tirto.id - Di balik nama besar Indomie, ada nama Djajadi Djaja dan rekan-rekan. Djajadi, Chow Ming Hua, Wahyu Tjuandi, Ulong Senjaya, dan Pandi Kusuma memulai produksi Indomie sejak awal 1970-an.
Semula usaha Djajadi Djaja adalah distributor barang dengan berpayung pada firma Fa Djangkar Djati pada 1959. Bisnis ini digeluti bersama teman-teman SMA-nya. Nama bisnis ini lantas berganti Wicaksana Overseas International.
Djajadi lantas mendirikan perusahaan PT Sanmaru Food Manufacturing bersama rekan-rekannya. Djajadi diangkat sebagai direktur di periode 1971-1978. Produknya adalah mi instan Indomie.
Nama Indomie makin tenar bahkan telah melakukan ekspor produk sejak 1982. Negara tujuannya ke Brunei Darussalam, Singapura, Malaysia, sebagian negara Eropa, Amerika, sampai Australia.
PT Sanmaru lalu menerima tawaran Salim Group pada 1984 untuk membuat bisnis baru yang bernaung di bawah PT Indofood Eterna.
Kepemilikan saham perusahaan tersebut yaitu 57,5 persen milik Djajadi dan kawan-kawan, lalu sisanya 42,5 persen dimiliki Salim Group. Dua produk mi instan bergabung di perusahaan ini yaitu Indomie dan Sarimi.
Dalam perjalanannya, Salim Group menguasai semua kepemilikan saham PT Indofood Eterna karena adanya masalah keuangan di 1993.
Djajadi Djaja dan teman-temannya tersingkir akibat di antara mereka konon mengalami konflik internal. Peluang ini dimanfaatkan Salim Group.
Dalam hal ini, Djajadi turut melepaskan sisa saham yang diyakini berada di bawah tekanan. Di kemudian hari, Djajadi melayangkan gugatan pada Indofood pada 17 Desember 1998 karena merasa dipaksa menjual saham dan mereknya yang ada di PT Indofood Eterna dengan harga rendah.
Setahun kemudian, atau 1999, terjadi merger antara PT Indofood Eterna dan PT Sanmaru ke dalam PT Indofood Sukses Makmur Tbk. Produksi Indomie mulai diserahkan pada anak usaha PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk per 2009.
Profil Djajadi Djaja
Djajadi Djaja yang lahir tahun 1941 (usia 82 tahun pada 2023), mengaku dirinya memiliki latar belakang dari keluarga miskin. Keluarga tidak memiliki penghasilan yang cukup sekali pun untuk makan.
Dirinya sudah biasa mengonsumsi bubur dan garam sebagai pengganjal perut, serta telur rebus jika kebetulan ada.
Dalam situs Gaga Food disebutkan, situasi masa kecil Djaja berada di masa pasca Perang Dunia II. Kondisi Nusantara kala itu memiliki perekonomian buruk. Ketersediaan makanan juga langka.
Keadaan rakyat cukup sengsara. Kebanyakan mereka tidak memiliki pekerjaan tetap. Pemenuhan kebutuhan makan dalam sehari belum tentu dapat terpenuhi.
"Sesekali saya makan telur ayam rebus dan itu sudah menjadi barang mewah bagi saya dan keluarga," kata Djaja.
Dihimpit dengan berbagai masalah ketahanan pangan yang memprihatinkan tersebut, Djaja mengku mulai tertarik menggeluti industri makanan.
Dia memiliki keinginan memproduksi makanan pokok terjangkau, tapi tetap enak dan bergizi. Perlahan dirinya mulai mendirikan perusahaan PT Sanmaru Food Manufacturing bersama teman-temannya dengan memproduksi mi instan Indomie pada 1970-an.
Sekali pun saat ini perusahaan patungan tersebut telah diakuisisi Salim Group sepenuhnya pada 1993, Djajadi belum menyerah untuk menggeluti industri pangan. Dia bangkit lewat PT Jakarana Tama (JT) yang juga menjadi produsen mi instan.
Perusahaan yang berdiri pada 20 Juni 1980 tersebut terdaftar sebagai perusahaan distribusi regional area Medan, Sumatra Utara, menurut akta notaris.
Selain mi instan, JT juga memproduksi makanan kaleng, sosis siap makan, sampai bumbu penyedap yang saat ini dikenal dengan jenama Gaga.
"Saya percaya 'rasa ajaib' dalam setiap produk kami akan menyentuh kehidupan setiap individu pelanggan kami," tutur Djaja.
Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Dipna Videlia Putsanra