rp100 juta," kata Sudin mengulang ucapan Bripka Maulana. "Pak, mohon maaf waktu di parkiran mall, bapak pakai mobil merah, saya kasih uang dengan lawyer dan saksi lain tahu." Mendengar jawaban itu, Maulana langsung menutup panggilannya.
Dua hari kemudian salah seorang atasan Maulana, berkomunikasi dengan Zaenudin, ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Tegal sekaligus kuasa hukum Sudin Riyanto. Si atasan meminta dibawakan saksi dan dokumen bukti-bukti.
Pada 8 Agustus, atasan tersebut bertemu dengan Sudin, Sodikin, Zaenudin di sebuah rumah makan mie aceh, depan Taman Makam Pahlawan Kalibata. Dalam pertemuan itu, Sudin menceritakan perbuatan Maulana. Ia menyampaikan kepada Sudin, bahwa akan menindak anak buahnya.
Pada saat di lokasi pertemuan, si atasan terlihat gelisah. Dia meminta Sudin maupun Zaenudin tidak merekam pembicaraan maupun video. Lima hari setelah pertemuan itu, atasan tersebut memberitahu Zaenudin agar Sudin datang ke kantor untuk diselesaikan. Namun, Zaenudin menyampaikan kliennya menolak. Si atasan juga meminta kepada Zaenudin untuk lebih hati-hati menyampaikan pernyataan. Sudin menolak memenuhi panggilan tersebut karena tidak ada surat resmi dari Bareskrim.
Tak berapa lama kemudian, Muhadjirin mendatangi kantor Sudin di Tegal pertengahan September 2021 setelah mengetahui ada pelaporan ke Divisi Propam Mabes Polri. Dalam pertemuan itu, Muhadjirin meminta Sudin untuk menghubungi Bripka Maulana. Selain itu, ia juga meminta Sudin untuk mencabut laporan di Propam. Semua permintaan itu ditolak oleh Sudin.
"Kamu tahu gak kasus Joko Tjandra,” kata Sudin menirukan ucapan Muhadjirin. “Dia ngancam saya. Saya bukan Joko Tjandra, saya Sudin Riyanto. Dia (Muhadjirin) langsung diam. Saya korban," ucap Sudin.
Upaya konfirmasi ke pihak Muhadjirin tidak membuahkan hasil.
Selanjutnya, empat bulan usai mengirimkan surat ke Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam) Mabes Polri, Sudin memenuhi panggilan tim Propam bersama Zaenudin, selaku kuasa hukumnya. Sudin ditanya terkait kronologi kasus, kata Zaenudin. Sekitar sebulan kemudian, Zaenudin menerima surat pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan propam (SP2HP2) nomor B/13/ I/WAS.2.4/2022/ Divpropam yang ditandatangani Kepala Biro Pengamanan Internal Divpropam Polri, Kombespol Denny S. Nasution.
Salah satu poin surat itu menyebutkan, berdasarkan hasil penyelidikan terhadap dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Bripka Maulana selaku anggota Bareskrim Polri terkait penerimaan uang sejumlah Rp100 juta dari Sudin, belum ditemukan cukup bukti pelanggaran peraturan disiplin dan/atau kode etik profesi Polri.
Tim kolaborasi mencoba mengkonfirmasi persoalan ini ke Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Dedi Prasetyo pada 7 Februari 2022. Ia meminta tim kolaborasi menghubungi Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Ahmad Ramadhan. Saat ditanya soal ada dugaan pemerasan yang dilakukan salah seorang penyidik Satgas TPPO Bareskrim Polri terhadap perusahaan penyalur, Ramadhan bilang belum bisa merespons.
"Waduh, saya belum bisa nanggapi. Jalan ceritanya baru dari Anda," kata Ramadhan saat dihubungi, Rabu (9/2). "Ada gak laporan Propam-nya, coba kirim ke saya dulu. Kirim dulu aja suratnya nanti saya tanggapi."
Tim kolaborasi sudah mengirimkan kopi lunak surat tersebut kepada Ramadhan, namun tidak direspons kembali.
Konfirmasi kepada Bripka Maulana juga tidak membuahkan hasil dari 7 Februari hingga 4 Maret. Pesan WhatsApp hanya dibaca sementara panggilan telepon pun tidak diangkat.
Hingga berita ini ditayangkan, Humas Mabes Polri tak merespons terkait dugaan adanya pemerasan yang dilakukan salah seorang penyidik di Satgas TPPO.
Hingga 4 Maret, tim kolaborasi berusaha mengkonfirmasi kasus tersebut baik dengan mendatangi Divisi Humas Polri maupun ke Kasubdit V Dittipidum Bareskrim Polri, namun belum ada tanggapan. Baik pesan WhatsApp maupun telepon tidak direspons.
Pemerasan Marak?
