tirto.id - Bagi kawan-kawannya, Aditia Purnomo dikenal sebagai 2 sosok. Pertama adalah aktivis. Kedua: penyantap garis keras Indomie. Di linimasa Instagram miliknya, hampir setiap hari Adit mengunggah foto Indomie dengan berbagai variasi, baik goreng ataupun kuah. Dengan tambahan telur, dua telur, daging asap, sosis, bakso. Sawi, cabai rawit, nasi putih, ataupun keju.
"Aku makan Indomie maksimal 2 kali sehari. Tapi lebih sering 2 hari sekali," ujar aktivis di Komunitas Kretek ini.
Adit mengingat, Ia mulai rutin mengonsumsi Indomie ini sejak September tahun lalu. Sebagai orang Indonesia, sudah barang tentu pria berambut keriting ini pernah menyantap Indomie. Tapi bulan September adalah titik mula yang menandai Adit sebagai penyantap Indomie terakreditasi.
Titik konsumsi Indomie ini sempat membuat khawatir kawan-kawan dekatnya. Pernah, di titik tertinggi, dalam 2 minggu Adit menyantap Indomie setiap hari. Ia kadang membuat sendiri di dapur sekretariat Komunitas Kretek, kadang pesan di warung kopi depan kos.
"Kebetulan Aa warkop depan kos itu jago bikin Indomie," ujarnya.
Jika dirata-rata, Adit bisa mengonsumsi 1,5 dus Indomie, atau sekita 60 bungkus dalam sebulan. Sekali makan, biasanya Adit menggasak 2 bungkus sekaligus. Tapi sejak beberapa kawan khawatir, Adit mulai mengurangi konsumsi mi instan ini. Kalau pesan di warung kopi, biasanya Adit menaruh deposito. Sebab Ia tak hanya makan Indomie, tapi kadang juga ditambah bubur serta minuman. Pernah dalam sebulan Ia membayar Rp800 ribu untuk jajan di warkop. Tentu saja, porsi terbesarnya untuk membayar Indomie.
"Kalau ditotal, pengeluaran untuk Indomie mungkin sekitar 5 persen dari total pengeluaran rutin bulanan," kata penggemar Indomie rasa klasik ini.
Tiga Menguak Takdir Mi Instan
Saat ini, Indonesia adalah negara kedua yang paling banyak mengonsumsi mi instan. Menurut situs Instant Noodles, pada 2016 Indonesia mengonsumsi 13 miliar bungkus mi instan. Indonesia hanya kalah dari Cina dan Hong Kong yang mengonsumsi 38,5 miliar bungkus per 2016. Indonesia bahkan mengalahkan Jepang, negara pencipta mi instan yang mengonsumsi 5 miliar bungkus pada 2016.
Produk mi instan bermunculan di Indonesia. Selain Indomie yang reputasinya sudah mendunia dan menjelma jadi makanan identitas Indonesia, ada pula Mie Sedaap produksi Wings Group. Saat ini pemimpin pasar mi instan di Indonesia adalah Grup Salim melalui PT Indofood CBP Sukses Makmur.Sekarang nyaris tak ada yang menyangkal kalau mi instan adalah bagian penting dari dunia boga di Indonesia. Menariknya, fanatisme orang Indonesia pada mi instan ini punya kaitan politik sejak masa lalu, dan ada kaitannya dengan kebijakan luar negeri.
Mutiara Sri Dewi menjelaskan hal itu dalam rancangan tesisnya. Di sana, mahasiswi di jurusan Agrarian, Food and Environment Studies; International Institute of Social Studies ini menulis bahwa booming mi instan di Indonesia bisa dibagi dalam tiga periode.
Pertama adalah Era Awal. Di pertengahan dekade 1960-an ini, terjadi pergolakan politik. Soekarno lengser, Soeharto naik. Masa ini menandai terbukanya Indonesia terhadap bantuan dari negara Barat, terutama Amerika Serikat dan Australia. Di masa ini, Indonesia mulai mengimpor gandum, terutama dari AS.
