Menuju konten utama

Holding BUMN Jangan Sekadar jadi Jargon dan Mimpi

Holding BUMN dipandang sebagai cara untuk menjadi perusahaan global. Tapi, jauh lebih penting dari itu: siapkah Indonesia?

Holding BUMN Jangan Sekadar jadi Jargon dan Mimpi
Serah Terima Jabatan pejabat lama Menteri BUMN, Rini Soemarno kepada Menteri BUMN baru, Erick Thohir di kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Rabu (23/10/2019). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Satu hal yang dipesankan oleh Rini Soemarno kepada Erick Thohir selaku Menteri BUMN yang baru adalah ihwal pembentukan holding (induk usaha) BUMN. Rini beranggapan, holding merupakan “amanat undang-undang” yang menegaskan bahwa BUMN “harus bermanfaat bagi masyarakat, meningkatkan kemampuan usaha para pengusaha, dimulai dari yang kecil sampai yang besar.”

“Karena BUMN ini seringkali berkompetisi dan akhirnya melemahkan kita sendiri. Dan alhamdulillah, sekarang, sudah lebih baik dan berani berkomunikasi, yang besar sudah mau melihat ke yang kecil. Kemudian yang kecil sudah berani untuk datang ke yang besar,” jelasnya di Kementerian BUMN, Jakarta Pusat (23/10/2019).

Harapannya, dari pembentukan holding ini dapat menjadi pintu masuk ke tahap berikutnya: super holding—demi terealisasinya cita-cita BUMN untuk bersaing di tingkat global.

“Nantinya, super holding itu akan menjadi seperti Temasek [Singapura] atau Khazanah [Malaysia],” kata Rini di Bursa Efek Indonesia (15/4/2019). “Kementerian BUMN akan hilang. Jadinya, hanya ada super holding.”

Wacana Lama yang Sulit Terlaksana

“BUMN harus berani keluar dari kandang untuk menjadi pioneer, ke luar negeri untuk membuka pasar, membuka jaringan, networking, sehingga swasta menjadi masuk dan mengikuti mereka.”

Kalimat tersebut diungkapkan Jokowi saat debat capres-cawapres edisi ke 5 (15/4/2019). Jokowi yakin dengan kekuatan holding BUMN yang besar, upaya pengumpulan modal akan lebih mudah dan turut mendorong perusahaan swasta untuk mengembangkan bisnisnya.

Sehingga, tegasnya, “ekonomi kita juga akan menjadi lebih besar.”

Gagasan holding pertama kali dicetuskan Jokowi pada pertengahan Mei 2015 di hadapan direktur utama dan CEO BUMN. Katanya waktu itu, holding ditujukan untuk mendorong perusahaan plat merah ini agar menjadi world class company.

Setahun berselang, mengutip laporan Katadata, Jokowi akhirnya menyetujui usulan holding. Dalam rapat terbatas kabinet di Kantor Presiden (12/8/2016), holding akan menyasar enam sektor: pertambangan, minyak dan gas bumi (migas), perumahan, jalan tol, jasa keuangan, serta pangan.

“Pembentukan holding BUMN bukan privatisasi. Ini beda. Tidak menghilangkan status BUMN pada perseroan yang menjadi anak perusahaan yang sahamnya di-imprint-kan,” ujar Jokowi. “Pembentukan holding justru ingin memperkuat, sehingga BUMN bisa keluar kandang.”

Konsep holding sedianya sudah dimunculkan tak lama usai Reformasi. Toto Pranoto, Managing Director Lembaga Manajemen FEUI, dalam “Gagasan BUMN Inc: Suatu Keniscayaan?” (2015, PDF), menjelaskan bahwa saat itu, BUMN—dibantu konsultan McKinsey—membikin masterplan pengembangan perusahaan.

Berdasarkan masterplan tersebut, pengelolaan BUMN akan dikelompokkan pada beberapa holding company. Tujuannya: menciptakan nilai pasar perusahaan (value creation). Pengelompokan ini meliputi jasa keuangan, kehutanan-pertanian, infrastruktur, hingga industri strategis.

Pembentukan holding, mengutip studi Toto lainnya yang digarap bersama Willem Makaliwe berjudul “Restrukturisasi BUMN Menjadi Holding Company” (PDF), merupakan bagian dari restrukturisasi perusahaan yang diharapkan bisa menciptakan pertumbuhan human capital, informasi, distribusi, sampai teknologi.

Namun begitu, program holding tak dapat terlaksana dengan mulus. Rezim berganti dan nyatanya program ini seperti jalan di tempat. Dari sekian holding yang semula direncanakan, baru holding di perkebunan (di bawah PT Perkebunan Nusantara), semen (PT Semen Indonesia), dan pupuk (PT Pupuk Indonesia) saja yang terwujud.

Toto menilai faktor yang membikin program holding tersendat ialah karena terganjal sistem birokrasi, dalam hal ini: pergantian presiden dan menteri.

Baru di era Jokowi, yang menjabat sejak 2014, wacana holding digencarkan kembali. Rini, dalam wawancaranya dengan Globe Asia (Februari 2018), menjelaskan bahwa dengan holding, perusahaan-perusahaan BUMN mampu berbisnis secara efisien, meningkatkan leverage hutang, yang kemudian diikuti melonjaknya investasi sampai dua digit.

“Apa yang saya lihat sekarang adalah bahwa ada beberapa perusahaan milik negara yang masih melakukan bisnis secara tidak efektif. Suatu kali saya melihat pipa gas milik PGN dan Pertagas [Pertamina Gas] beroperasi berdampingan. Kami melihatnya sebagai hal yang tidak perlu. Kedua produk itu, semestinya, harus digabung,” tandasnya.

“Masalah serupa juga muncul di perusahaan tambang, karena masing-masing punya alat berat. Peralatan tersebut sebetulnya dapat dibagi serta dioperasikan di dalam perusahaan induk. Itulah mengapa kita melihat betapa pentingnya mendirikan perusahaan induk.”

Dua holding telah berhasil diwujudkan: pertambangan (di bawah PT Inalum) dan migas (PT Pertamina). Selain dua nama itu, holding lain juga tengah disiapkan seperti di sektor pangan (Perum Bulog), jasa keuangan (PT Dana Reksa), perbankan, penerbangan (PT Garuda Indonesia), media, sampai infrastruktur (PT Hutama Karya). Yang disebut terakhir berpeluang besar gagal terlaksana setelah Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono, menolak untuk ambil bagian.

Data dari Kementerian Keuangan memperlihatkan holding BUMN turut berkontribusi terhadap naiknya pendapatan negara. Pada 2018, setoran BUMN mencapai Rp257,1 triliun dengan komposisi dividen sebesar Rp45,1 triliun serta pajak senilai Rp212 triliun. Dengan holding, Kemenkeu memprediksi capaian tersebut dapat ditingkatkan.

Infografik Holding BUMN

Infografik Holding BUMN. tirto.id/Fuad

Bisakah Erick Thohir Meniru Temasek dan Khazanah?

Dalam “Pengaruh Restrukturisasi Melalui Pembentukan Holding BUMN terhadap Kinerja Keuangan BUMN” (PDF) yang disusun Ryan Ardany dan Akhmad Solikin dijelaskan bahwa holding dapat bermanfaat, setidaknya, pada tiga hal.

Pertama, holding membuka peluang naiknya pendapatan perusahaan imbas dari proses efisiensi maupun value creation. Kedua, holding mempermudah perusahaan untuk memperoleh pendanaan. Ketiga, holding mampu meningkatkan sinergi serta kolaborasi perusahaan dalam memperkuat daya saing.

Meski begitu, upaya menciptakan formula holding yang ideal tak semudah membalik telapak tangan. Karen Agustiawan—bertindak sebagai akademisi—dalam studinya berjudul “Transforming the BUMN into an Indonesian State Holding Company” (PDF, 2015), menerangkan proses holding perlu tahapan yang tak sedikit—sekaligus tak mudah.

Sebelum mekanisme holding dieksekusi, BUMN harus punya peta jalan (roadmap) yang berfungsi sebagai panduan. Peta jalan ini memuat rencana terperinci mengenai penyusunan holding, konsolidasi antar BUMN dalam membangun entitas yang lebih besar, serta kalkulasi potensi pendapatan yang dapat diterima pemerintah lewat bisnis holding.

Setelah roadmap ditentukan, pemerintah mesti membikin aturan legal yang dapat menjamin pelaksanaan transformasi BUMN—dalam wujud holding—agar berjalan dengan baik. Aturan tersebut bakal membahas tentang implikasi hukum dari holding sampai pemasukan dari pajak.

Keberadaan undang-undang dimaksudkan untuk memperkuat holding serta memisahkan peran negara dari manajemen perusahaan BUMN. Ada dua jalur legislatif yang dapat ditempuh: Peraturan Pemerintah (PP) yang diusulkan menteri serta ditandatangani presiden dan Peraturan Presiden (Perpres).

Dengan adanya peraturan hukum yang resmi, maka tahapan selanjutnya ialah masuk ke ranah teknis. Fase ini meliputi penggabungan maupun pengalihan aset, pembagian berdasarkan sektor, sampai penunjukan orang-orang kompeten—dari kalangan teknokrat atau profesional—untuk memimpin perusahaan holding.

Ada dua contoh terbaik yang memperlihatkan keberhasilan holding BUMN: Khazanah (Malaysia) dan Temasek (Singapura). Khazanah merupakan perusahaan induk BUMN yang didirikan pada 1994 dan berfungsi sebagai super holding pengelola kelompok-kelompok BUMN komersial. Nilai portofolio Khazanah, yang dihitung berdasarkan Net Worth Adjusted (NWA), telah berkembang tiga kali lipat selama 10 tahun terakhir—dari $10,63 miliar (2004) menjadi $33,04 miliar (2013).

Khazanah membawahi lebih dari sepuluh sub-holding seperti properti, transportasi dan logistik, keuangan, infrastruktur serta konstruksi, kesehatan, teknologi, sampai agrikultur. Mereka juga melebarkan sayap investasinya secara global, termasuk di Singapura, India, Cina, Indonesia, dan beberapa negara di Eropa.

Sedangkan Temasek sendiri dibentuk pada 1974, di bawah Undang-Undang Perusahaan Singapura, sebagai perusahaan swasta. Temasek memperoleh tugas untuk memantau sekaligus menjalankan investasi pemerintah, menggantikan peran Kementerian Keuangan. Di masa awal pembentukan, Temasek berfokus pada privatisasi aset negara. Sampai 2001, sudah lebih dari 60 perusahaan yang telah diprivatisasi oleh mereka, dengan kepemilikan saham masing-masing lebih dari 50 persen.

Perlahan, Temasek menjelma menjadi perusahaan berskala global. Pada 2014, aset Temasek mencapai $177 milar—melonjak drastis dari $285 juta pada 1975. Investasi dalam bentuk aset asing menyumbang 70 persen dari total aset ($121,1 miliar).

Hyungon Kim dan Kee Hoon Chung, dalam “Can State-Owned Holding (SOH) Companies Improve SOE Performance in Asia? Evidence from Singapore, Malaysia and China” yang terbit di Journal of Asian Public Policy, menulis bahwa kunci keberhasilan Khazanah dalam membangun kekuatan sebagai holding company terletak pada struktur serta pembagian tugas yang jelas antara pemerintah dan manajemen perusahaan.

Pemerintah hanya mengatur masalah regulasi dan hal-hal yang sifatnya makro, lalu manajemen—di bawah seorang CEO—bertugas untuk menjalankan pengelolaan korporasi di level mikro. Selain itu, kinerja perusahaan juga ditunjang keberadaan komisi pengawas yang ditempati konsultan internasional. Mereka rutin memberi rekomendasi dalam bentuk rencana aksi (action plan) maupun bisnis (business plan) kepada perusahaan.

Sementara faktor keberhasilan Temasek, tulis Kim dan Chung, disebabkan kontrol yang efektif lewat kerangka hukum pengelolaan perusahaan yang kuat. Bermodalkan hal itu, Temasek mampu mengawasi kinerja perusahaan sekaligus meminimalisir konflik politik dan kepentingan yang ada di lingkup BUMN.

Reformasi Erick Thohir di tubuh BUMN sudah dimulai lewat bongkar-pasang pejabat. Tugas berikutnya sudah menanti: keberlanjutan holding yang diwacanakan dan direncanakan sejak lama. Bila Erick memang ingin menjadikan BUMN mampu bersaing secara global, holding layak untuk ditindaklanjuti.

Namun demikian, Erick juga harus sadar bahwa upaya holding tak pernah mudah. Pertama, belum ada payung hukum yang lebih komprehensif sehubungan dengan mekanisme holding. Kedua, kebijakan holding memerlukan jalur birokrasi yang panjang dan berbelit karena melibatkan banyak pemangku kebijakan di tiap perusahaan. Sebelum jauh melangkah, Erick harus berani menempuh reformasi di dua aspek tersebut.

Ditambah, holding juga mesti memperhatikan kondisi perusahaan. Artinya, holding tidak mungkin melibatkan perusahaan-perusahaan yang sakit secara keuangan dan berpotensi terus merugi. Alih-alih memantapkan holding, keadaan semacam itu justru bikin holding buyar.

Satu hal yang tak boleh ditepikan: ketika holding terlaksana, Erick mesti bisa memastikan bahwa tak ada ruang untuk intervensi politik dari pemerintah maupun pihak-pihak lainnya. Studi Kim dan Chung menjelaskan, tantangan signifikan dalam membangun holding company adalah menjaga agar holding tersebut lepas dari intervensi politik serta birokrasi.

Campur tangan berlebih dari pemerintah berpotensi membuat efisiensi maupun efektivitas holding company tersendat—dan pada akhirnya bisa membikin gagal BUMN dalam mewujudkan target yang dicanangkan.

Konsep holding company BUMN dalam dinamika ekonomi kiwari kerap dipilih sebagai alternatif karena menawarkan kebebasan dari otoritas politik, kedaulatan untuk menjalankan manajemen yang benar-benar profesional, serta punya peluang lebih besar dalam mendatangkan keuntungan.

Akan tetapi, pemerintah Indonesia, tepatnya Kementerian BUMN, juga harus sadar bahwa diperlukan kebijakan maupun langkah yang serius untuk menyambut holding. Jangan sampai pemerintah hanya sesumbar belaka—menjadikan holding sebagai pijakan menuju world class company—tanpa dibarengi keberanian dalam mereformasi tubuh BUMN.

Apabila masih demikian, mimpi untuk menjelma seperti Temasek baiknya dikubur saja.

Baca juga artikel terkait BUMN atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Eddward S Kennedy