Kasus pemerasan yang dialami agen penyalur hanyalah puncak gunung es dari rentetan masalah dalam penanganan permasalahan ABK. Peristiwa ini mengindikasikan adanya cacat hukum sehingga bermacam kasus yang menimpa ABK terus berulang terjadi, kata Anis Hidayah, Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care Indonesia.
"Komitmen aparatnya masih dipertanyakan, di sisi lain budaya birokrasinya koruptif, entah memeras, [melakukan] pungli, atau menghentikan perkara penyidikan di tingkat penyelidikan karena ada dugaan suap," kata Anis.
Menurut Anis, aspek penegakan hukum lemah dan kongkalingkong petugas di pemerintahan dengan perusahaan penyalur besar sekali. Hal itu terlihat juga dari kasus PT Karunia Bahari Samudra yang tidak diproses hukum oleh polisi meskipun terjadi tindak pidana perbudakan ABK dan pemalsuan surat izin larung yang menewaskan ABK Ari di Kapal Long Xing 629.
Kasus perbudakan TPPO waktu itu, lanjut Anis, proses hukumnya sangat tebang pilih.
"Kalau dikawal ketat sama NGO dan media maka kasusnya jalan, tetapi yang sering terjadi adalah seolah-olah dijerat TPPO segala macam di awal. Ketika ada kasus baru, kasus lama tenggelam dan tidak diapa-apain. Kasusnya mangkrak di kepolisian, tidak jelas statusnya," ucap Anis.
Iwan, mantan Direktur PT AAN tak membantah adanya perusahaan yang mengalami nasib seperti PT AAN.
"Kalau yang dulu, ada beberapa perusahaan," ucap Iwan kepada tim kolaborasi. Namun, ia tak menjelaskan perusahaan mana yang dimaksud.
Herman Suprayogi, Direktur PT Puncak Jaya Samudra (PJS) tak membantah adanya pihak yang memanfaatkan perusahaan penyalur sebagai "ATM berjalan."
"Kalau dikatakan ada beberapa kejadian yang dimanfaatkan, mungkin. Mungkin ada. Makanya saya katakan, kita selalu menjadi objek kesalahan secara pidana, perdata, bahkan hukuman sosial," kata Herman.
Susilo, Direktur PT Mega Pratama Samudra, mengamini hal yang sama.
“Yang seperti itu pasti ada,” tandas Susilo.
Susilo berujar banyak celah yang dimanfaatkan pihak tertentu itu. Salah satunya adalah terkait perizinan perusahaan, bisa dipersulit maupun dicabut izinnya. Saat ditanya soal adanya perusahaan penyalur yang diperas polisi, Susilo tak membantah.
"Pernah dengar-dengar juga dari teman-teman sih. Cepat menyebarnya dari mulut ke mulut," ucap Susilo.
Minim Data Penyelesaian di Kepolisian
Berdasarkan laporan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), ada 415 kasus ABK dari 2018 hingga Mei 2020. Semua kasus itu diserahkan kepada kepolisian untuk ditelaah, menurut BP2MI. Dari jumlah itu, sebanyak 135 pengaduan ABK masih dalam proses, sedangkan 280 kasus sudah diselesaikan. Tidak ada detail terkait penyelesaian kasus-kasus tersebut, apakah berujung pidana atau tidak.
Kasus yang dilaporkan ABK di antaranya gaji tidak dibayar, kecelakaan kerja, meninggal dunia di negara tujuan, ABK ingin dipulangkan, penahanan paspor atau dokumen oleh perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia, gagal berangkat, pemutusan hubungan kerja sebelum kontrak kerja berakhir, serta pekerjaan tidak sesuai kontrak.
"Jangan-jangan P21 (lengkapnya berkas penyidikan yang diserahkan ke Kejaksaan) enggak pernah ada karena penyelesaiannya P86 (dibatalkan), misalnya," kata Kepala BP2MI Benny Rhamdani dalam webinar "Pencarian Keadilan Bagi Korban Perdagangan Orang di Kapal Ikan Asing", Selasa (28/7/2020).
Menanggapi data BP2MI, Ahmad Ramadhan dari Divisi Humas Polri membantah tingginya angka tersebut.
“Enggak ada kasus segitu banyak. Kalau kasus gitu banyak, itu kasus apa. Itu masalah ketenagakerjaan, di Polri masalah tindak pidana,” katanya sambil terburu-buru meninggalkan gedung Divisi Humas Mabes Polri.
Sementara itu Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Tegal mencatat sepanjang 2019-2021 ada 442 aduan dari ABK terkait permasalahan pemenuhan hak dan bermacam pelanggaran. Dari total itu, sebanyak 270 kasus berhasil diselesaikan sedangkan 36 kasus belum terselesaikan.
