tirto.id - “Aku ini pengagum Idrus. Di Bukitduri tulisan Idrus aku pelajari: kata demi kata!” ujar Pramoedya Ananta Toer.
Pengarang itu dijebloskan Belanda ke penjara Bukitduri pada tahun 1947, dan baru keluar dua tahun kemudian. Setelah bebas, ia sempat berkunjung ke Balai Pustaka dan memperkenalkan dirinya kepada empat orang, salah satunya Idrus.
Saat bersalaman dengan Idrus, meluncurlah sederet kalimat lancang yang kelak terkenang terus oleh Pram, “O, ini yang namanya Pramoedya? Pram, kau itu bukan nulis, tapi berak!”
Koesalah Soebagyo Toer dalam Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali (2006) menerangkan bahwa Pram memang terkenang terus dengan kata-kata Idrus itu. Dengan wajah menunjukkan kesakitan, Pram berkata kepada adiknya, “Idrus, itu! Orang Balai Pustaka! Orang yang aku kagumi! Memang orang-orang itu cuma mau ngecilin aku,” ujar Pram (hlm. 136-137).
Sekali waktu, seperti diceritakan Ajip Rosidi dalam Hidup Tanpa Ijazah (2008), Idrus diundang untuk berceramah di Taman Ismail Marzuki. Dan lagi-lagi, dalam ceramahnya Idrus mengejek Pram yang menangis ketika ayahnya meninggal dalam roman Bukan Pasar Malam (1950).
Menanggapi ejekan Idrus, Bung Tomo yang juga hadir dalam ceramah itu mengatakan, “Saudara Idrus orang Minang karena itu tidak akan merasakan bagaimana hubungan anak dengan ayah seperti kami orang Jawa, karena orang Minang sejak kecil hanya tahu ibu saja!” (hlm. 579).
Abdullah Idrus dilahirkan di Padang, pada 21 September 1921. Ia memiliki seorang adik bernama Enar Abdullah. Abdullah dan Enar kecil mengenyam pendidikan dasar di HIS (Hollandsch Inlandsche School) Kayutanam. Kedua orangtua mereka meninggal dunia saat Abdullah masih kecil. Walhasil, Abdullah dan Enar diasuh oleh keluarga bibi dari ibunya. Mereka menyekolahkan Idrus hingga tingkat menengah di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Padang.
Begitu lulus dari MULO, Idrus pergi ke Jakarta, melanjutkan pendidikan ke jenjang menengah atas di AMS (Algemeene Middelbare School) pada 1943. Selepas dari AMS, Idrus masuk ke Rechthoogeschool atau Sekolah Tinggi Hukum, tapi tidak selesai. Selama sekolah di Jakarta, ia tinggal di rumah pamannya.
Idrus banyak menulis cerpen sejak duduk di bangku sekolah menengah. Ia juga kerap membaca roman para pengarang Eropa yang dipinjamnya dari perpustakaan sekolah.
Setelah berhenti sekolah, ia bekerja di Balai Pustaka. Di perusahaan penerbitan itu ia bisa mengakses berbagai bacaan sastra dan punya kesempatan untuk bergaul dan bertukar pikiran dengan para penulis serta pemerhati sastra, seperti Sutan Takdir Alisjahbana, H.B. Jassin, Anas Makruf, Kusuma Sutan Pamuncak, dan Nur Sutan Iskandar.
Pada zaman pendudukan Jepang, Idrus sempat pindah kerja ke Pusat Oesaha Sandiwara Djepang (POSD) karena gaji yang didapatnya dari Balai Pustaka terlampau kecil. Namun, setelah Jepang hengkang dan revolusi mengganas, ketimbang nganggur ia kembali ke Balai Pustaka. Hingga tibalah agresi militer pertama Belanda. Karena Balai Pustaka diserbu, para pegawai dan pengarang pun menganggur, termasuk Idrus.
Pengarang yang dikagumi Pram ini sempat menghebohkan lapangan sastra dan situasi revolusi dengan menulis Surabaya (1946). Alih-alih memuja dan mengaminkan kepahlawanan pertempuran Surabaya, Idrus malah menelanjangi kecamuk perang yang menghamparkan kebrengsekan dan jingoisme, seperti para pemuda yang menemukan Tuhan baru berupa bom, mitraliur, dan mortir. Mereka doyan menembakkan senapan ke udara dalam mabuk kemenangan.