tirto.id - Institute Criminal and Justice System (ICJR) menolak isi pembahasan RUU Pemasyarakatan yang digagas pemerintah. Menurut ICJR, RUU Pemasyarakatan yang akan dikebut DPR masih kental upaya pembinaan.
"ICJR mengkritik tertutupnya pemerintah dalam pembentukan dan perancangan RUU ini, konsultasi dengan masyarakat sipil nyaris tidak terbuka. Dengan menguatnya konsep Restorative Justice yang menekankan pemulihan yang tidak sekedar berorientasi pada penjara, RUU ini justru masih sangat kental dengan pembinaan di dalam Lapas. Dengan kata lain, RUU ini lebih tepat disebut RUU Lapas daripada RUU Pemasyarakatan," kata Direktur Eksekutif ICJR Anggara dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Minggu (23/6/2019) malam.
Anggara mengatakan, ICJR telah membaca Naskah Akademik (NA) dan RUU yang dikirim Pemerintah ke DPR dan menilai bahwa secara konsep dan substansi, RUU ini tidak cukup baik untuk dibahas di DPR.
ICJR beralasan, Indonesia tengah bergerak dari sistem yang berfokus hanya pada pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) menjadi pembinaan yang berbasis pada pembimbingan di luar lembaga yang berakar atau berbasis pada masyarakat untuk mencapai pemulihan (restorative justice). Sistem ini sudah mulai diadopsi secara lebih nyata oleh sistem peradilan pidana Indonesia.
Mereka memandang, keterlibatan lembaga lain seperti Balai Pemasyarakatan (Bapas) diperlukan dalam rangka tugas penelitian pemasyarakatan (litmas) sampai dengan pengawasan proses pemasyarakatan di luar Lapas.
Orientasi pemidanaan seperti pemidanaan non-penjara juga harus dikedepankan dalam pemidanaan. Namun, Undang-undang yang ada masih berfokus pada pembinaan lapas.
Oleh sebab itu, ICJR memberikan sejumlah catatan. Pertama, RUU PAS sebaiknya dibahas dan dibentuk usai Indonesia telah matang menentukan arah pemidanaan di dalam KUHP.
Menurut Anggara, RKUHP sebaiknya disahkan terlebih dahulu sehingga proses pemidanaan menjadi jelas. Dalam pandangan ICJR, RUU Pemasyarakatan lebih kental sebagai UU Lapas daripada Revisi UU Pemasyarakatan.
ICJR melihat RUU Pemasyarakatan tidak menjawab persoalan pembinaan di luar lapas yang selama ini menjadi persoalan yang minim perhatian. Hal-hal seperti pola koordinasi pengawasan dan pembinaan pidana alternatif seperti pidana bersyarat dengan masa percobaan tidak terjawab, kewenangan litmas secara lebih jelas pun tidak diatur dengan lebih luas.
"Dalam RUU ini singkatnya Bapas masih menjadi prioritas ke dua, padahal Bapas adalah masa depan pemasyarakatan di Indonesia," kata Anggara.
Ketiga, RUU Pemasyarakatan belum tersinkronisasi dengan UU lain. Selain kebutuhan dasar pembentukan RUU PAS yang harus berdasar pada KUHP dan KUHAP baru, RUU ini tidak secara komprehensif mengatur materi lain di luar isu Lapas.
Sebagai contoh, isu ketentuan restraining order atau perintah konseling sebagai salah satu bentuk hukuman yang sudah ada dan berlaku di dalam UU PKDRT tidak diatur.
Terakhir, RUU Pemasyarakatan masih kurang dalam mengedepankan pertimbangan potensi pelanggaran HAM. Aturan penggunaan senjata dan kekuatan oleh petugas tidak diatur secara rinci mengenai pembatasannya, aturan mengenai penggunaan sel tutupan diatur tanpa syarat dan ketentuan yang jelas.
Selain itu, aspek pemenuhan hak asasi manusia untuk kelompok dengan kebutuhan spesifik seperti anak, perempuan, difabel, terpidana mati sampai kebutuhan akan akses kesehatan seperti untuk ODHA dan pengguna narkotika juga belum dimuat secara komprehensif dalam RUU tersebut.
ICJR menilai, apabila konsep yang menjadi dasar dari pembentukan RUU ini saja masih belum terlalu kuat, maka tidak ada kebutuhan untuk membahas lebih jauh materi dari RUU tersebut.
ICJR juga mengkritik tertutupnya pemerintah dalam pembentukan RUU ini, konsultasi dengan masyarakat sipil nyaris tidak terbuka. Oleh sebab itu, ICJR menolak dan menuntut perbaikan dari RUU Pemasyarakatan sebelum disahkan pemerintah.
"Untuk itu, ICJR menyatakan menolak pembahasan RUU PAS baru di DPR sampai dengan jelasnya pembaharuan KUHP dan KUHAP. Selain itu, ke depan ICJR meminta pemerintah lebih terbuka dalam melakukan perancangan dengan melibatkan masyarakat," kata Anggara.
"Terakhir, ICJR meminta agar pemerintah benar-benar memikirkan persoalan pemasyarakatan dan orientasi pemidanaan dengan tidak hanya bertitik pada Lapas dan pemidanaan di dalam lembaga, namun juga harus mengarusutamakan konsep restorative justice dengan memperkuat kelembagaan dan konsep pembinaan di luar lapas," tutur Anggara.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri