tirto.id - Untuk apa Anda menggunakan media sosial? Di luar sana banyak yang memanfaatkannya untuk memproyeksikan sisi baik diri, mulai dari memberi kabar lewat kalimat singkat hingga mengarahkan kamera 45 derajat ke atas dan menjepret foto selfie. Orang-orang tipe ini kemudian mendapat label “si narsisis”, dan hasil riset LendEDU menunjukkan Anda akan paling banyak menemuinya di Instagram.
Riset LendEDU melibatkan total responden sebanyak 16.867 mahasiswa yang disurvei selama satu tahun mulai dari awal Juni 2016 hingga Maret 2017. Mereka digolongkan sebagai generasi milenial yang ditugaskan menilai teman-temannya sendiri maupun golongan generasi lain saat beraktivitas di media sosial.
Ada tiga pertanyaan pokok yang diajukan. Pertanyaan pertama, “Platform media sosial apa yang di dalamnya terdapat paling banyak orang narsisis?”
64 persen responden menjawab Instagram. Platform media sosial yang memang dibuat untuk berbagi foto para penggunanya dan didirikan oleh Kecin Systrom dan Mike Krieger pada 6 Oktober 2010 itu mendapat jawaban terbanyak. Di tempat kedua ada Snapchat (15 persen), Twitter (11 persen), dan terakhir Facebook (10 persen).
Dalam publikasi surveinya, LendEDU menyebutkan bahwa dunia dalam bingkai media sosial telah berubah dari tujuan awalnya yang sederhana, menghubungkan orang-orang lewat medium online, menjadi lebih kompleks.
Hari ini para penggunanya memiliki tujuan yang berbeda-beda, namun bagi kaum milenial alias generasi yang pertama kali berkenalan dengan media sosial, sosial media mulai digunakan sebagai pembentuk citra diri. Sosial media adalah adalah alat yang hebat yang punya kemampuan untuk menciptakan persona yang sama sekali baru, meskipun sesungguhnya tak nyata.
Wacana ini pernah dipelajari oleh psikologis Hazel Markus dan Paula Nurius pada 1987 silam. Mereka membagi ke-diri-an manusia bisa dibagi menjadi dua, yaitu “now self” (diri sekarang ) dan “possible self” (kemungkinan diri). Apa yang disajikan orang-orang di media sosial terutama Instagram seringkali jenis pertunjukan “possible self”, jenis yang bisa dikarang seseorang, akan tetapi paling rentan distorsi alias jauh dari aslinya seperti apa.
“Formulanya cukup sederhana. Jika Anda mem-posting cukup banyak foto yang 'artsy' dan lucu kemudian sukses mengumpulkan banyak 'like', maka pencapaian di kehidupan nyata Anda bukanlah masalah lagi. Popularitas di media sosial akan menentukan status Anda pada hierarki sosial,” demikian dalam laporan LendEDU.
"Like" dalam Instagram (beberapa menyebutnya 'love' sesuai simbolnya) menjadi pertanyaan kedua dalam survei, “Apakah kamu memberikan 'like' kepada konten unggahan orang lain yang juga memberikan 'like' kepada konten unggahanmu?”
Sebanyak 67 persen responden tak hanya menjawab “Ya”, tetapi juga menjelaskan bahwa ada sebuah “peraturan tak tertulis” yang melatarbelakanginya, yakni sukai konten yang diunggah orang lain jika orang lain ingin melakukan hal yang serupa. Proses ini bisa dianalogikan dengan transaksi barter. Efek sampingnya adalah para pengguna Instagram banyak yang tak terlalu mengindahkan isi konten, dan akan berang jika tak di-"like" balik.
Dalam situasi yang demikian, orang-orang di Instagram bisa dikatakan punya candu atas "like", dan akan merasa amat khawatir (insecure) jika apa yang ia unggah tak mendapat tanggapan yang diharapkan. Mereka yang menghidupi media sosial lain juga mengalami perasaan yang serupa. Bagi orang narsisis, tanggapan berbentuk "like" adalah yang menjaga ego mereka dan membuat mereka bertahan punya akun medsos.
Pertanyaan ketiga dari survei LendEDU menyasar poin penting ini, “Apakah kamu mengenal orang yang menghapus konten unggahannya di Facebook atau Instagram karena tak mendapat 'like' yang cukup?” Hasilnya, 78 persen responden menjawab “Punya”. Hanya 22 persen dari generasi milenial dalam survei ini yang menjawab tak kenal dengan pengguna Instagram dengan rasa khawatir setinggi itu.
Ada banyak penelitian yang menunjukkan hubungan antara konsumsi media sosial dengan gangguan kepribadian narsistik (Narcisstic Personality Disorder/NPD). Di Amerika Serikat, misalnya, penderita NPD meningkat tajam dalam sepuluh tahun terakhir, hampir sepadan dengan tingkat penderita kegemukan berlebih alias obesitas.
NPD menjadi terkenal di kalangan psikolog mulai era 1960-an dan kriterianya menjadi sebuah diagnosis diresmikan pada 1980-an. Karakteristik penderita NPD mencangkup kebutuhan untuk dikagumi, meningkatnya perasaan bahwa diri sendiri itu amat penting, dan kurangnya empati terhadap orang lain.
Sementara itu dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders kriteria lain dari penderita NPD meliputi memimpikan kesuksesan yang tak terbatas, mengidam-idamkan perhatian dari orang lain namun menunjukkan sikap balasan yang lebih sedikit kepada orang lain, dan memilih teman berdasarkan prestise dan status mereka daripada kualitas pribadi.
Dalam laporan The Guardian, konselor sekaligus psikoterapis Lucy Clyde menyatakan percaya bahwa setiap orang sebenarnya memiliki kecenderungan narsistik (dengan kadar yang berbeda-beda), namun kehadiran media sosial membuat orang-orang makin menyadari dan mendalami sifat tersebut secara tak sadar.
“Seseorang dengan sifat narsisis sebenarnya sedang mengkurasi dirinya sendiri di medsos,” katanya.
Salah satu manifestasi narsisisme seseorang dalam Instagram adalah selfie. Banyak peneliti abad 21 yang terkesima dengan fenomenalnya perilaku berfoto diri dan mengunggahnya ke media sosial demi beragam tanggapan dan pujian. Dalam catatan Oxford Dictionary penggunaan kata “selfie” di media sosial meningkat sebanyak 17.000 persen antara tahun 2012 hingga tahun 2013 saja, sebagian besarnya merujuk pada tagar #selfie yang diselipkan orang-orang di media sosial terutama Instagram.
Banjir selfie di Instagram pernah diteliti oleh Lev Manovich, profesor ilmu komputer di The Graduate Center, The City University of New York. Hasilnya, terhitung bulan Februari 2014, ada lebih dari 79 juta foto di Intagram dengan tagar #selfie. Ini belum termasuk 7 juta foto dengan tagar #selfies, 1 juta foto dengan tagar #selfienation, 400 ribu foto dengan hastag #selfiesfordays dan banyak foto selfie lain yang diunggah tanpa tagar #selfie.
Sayang, obsesi atas selfie bisa merenggut korban. Pada 2011 muncul kasus seorang anak muda asal Inggris bernama Danny Bowman perlu ditangani psikiater di pusat rehabilitasi karena terserang OCD (Obsessive Compulsive Disorder) dan Body Dysmorphic Disorder (kecemasan dan kekhawatiran akut tentang penampilan atau tubuh) akibat kecanduan selfie. Ia bercita-cita ingin membuat selfie yang sempurna, tapi selalu menganggap upayanya gagal.
- Baca juga: Selfie Boleh, Mati Jangan
Semua kasus didorong oleh kurangnya kewaspadaan dari mereka yang terlalu sibuk mengatur angle, pose, pencahayaan, hingga ekspresi wajah saat selfie. Mereka lupa ada bahaya mengancam di sekitar. Ini termasuk mereka yang sengaja selfie di tengah kondisi yang mengancam nyawa. Ada yang menaiki puncak gedung pencakar langit, ada yang selfie di tengah kerusuhan, dan lain sebagainya.
- Baca juga: Sering Selfie Bisa Bikin Anda Sakit
Narcissus amat bangga dengan ketampanannya. Ia pun disukai orang-orang, dan Narcissus juga menyukai mereka yang menyukai parasnya. Perilaku ini diketahui oleh dewi penghukum orang sombong, Nemesis, yang kemudian mengajak Narcissus ke sebuah kolam berair jernih.
Narcissus memandang ke air kolam dan melihat dirinya sendiri. Ia jatuh cinta pada bayangannya sendiri, yang ia tak sadari hanya sebentuk pencitraan yang tak nyata. Saking cintanya, ia tak mau beranjak dari kolam. Ia kehilangan keinginan untuk hidup normal.
Narcissus bertahan di sana, menghabiskan waktunya memandangi bayangan diri di kolam, hingga maut merenggut nyawanya.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Maulida Sri Handayani