Dari halaman Soeharto.co, ada kisah yang dinukil dari buku Jejal Langkah Pak Harto 28 Maret 1968-23 Maret 1973. Dijelaskan bahwa pada 9 Oktober 1968, Soeharto dan kabinetnya melakukan rapat terkait kebutuhan sandang pangan jelang lebaran. Hasil rapat itu adalah: pemerintah Indonesia akan mengimpor 390.000 ton terigu dari Amerika Serikat.
Kemudian pada 1970, ada tiga pabrik olahan gandum yang dibangun di Indonesia. Impor terigu berganti menjadi impor gandum. Menurut situs Index Mundi, impor gandung Indonesia pada 1970 adalah 455.000 ton. Angka itu terus meningkat setiap tahun. Saat ini Indonesia adalah pengimpor gandum terbesar nomor dua di dunia. Pada 2016, impor gandum Indonesia mencapai angka 8,5 juta ton, sekitar 700.000 ton di antaranya berasal dari AS.
Era kedua yang jadi penanda meningkatnya popularitas mi instan di Indonesia, disebut Mutiara sebagai Era Bulog. Saat itu, terjadi monopoli impor gandum, juga di pasar. Yang disebut melahirkan monopoli ini adalah Bulog, dan grup Salim yang memiliki PT Bogasari dan PT Indofood.
"Di era ini, praktek penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah begitu merajalela. Tidak hanya di sektor gandum dan mi instan, tapi juga di sektor lain. Subsidi dan pinjaman di era itu dipolitisasi dan digunakan untuk mendukung industri pabrik gandum dan produksi mi instan untuk mencapai tujuan kapitalistik," tulis Mutiara.
Setelah perjalanan panjang, masuklah Indonesia ke gelombang ketiga babad mi instan: Era Liberalisasi. Periode ini terjadi setelah Soeharto lengser, membuat pasar jadi lebih dinamis. Di masa yang terjadi sejak 1998 hingga sekarang ini, mi instan sudah jadi bagian penting dari kultur makanan Indonesia. Karena pasar menghendaki kebebasan, hadir pula berbagai merek mi instan.
"Namun, karena monopoli pasar yang berjalan amat lama, pasar saat ini masih beroperasi di bawah sistem oligopoli, dengan kecenderungan memilih pemain lawas," ujar Mutiara.
Menurut situs Indonesia Investments, penguasa pasar mi instan memang tetap pemain lama: Indofood. Perusahaan ini menguasai 72 persen pangsa pasar mi instan di Indonesia. Sedangkan Wings Group yang punya produk Mie Sedaap ada di posisi kedua dengan pangsa pasar 14,9 persen.
Saat ini mi instan sudah terlanjur menempati posisi penting di masyarakat Indonesia. Tak hanya itu, Indonesia juga punya ketergantungan tinggi terhadap tepung terigu yang jadi bahan baku penting untuk berbagai macam pangan. Ini merepotkan. Sebab gandum bukanlah tanaman asli Indonesia, pun ia adalah tanaman subtropis yang sulit dibudidayakan di Indonesia.
Untuk saat ini, sulit menghentikan kebiasaan orang Indonesia makan mi instan. Juga amat sukar tiba-tiba menghentikan impor gandum. Yang bisa dilakukan saat ini antara lain, mencari bahan pengganti gandum untuk mi instan. Ini pernah dilakukan oleh beberapa peneliti seperti Fajrin Hal Lala, juga Ginanjar Putra Jatmiko, yang membuat mi instan dari campuran tepung terigu dan mocaf, ataupun dari umbi kimpul (Xanthosoma sagittifolium). Selain itu, sedang berlangsung penelitian yang bertujuan membudidayakan gandum di Indonesia.
Jalan Indonesia untuk lepas dari mi instan, atau impor gandum, memang masih amat panjang. Untuk sementara, harus diakui kita masih merupakan bangsa pecandu mi instan.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti