tirto.id - Halalbihalal Idul Fitri 1442 H atau Lebaran 2021 dianjurkan secara secara daring (virtual) alias online, bukan bertemu fisik, sebagai upaya untuk menekan penularan COVID-19 di masa pandemi Corona. Lantas, bagaimana hukumnya dalam ajaran Islam?
Kegiatan halalbihalal secara daring tidak mengurangi esensi serta tetap menjaga tali persaudaraaan atau silaturahmi untuk saling maaf-memaafkan dalam momen Lebaran.
Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia mengeluarkan panduan pelaksanaan silaturahim halalbihalal dan kegiatan open house dalam situasi pandemi.
Hal ini tertuang dalam Surat Edaran (SE) Kemenag Nomor 07 Tahun 2021 tentang Panduan Penyelenggaraan Salat Idul Fitri Tahun 1442 H/2021 Saat Pandemi Covid pada poin nomor 6 yang berbunyi sebagai berikut:
“Silaturahim dalam rangka Idul Fitri agar hanya dilakukan bersama keluarga terdekat dan tidak menggelar kegiatan open house/halalbihalal di lingkungan kantor atau komunikasi.”
Hukum Halalbihalal Online
Dikutip dari Antara, sejumlah tokoh keagamaan di tanah air juga memberikan imbauan agar kegiatan halalbihalal di momen Hari Raya Idul Fitri hendaknya dilakukan tanpa bertemu fisik demi keselamatan dan kesehatan bersama.
Sekretaris Ditjen Bimas Islam Kemenag, M Fuad Nazar, misalnya, mengatakan bahwa silaturahim dapat dilakukan secara vitual dengan menggunakan video call.
Wakil Menteri Agama, Zainut Tauhid, menambahkan, “Menjaga keselamatan itu lebih penting dan didahulukan."
Berikutnya, Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Helmy Faisal Zaini juga menyarankan agar silaturahmi dan halalbihalal secara langsung dapat diganti dengan menggunakan kegiatan daring (virtual).
Helmy Faisal Zaini menambahkan, demi menghindari penyebaran COVID-19 untuk keselamatan bersama, maka cara-cara semacam itu bersifat diutamakan.
Senada, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir, meminta kepada umat Islam untuk mengambil sisi positif dari kebijakan pemerintah, termasuk larangan mudik, dalam Lebaran 2021 yang masih berlangsung di masa pandemi.
“Larangan mudik dari pemerintah demi kemaslahatan umum. Bukan melarang mudik sebagai nilai luhur dan tradisi baik. Tetapi situasi pandemi, maka larangan ini bertujuan mencegah darurat dan terciptanya kemasalahatan dalam usaha kita bersama mengatasi COVID-19,” kata Haedar Nashir dikutip dari laman resmi Muhammadiyah.
Silaturahmi seperti tradisi mudik dan halalbihalal yang biasa dikerjakan saat Lebaran kali ini tidak harus dilakukan secara langsung demi kemaslahatan dan kebaikan bersama.
“Ambil hikmahnya. Kita masih bisa berkomunikasi meski tidak mudik," ucap ungkap Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini.
"Lewat telepon atau dengan video call, atau bagi yang belum bisa atau tidak memungkinkan bisa saling mendoakan satu sama lain dan Insya Allah anggota keluarga tetap terjalin silaturahmi dan rasa bersaudara,” imbuhnya.
Secara agama, masih dikutip dari artikel di website Muhammadiyah, larangan mudik dan berkerumun di masa pandemi sesungguhnya sejalan dengan kaidah fikih dar’ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih atau menghilangkan kemudlaratan lebih diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan.
Dengan kata lain, mudik memang mendatangkan kemasalahatan, namun tidak mudik justru sangat berpotensi menghilangkan kemudlaratan.
“Agama memberi jalan kemudahan dan tidak ingin ada kesulitan. Bahkan agama melarang kita menjatuhkan diri pada hal-hal yang merugikan diri, sesama, dan lingkungan. Dengan demikian, masyarakat diminta tetap disiplin protokol kesehatan,” tutur Haedar Nashir.
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Iswara N Raditya