Menuju konten utama

Indomie: Menu Harian Napi Australia, Mata Uang di Penjara Amerika

Indomie mampu mengikat rasa kekeluargaan antar-napi sekaligus menurunkan ketegangan rasial antar-geng dalam penjara.

Ilustrasi mi instan. ANTARA FOTO/Lucky R.

tirto.id - Popularitas Indomie di berbagai negara sudah bukan rahasia lagi. Pabrik PT Indofood Sukses Makmur berdiri di Serbia hingga ke Nigeria, memasok permintaan konsumen di berbagai negara dan kawasan. Saking populernya, banyak warga Nigeria menyangka Indomie adalah produk asli negara mereka.

Masyarakat Australia, contoh lainnya, menyenangi Indomie goreng sebab rasanya sedap. Indomie juga populer di kalangan para pelajar di perguruan tinggi, demikian kata Adhi Bhaskara, lulusan University of Sydney kepada Tirto, Senin (27/8/2018).

Popularitas Indomie di kalangan mahasiswa asal Indonesia, asli Australia, maupun mahasiswa asing non-Indonesia disebabkan oleh harganya yang terjangkau. Adhi lupa sebab tak pernah menghitung secara rinci, akan tetapi baginya tidak ada satu minggu tanpa mencecap gurihnya Indomie goreng.

“Sebenarnya mungkin yang terkenal bukan merek Indomie-nya ya, tapi kukira varian mi gorengnya itu. Ada [mi instan] yang lebih murah lagi dari Indomie, yang mahal juga ada. Tapi kayaknya memang Indomie yang rasanya paling oke,” katanya.

Adhi menilai Indomie juga mendapat reputasi sebagai junk food atau makanan yang kandungan gizinya sangat sedikit dan tentu tidak sehat jika dikonsumsi secara rutin. Namun, lanjutnya, hal-hal semacam itu jadi pertimbangan kesekian karena konsumen Australia terlanjur kesengsem oleh rasa.

Ekspansi Indomie tak berhenti di kalangan warga yang bebas, namun juga menginfiltrasi dapur penjara.

Baru-baru ini media Australia 9NEWS mengungkap fakta bahwa duit pajak sebesar $1,5 juta atau sekitar Rp16 miliar yang dikelola Departemen Kehakiman, dipakai untuk persediaan manisan dan Indomie untuk para napi di penjara Negara Bagian Victoria, Australia.

Rincian dari kebijakan untuk dua tahun itu meliputi $500 ribu atau sekitar Rp5,3 miliar untuk pasokan Indomie, dan $975 ribu atau kurang lebih Rp10,4 miliar untuk membeli manisan, seperti permen, cokelat, dan lain-lain.

Temuan ini segera memancing opini negatif mengingat duit rakyat ternyata dipakai untuk memberi junk food sebagai makanan pelengkap para tahanan. Pihak penjara sendiri berargumen bahwa keduanya hanya dipakai sebagai insentif untuk napi yang berkelakuan baik.

Pangkal persoalannya, lanjut 9NEWS, adalah perubahan kebijakan hukuman yang meningkatkan jumlah narapidana. Pengelola penjara mesti memutar otak untuk memberi makan mereka dari anggaran yang tidak naik secara signifikan. Walhasil, Indomie pun jadi pilihan karena murah.

Mei lalu, Mahmood Fazal dari Vice mewawancarai Andy K, seorang koki di sebuah penjara Australia. Andy punya cerita menarik soal bagaimana Indomie, terutama edisi mi goreng, menjadi menu istimewa bagi para narapidana.

Sebelum masuk bui akibat kasus penyelundupan narkoba, Andy memang berprofesi sebagai koki. Ia juga seorang pemakai narkotika jenis meth (metadon), dan tanpanya ia amat tersiksa selama berada di balik jeruji besi. Untuk mengalihkan perasaan kecanduan, ia kembali ke dapur, dan berhasil.

Selama masa remaja ia terbiasa memasak dari bahan-bahan kualitas terburuk akibat keluarganya dilanda kemiskinan. Di penjara ia dengan mudah mengolah Indomie. Resepnya yang melibatkan saus kacang menjadi kesukaan semua narapidana.

“Menyenangkan sekali melihat semua napi duduk bersama di satu meja dan makan (Indomie) bersama. Tiap momen tersebut datang, kami merasa sebagai satu keluarga, dan itu waktu-waktu yang berharga,” katanya.

Andy menjalankan dapur bersama napi Asia lain yang berusia rata-rata 20-30-an. Mereka membangun komunitas yang solid, dan juga memasak bersama komunitas lain. Menariknya, Indomie goreng tetap jadi favorit semua orang.

