tirto.id - “Konservasi? Apa itu konservasi? Masyarakat adat Papua tidak tau apa itu konservasi.”
Mananuir Paul Finsen Mayer, Ketua Dewan Adat Masyarakat Papua sedang menggambarkan bagaimana upaya-upaya penyelamatan lingkungan acap berakhir menyedihkan di lapangan lantaran istilah dan pendekatan keliru dari pemerintah ke masyarakat adat.
Pada Senin 8 Oktober 2018 Mayer bilang: sebelum ada istilah konservasi, masyarakat adat Papua sudah terbiasa hidup berdampingan dengan alam. Kearifan lokal nenek moyang mengajarkan mereka bagaimana bertahan hidup dengan cara memanfaatkan tumbuhan, pepohonan, dan hewan tanpa harus menghancurkan habitat dan ekosistem yang sudah ada.
Ia kasih contoh bagaimana suku-suku adat di Papua beri nama mereka punya pohon, batu, hewan, dan dusun. Penamaan ini adalah pesan betapa segala macam makhluk yang ada di dalam hutan dan lautan juga harus dihormati sebagaimana halnya manusia.
Tapi kemudian orang-orang dari luar Papua datang. Mereka mengeruk emas, menebang hutan, menyerobot lahan, menguras kekayaan laut, dan memburu berbagai macam hewan. Sampai akhirnya saat apa yang disebutkan kerusakan alam terjadi, orang-orang pendatang jugalah yang menceramahi masyarakat adat Papua soal tata cara menyelamatkan lingkungan dengan istilah intelek serupa konservasi.
“Masyarakat adat sudah beri perlindungan terhadap hutan dan alam. Sehingga salah alamat kalau diminta berkontribusi terhadap konservasi,” ujar Mayer saat acara International Conference on Biodiversity Ecotourism and Creative Economy dalam sesi diskusi “Kontribusi Masyarakat Adat dalam Perlindungan dan Pengelolaan SDA Berkelanjutan” di kantor Gubernur Papua Barat, Manokwari.
Libatkan Masyarakat Adat
Mayer tak hendak menimpakan seluruh kesalahan kepada orang luar Papua. Ia sadar masyarakat asli Papua juga punya andil terhadap kerusakan alam, tapi kontribusi mereka tidak signifikan. Sebab dari fakta yang ada konsesi pertambangan, kehutanan, dan perkebunan sawit nyaris tidak ada yang dimiliki orang asli Papua.
“Artinya kalau kerusakan sumber daya alam yang cepat itu, disebabkan hukum lain (bukan hukum adat) dan orang lain. Berarti bukan orang Papua [yang merusak],” kata Mayer.
Mayer menekankan benang merah kerusakan alam di Papua akibat absennya pelibatan masyarakat lokal di dalam perencanaan hingga pelaksanaan pembangunan. Ia mengkritik orang-orang luar Papua yang berlagak paling mengerti kebutuhan masyarakat adat cuma lantaran sudah meneliti selama dua minggu. "Masyarakat butuhnya rumah dibangunkan MCK," contoh Mayer.
Sialnya kalau pun masyarakat adat diajak bicara dalam urusan pembangunan, seringkali mereka tidak mendapat informasi yang utuh. Yoseph kasih contoh eksistensi perusahaan tambang Freeport. Menurutnya, pada awal mula Freeport berdiri masyarakat adat dijanjikan akan menikmati hasil sumber daya alam yang dikeruk perusahaan. Namun nyatanya begitu perusahaan tumbuh besar masyarakat adat malah dieliminasi perusahaan dengan cara membangun tembok-tembok di sekitar area pertambangan.
“Masyarakat adat merasa tertipu dari masa lalu. Ini luka masa lalu yang tidak diselesaikan. Ada rasa tidak percaya orang Papua ke Jakarta karena masalah-masalah [seperti] itu,” ujarnya.
Kendati demikian, Mayer memastikan masyarakat adat Papua siap mendukung program-program pembangunan yang dicanangkan pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, termasuk upaya melakukan konservasi keanekaragaman hayati di tanah Papua. Asalkan, kata Mayer, masyarakat adat dilibatkan secara langsung dalam proses perumusan kebijakan hingga pelaksanaan. Sebab menurutnya mereka lah pihak yang mengerti betul substansi persoalan masyarakat dan pendekatan-pendekatan penyelesaiannya. Tanpa itu ia percaya pembangunan yang terjadi di Papua hanya akan menyingkirkan masyarakat asli Papua dari tanahnya.
“Selama ini suara kami tidak didengar baik. Ketika pemerintah turun, salah sasaran. Bukan ke kepala suku atau tokoh yang dituakan tapi ke mereka yang sama sekali tidak ada urusan: hanya LSM-LSM adat, LSM kemanusiaan yang tidak tahu substansi masalah masyarakat adat,” sesalnya.
Selain itu pelibatan masyarakat adat dalam pembangunan juga penting agar tidak menimbulkan kesalahpahaman yang berujung konflik horizontal. “Tanah adalah mamak, ketika ada orang luar datang ganggu itu [tanah] sama saja menginjak harkat dan martabat mereka. Itu yang sering jadi konflik horizontal,” ujarnya.
Deforestasi Ugal-Ugalan
Yoseph Watopa perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Tata Ruang Papua (KMSTRP) dan Koalisi Peduli Ruang Hidup Papua Barat (KPRHPB) mempertanyakan gembar-gembor Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat yang ingin menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan berbasis konservasi. Sebab pada saat yang sama pemerintah daerah dan pemerintah pusat terus mengeluarkan berbagai izin konsesi pertambangan, kehutanan, sawit di bumi Papua secara ugal-ugalan.
Pencanangan Papua sebagai provinsi konservasi sudah didengungkan sejak Oktober 2015. Namun data yang disampaikan Yoseph mengucapkan hingga tahun 2017 ada sebanyak 338 izin industri berbasis lahan yang terdiri dari 171 izin usaha pertambangan, 114 izin usaha perkebunan sawit, dan 43 IUPHHK-HA serta 10 IUPHHK-HTI dengan total luas konsesi izin sebesar 14.853.646,60 hektare atau 34,77% dari luas total Tanah Papua. “Memang belum semua izin-izin ini beroperasi atau beraktivitas di lapangan, akan tetapi izin ini adalah izin yang secara resmi diterbitkan oleh pemerintah,” kritiknya.
Yoseph mengatakan hutan di Papua mengalami deforestasi yang serius dalam dua dekade terakhir. Mengutip hasil kajian Forest Watch Indonesia Yoseph mengatakan dalam tujuh tahun terakhir (2009-2016) angka deforestasi di tanah Papua mencapai 170.484,32 hektare per tahun.
“Hutan Papua yang menjadi tempat hidup orang Papua perlahan hilang,” katanya.
Deforestasi ugal-ugalan menurut Agus terjadi salah satunya karena faktor tumpang tindih izin di Kawasan hutan lindung. Hasil analisis spasial dengan metode tumpang susun (overlay) yang dilakukan KMSTRP dan KPRHPB menunjukkan terdapat 162 izin industri berbasis lahan yang terdiri dari 102 izin pertambangan, 25 izin perkebunan sawit, dan 35 izin IUPHHK-HA/IUPHHK-HTI yang izinnya tumpang tindih dengan kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi berluas 2.627.099,78 hektare atau 11,43% dari luas total kawasan lindung di tanah Papua. “Bagaimana kita bicara penyelamatan hutan tapi kita menebangi hutan dengan membagi izin investasi?”
Karut-marut soal tumpang tindih izin konsesi di Kawasan hutan lindung dan hutan konservasi menurut Yoseph lantaran buruknya transparansi pemberian izin. Proses penerbitan izin-izin berbasis lahan seperti pertambangan, perkebunan sawit, dan kehutanan seringkali diputuskan di “ruang gelap”. “Tanpa melalui proses permintaan persetujuan atau penolakan tanpa paksaan dari masyarakat adat di lokasi industri itu beroperasi,” katanya.
Yoseph menyerukan penataan ulang pemberian izin alih fungsi hutan. Ia meminta gubernur Papua dan gubernur Papua Barat memoratorium izin usaha tambang, sawit, dan kehutanan. Tanpa itu, Yoseph yakin konflik antara perusahaan dengan masyarakat adat yang sejak lama mendiami hutan akan terus terjadi. “Lakukan tata ulang kembali. Sehingga kita bisa lihat mana yang bisa [diizinkan beroperasi] dan tidak. Di bawah banyak konflik masyarakat dengan perusahaan dan aparat,” ujarnya.
Impian Gubernur
Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan dalam pidato pembukaan acara ICBE 2018 berjanji akan menyelaraskan pembangunan ekonomi dengan pelestarian alam. Sehingga masyarakat bisa lebih mendapatkan manfaat ekonomi. Dominggus berjanji akan merevisi RTRW dengan tujuan menetapkan sekitar 70% hutan Papua Barat menjadi kawasan lindung dan pelestarian. Selain itu dia juga berjanji memperjuangkan Raperdasus yang mengakomodir pengakuan hak-hak masyarakat lokal dalam setiap izin pembangunan.
Dominggus mengklaim sejak dua bulan terakhir ia telah menandatangani pengusulan tiga kawasan konservasi perairan di daerah Kabupaten Kaimana, Fakfak, dan Raja Ampat Kepulauan FAM dengan luas sekitar seribu hektare. “Dan Provinsi Papua Barat telah memiliki sekitar 4,5 juta hektar kawasan konservasi perairan dan pantai atau sekitar 20% dari target nasional yaitu 20 juta hektar,” katanya.
Penulis: Jay Akbar
Editor: Jay Akbar