Lalu sekira 132 kasus dilaporkan ke dinas terkait (dalam hal ini Disnaker) dan kepolisian. Sedangkan 4 kasus tidak dilanjutkan karena dicabut kuasanya. Dari total tersebut hanya 8 kasus yang dilaporkan ke kepolisian meliputi Polres Tegal, Polda Jawa Tengah, dan Bareskrim. Tak ada satu kasus pun yang diselesaikan.
Merujuk Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) dalam policy brief “Perbaikan Tata Kelola Pelindungan ABK Indonesia di Kapal Ikan Asing”, nihilnya single-database yang berisi informasi mengenai data manning agency di dalam dan luar negeri, jumlah ABK Indonesia di kapal ikan asing, dan pemilik kapal ikan asing, mengakibatkan tidak diketahui secara pasti jumlah ABK Indonesia di luar negeri sehingga menyulitkan perlindungan terhadap mereka.
Selain pengaduan langsung kepada BP2MI, pengaduan kasus ABK juga diterima oleh perkumpulan organisasi dan individu seperti Destructive Fishing Watch (DFW) melalui Fishers Center (FC). FC adalah salah satu program bagian dari SAFE Seas Project (SSP) yang dijalankan DFW. Fishers Center berfungsi sebagai pusat informasi dan pelayanan bagi Awak Kapal Perikanan (AKP) di Tegal dan Belitung.
Mengutip data FC pada November 2019 – Maret 2021, ada 54 aduan masuk dengan total 179 orang korban. Aduan tersebut termasuk kasus meninggal, hilang, cacat, sakit, dan selamat. Sementara selama Oktober 2019 – Desember 2020, FC mencatat sebanyak 40 pengaduan yang berasal dari awak kapal Indonesia di luar negeri (63,2 %) dan awak kapal Indonesia di dalam negeri (36,8 %).
Temuan tersebut disampaikan Moh Abdi Suhufan, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia melalui webinar “Mempertanyakan Komitmen Multi-Pihak dalam Melindungi ABK Indonesia di Kapal Ikan Asing” (15/4/2021).
Mayoritas pengaduan berkutat pada permasalahan gaji, baik itu gaji yang tidak dibayarkan atau mengalami pemotongan. Selain itu, persoalan asuransi dan jaminan sosial di atas kapal juga mendominasi laporan. Terdapat sekitar 103 korban dalam keseluruhan aduan yang dilaporkan.
Laporan yang diterima FC kemudian dirujuk ke beberapa institusi, termasuk BP2MI, Polri, KKP, LBH, Kemnaker, Kemlu, TPPO Provinsi, dan beberapa pihak kerja sama lain. Beberapa status pelaporan berada di tahap proses rujukan (15), mediasi (3), dan terselesaikan (9). Selain itu beberapa dokumen pelaporan aduan dinyatakan tidak lengkap (10) dan aduan lainnya dicabut oleh pelapor (3).
Dari data FC, setidaknya ada 6 kasus yang FC serahkan kepada Polri, namun data tersebut tidak menunjukkan persentase kasus yang terselesaikan oleh Polri.
Dalam webinar yang sama, data Kemenlu mengenai kasus ABK yang disampaikan Andy Rachmianto, Dirjen Protokol dan Konsuler Kemenlu mencatat 1.451 kasus dilaporkan pada 2020. Angka itu terus meningkat dari sebelumnya tahun 2019 sebanyak 1.095 dan 1.079 kasus pada 2018. Namun, tidak ditemukan pula informasi terkait jumlah kasus terselesaikan.
Catatan kasus ABK juga dilaporkan SBMI pusat melalui siaran pers bertanggal 9 Desember 2021. SBMI menerima aduan sebanyak 104 pada 2020 dan 86 aduan pada 2019. Apabila dihitung sejak September 2014 sampai Juli 2020, jumlah aduan kasus ABK yang diterima SBMI mencapai 338. Lagi-lagi, tidak tertera informasi mengenai mekanisme penyelesaian, jumlah maupun pihak yang menangani.
Berangkat dari data aduan SBMI pusat, Greenpeace kemudian bekerja sama meluncurkan laporan yang berjudul “Forced Labour at Sea: The Case of Indonesian Migrant Workers.” Laporan tersebut memberikan gambaran tentang pola dan jenis kerja paksa hasil tinjauan terhadap 62 aduan sepanjang Mei 2019 – Juni 2020 yang menenuhi kelengkapan dokumen, seperti surat kuasa, surat kronologi, jadwal gaji, dan lainnya.
Greenpeace juga mempublikasikan Kertas Laporan Investigasi tentang kumpulan kasus pengaduan ABK meninggal kepada SBMI selama 2015-2020. Dari laporan itu, sejumlah 11 orang ABK Indonesia meninggal di atas kapal ikan asing.
*Nama disamarkan untuk keamanan dan privasi.
Liputan ini merupakan hasil kolaborasi antara Tirto.id, Project Multatuli, dan Greenpeace Indonesia.
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Adi Renaldi