tirto.id - Greenpeace Indonesia menyebut ada banyak perusahaan terkenal yang tidak serius dalam penanganan penggundulan hutan (deforestasi) di Indonesia. Dalam laporan "Final Countdown", Greenpeace mendokumentasikan deforestasi yang luas dan pelanggaran hak asasi manusia oleh 25 kelompok produsen minyak sawit.
Akibat dari deforestasi itu lebih dari 130.000 hektar kawasan hutan di Indonesia hancur sejak akhir 2015. Industri pekebunan Kelapa Sawit dan Bubur Kertas jadi dua pemicu paling besar rusaknya hutan. Salah satu perusahaan besar yang disebut Greenpeace adalah Wilmar International.
Annisa Rahmawati Senior Campaign Forest Greenpeace, menjelaskan jika Wilmar International gagal penuhi terobosan kebijakan tidak ada deforestasi, tidak ada gambut, tidak ada eksploitasi (No Deforestation, No Peat, No exploitation -NDPE) yang dijanjikan pada tahun 2013.
"Wilmar International memiliki kekuatan untuk mengubah industri. Investigasi kami menunjukkan kegagalan total Wilmar untuk memutuskan hubungannya dengan perusakan hutan hujan" ujar Annisa di Artotel Hotel, Jakarta (19/9).
Pada tahun 2013, Greenpeace International mengungkapkan bahwa Wilmar dan pemasoknya bertanggung jawab atas deforestasi, penebangan ilegal, kebakaran di lahan gambut, dan pembukaan habitat harimau yang meluas.
Menurut Kiki Taufik Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia, minyak sawit sebenarnya dapat diproduksi tanpa merusak hutan. Tetapi investigasi Greenpeace menunjukkan bahwa perdagangan minyak sawit Wilmar masih terkontaminasi sepenuhnya dengan perusakan hutan.
"Merek-merek rumah tangga seperti Unilever, Nestle, Colgate-palmolive, dll berjanji kepada pelanggan bahwa mereka hanya menggunakan minyak sawit bersih, tetapi mereka tidak menepati janji itu. Merek-merek global tersebut harus memperbaiki masalah ini, sekali untuk selamanya, dengan memangkas pasokan Wilmar hingga mereka dapat membuktikan minyak sawitnya bersih" kata Kiki (19/9).
Sampai saat ini menurut Annisa, tidak ada kemauan serius dari Wilmar untuk melakukan apa yang sudah menjadi komitmen sejak tahun 2013 padahal waktu yang tersisa hanya tinggal 500 hari lagi menuju tahun 2020.
Selain mempersoalkan Wilmar Internasional, Greenpeace juga mempertanyakan komitmen pemerintah untuk moratorium sawit. Sebab, sudah 8 tahun moratorium dilakukan, namun sampai sekarang masih terjadi deforestasi.
"Presiden Jokowi sebenarnya sudah janji, sejak jaman SBY sebenarnya sudah berkomitmen untuk mengeluarkan satu peta tapi sampai sekarang belum ada, jadi kita belum punya rujukan untuk pembangunan. Kita tidak tahu siapa yang memiliki lahan sehingga kita tidak tahu siapa yang salah dan bertanggung jawab atas kebakaran hutan yang terjadi di wilayah Indonesia" kata Annisa di Jakarta (19/9).
Penulis: Atik Soraya
Editor: Mawa Kresna