“Indomie barangkali bukan makanan terbaik dalam kondisi tak punya uang. Juga tidak bagus untuk kesehatanmu. Tapi tiada rasa yang mampu menyenangkan para napi kecuali mi itu,” kata Andy.

Ada satu penyebab lain yang Andy sebut, yang sejalan dengan pengamatan Adhi: Indomie populer di luar penjara. Tahun lalu, misalnya, muncul tren burger Indomie goreng.

Mengutip laporan Coconuts, pelopornya adalah sebuah restoran bernama Sydney’s Guilty. Mereka mendeskripsikan burger Indomie goreng sebagai burger isi “ayam goreng yang dilapisi Indomie Goreng, disajikan pakai kecap manis mayo, wortel acar, kubis, bawang merah goreng dan saus sambal.”

src="//mmc.tirto.id/image/2018/08/28/indomie-di-balik-jeruji--mild--nadya.jpg" width="860" alt="Infografik indomie di balik jeruji" /

Mata Uang Baru di Penjara AS

Michael Gibson-Light adalah mahasiswa doktoral di Jurusan Sosiologi University of Arizona. Dua tahun silam, ia menerbitkan riset yang mengungkap bahwa rokok sebagai alat tukar dalam kultur penjara Amerika Serikat kini sudah digantikan oleh mi instan.

Mazin Sidahmed melaporkan temuan Gibson-Light untuk Guardian. Akar perubahan itu adalah pertumbuhan narapidana di Amerika Serikat yang mengalami ledakan sejak awal 1980-an. AS adalah negara yang penduduknya paling banyak menjadi narapidana. Pada 2016, ada 655 orang yang dipenjara per 100 ribu penduduk.

Penyebab kedua, peralihan pengelolaan makanan penjara dari satu perusahaan swasta ke yang lainnya pada awal 2000-an. Biaya makan terpotong, sehingga pasokan makanan untuk narapidana pun berkurang. Kualitas makanan juga menurun dan jadi alasan kesekian para napi jatuh cinta pada mi instan.

Para narapida mengaku gemar berolahraga dan mengandalkan mi instan untuk menjaga pasokan kalori. Selain rokok, sebagai mata uang baru, mi instan juga mengalahkan reputasi item klasik seperti perangko atau amplop.

Di kantin penjara, Indomie dihargai 59 sen. Bisa didapatkan dari napi lain melalui barter, namun harganya akan lebih tinggi. Selembar kaos berharga dua bungkus mi instan. Lima batang rokok satu bungkus. Demikian juga jasa membersihkan ranjang napi dan jasa cuci baju.

Membayar dalam metode kredit kerap berujung risiko berbahaya. Utang akan diselesaikan dengan perkelahian. Seorang napi yang diwawancarai Gibson-Light bahkan bilang penghuni penjara bisa sampai terbunuh akibat perkara mi instan.

Mi instan sebenarnya menjadi menu populer di penjara sejak lama. Kisahnya ditulis oleh Gustavo “Goose” Alvarez dan Clifton Collins Jr. di buku Prison Ramen: Recipes and Stories from Behind Bars (2015).

Masih mengutip Sidamed, Alvarez dan Collins terinspirasi dari kerusuhan rasial pada tahun 2009 yang menyebabkan ketegangan antara kelompok tahanan Hispanik dan yang kulit hitam. Seorang napi senior kemudian meredakan ketegangan dengan memasak dan makan bersama. Lagi-lagi, menunya adalah mi instan.

Alvarez dan Collins mencantumkan resep-resep olahan mi instan ala napi, antara lain dari aktor Shia LeBeouf and gitaris Guns N’ Roses Slash. Mi instan dicampur dengan bahan-bahan makanan atau pelengkap seadanya yang dijual di kantin penjara.

Isu popularitas mi instan di penjara AS kini berkembang menjadi isu kesehatan para napi. Persoalannya, mata uang atau barang-barang berharga yang beredar di balik jeruji besi tidak menyandarkan diri pada isu kesehatan.

Gibson-Light menerangkan bahwa di penjara semuanya ada harganya. Kebetulan saja mi instan mencapai syarat-syarat utama untuk menjadi komoditas terpenting serta dianggap sebagai mata uang baru pengganti rokok. Ia menekankan perubahan ini tidak serta-merta.

“[Mata uang] tidak akan berubah kecuali ada perubahan drastis terkait nilai yang melekat padanya berdasarkan penilaian para pemakai, yakni para napi itu sendiri,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait INDOMIE atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Hukum
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf