tirto.id - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), mengutuk keras penerapan hukuman mati bagi pelaku kejahatan seksual kepada anak. Menurut mereka, Pasal 81 ayat 1 dan ayat 5 jo Pasal 76 huruf D dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang perlindungan anak tidak membawa efek jera bagi pelaku kejahatan seksual.
Wakil Koordinator Kontras, Puri Kencana justru menganjurkan agar Perppu itu, khususnya pada Pasal 81 ayat 5 jo Pasal 76 huruf D untuk dievalusi dan dikoreksi ulang.
"Aturan tersebut tidak tepat untuk mengurangi atau mereda kejahatan seksual terhadap anak," kata Puri kepada Tirto melalui sambungan telepon, Senin (9/10/2017).
Pada tahun 2017, ada dua kasus kejahatan seksual terhadap anak yang pelakunya dituntut pemberatan hukuman dengan hukuman mati.
Sementara Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono mengatakan, Pengadilan Negeri (PN) Sangatta merupakan pengadilan pertama yang menerapkan pemberatan hukuman kejahatan seksual terhadap anak. Kemudian disusul oleh PN Sorong, Papua Barat yang juga menerapkan hukuman mati dalam kasus yang sama.
Puri Kencana menegaskan bahwa hukuman mati bukanlah solusi untuk membuat efek jera bagi pelaku kejahatan seksual. Penerapan hukuman mati bagi pelaku juga akan menghilangkan kejahatan begitu saja.
Selain itu, kata dia, keputusan pemerintah memasukkan klausul vonis hukuman mati kepada pelaku merupakan akumulasi ketidaksukaan dan sentimen publik terhadap kejahatan seksual, namun pemerintah sendiri tidak memiliki mekanisme preventif bagi munculnya kejahatan seksual tersebut.
"Yang menjadi tantangan bagi pemerintah adalah apakah Perppu itu dapat menjawab rasa was-was publik dengan hukuman mati? Saya pikir tidak, kejahatan ini akan terus terjadi selama pemerintah tidak memiliki mekanisme pencegahannya," kata Puri.
Puri mengatakan praktik kejahatan seksual memiliki rangkaian panjang, artinya peristiwa itu tidak terjadi begitu saja, namun ada situasi atau sebab akibatnya, sehingga hukum harus berada dalam ruang-ruang sosial yang bisa mendiskusikan kenapa masalah-masalah itu kerap terjadi. Jadi hukum bukanlah faktor tunggal dan ahistoris.
"Kebanyakan pelaku adalah korban dari kekerasan seksual di masa lalu, jadi jangan sekedar menyalahkan pelakunya. Memang itu berbentuk pelanggaran hukum atau unsur tindak pidana, tapi hal yang harus dipahami adalah kenapa pelaku melakukan kejahatan tersebut, itu karena apa? Kita harus memberikan treatment yang terbaik bagi pelakunya, bukan langsung dikebiri atau divonis mati, yang terjadi malah menciptakan siklus kekerasan," lanjutnya.
Selain itu, kata dia, ada ruang-ruang pengawasan yang harus berfungsi untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual, seperti keluarga, sekolah, Komnas Anak, KPAI, dan lembaga pemantau lainnya. Pihak itulah yang bertugas melakukan pencegahan dan memberikan pandangan tentang seks bagi anak. Juga pada level masyarakat perlu adanya pendidikan seksual.
"Inisiatifnya dari lembaga pengawas sudah ada tapi masih minim. Kalau yang kita prioritaskan adalah mencegah praktik kejahatan seksual terhadap anak, maka kita harus terbuka membicarakan tentang seksualitas atau orentasi seksual terhadap mereka. Semisalnya memperkenalkan apa itu hak-hak seksualitas, apa itu pendidikan gender, bagaimana peran antara anak laki-laki dan anak perempuan," ungkapnya.
Puri menilai selama ini masyarakat masih terkungkung dan dibatasi oleh nilai keagamaan sehingga diskusi seputar seksualitas dirasa tabu untuk ditelaah masyarakat.
Ia juga memaparkan pada tahun 2017 Pemerintah Indonesia telah mengeksekusi sebanyak 44 orang (laki-laki) pelaku kejahatan narkotika dan pembunuhan. 44 orang pelaku di antaranya, dua orang berkebangsaan Thailand, dua orang berkebangsaan Malaysia, dua orang berkebangsaan Cina, dan sisanya berkebangsaan Indonesia.
"Sudahin hukuman mati itu. Penerapan HAM di Indonesia sangat tidak maksimal, penting juga bagi pemerintah, terutama Presiden Joko Widodo, agar tidak menggunakan istilah-istilah yang tidak penting. Dari bulan Juli sampai September, istilah seperti 'tembak ditempat', 'langsung aja kita gebukin', Presiden tidak layak menggunakan istilah seperti itu disaat kita sedang melakukan proses evalusi penegakan hukum negara." kata Puri.
Baca:
Penulis: Suparjo Ramalan
Editor: Alexander Haryanto