tirto.id - Bau obat-obatan bercampur desinfektan dan segala hal berwarna putih, bersih. Itulah reaksi yang ditangkap indera ketika pertama kali masuk ke dalam rumah sakit. Rumah sakit terkesan steril dengan penampakan seperti itu.
Namun, kenyataannya, rumah sakit adalah tempat nyaman bagi kuman berkembang biak dan mengembangkan resistensi. Sebersih apa pun rumah sakit, ia menyimpan banyak kuman yang siap berpindah antara pasien, pengunjung, dan tenaga kesehatan.
Para peneliti dari Universitas Chicago di Illinois melakukan pengamatan selama setahun di sebuah rumah sakit untuk mengetahui keberadaan kuman penyebab penyakit di sana. Mereka membandingkan jumlah kuman beredar sebelum rumah sakit beroperasi dan sesudahnya.
Saat rumah sakit dibangun, tim peneliti yang dipimpin ahli ekologi mikroba, Jack Gilbert, memetakan wilayah publik seperti tempat keluar masuk staf dan pasien, toilet, mesin penjual otomatis, dll. Mereka menyeka seluruh permukaan sebelum rumah sakit tersebut dibuka untuk umum pada Februari 2013 dan menyimpulkan bahwa tak ada aktivitas kuman yang berarti.
Namun, setelah rumah sakit dibuka operasionalnya, terdapat peningkatan tajam jumlah Corynebacterium, Staphylococcus, dan Streptococcus. Hasil penelitian menunjukkan bedrail sebagai sarang kuman paling potensial. Mikroba yang hidup di sana menyerupai mikroba pada tubuh pasien. Jumlahnya lebih banyak dibanding mikroba pada bahan sampel lainnya. Artinya, bedrail bisa menjadi media kuman dari pasien sebelumnya yang kemudian disebarkan ke pasien selanjutnya.
Ahli mikrobiologi dari Universitas Indonesia, dr. Anis Karuniawati, SpMK, juga menguatkan soal kuman di rumah sakit. Beberapa kuman yang terdeteksi, misalnya, adalah bakteri penyebab infeksi Staphylococcus aureus pada gawai para tenaga kesehatan, Corynebacterium striatum yang menetap di wastafel, dan Enterococcus faecalis di bedrail.
“Spora, misalnya, bisa mengontaminasi sprei. Dia tidak hilang hanya dengan desinfektan karena punya kemampuan bertahan, kecuali di-autoklaf,” kata Anis. Autoklaf adalah mekanisme sterilisasi dengan suhu dan tekanan tinggi.
Anis menjelaskan bahwa jumlah orang yang ditampung di dalam rumah sakit memengaruhi jumlah kuman yang beredar. Semakin banyak orang di sana, semakin banyak pula kuman menetap. Gesekan pada lantai, permukaan meja, dan benda padat lainnya saat orang-orang tersebut melakukan aktivitas bisa membikin kuman naik ke udara.
“Bakteri rumah sakit banyak terpapar desinfektan dan antibiotik jadi mereka lebih pintar dan ditantang bermutasi menjadi lebih tahan dan menetap di pasien,” kata Anis, menjelaskan kondisi tersebut.
Komunitas bakteri pada kulit pasien dengan permukaan kamar inap menjadi semakin mirip dari waktu ke waktu. Mulanya, pasien mendapat sisa kuman dari pasien sebelumnya, tapi mikroba yang ada di tubuh mereka sendiri juga memengaruhi struktur komunitas kuman di kamar. Gen yang membikin resistensi anti-mikroba lebih berlimpah di permukaan kamar daripada di kulit pasien.
Tangan para pekerja rumah sakit juga cenderung menjadi sumber penyebaran bakteri ke kulit pasien dibanding sebaliknya. Namun, Anis mengungkapkan, patogen menjadi penyakit pada manusia jika jumlahnya sudah mencapai angka tertentu. Peluang terjadinya infeksi juga ditentukan oleh imunitas tubuh. Infeksi bisa lebih cepat terjadi dalam kondisi sakit.
Kuman Datang dari Rumah
Kuman yang terakumulasi kemudian berpindah ke pasien memang memunculkan peluang penularan. Centers for Disease Control and Prevention menyebut dari sekitar 31 pasien di rumah sakit, satu di antaranya mendapat infeksi dari masa perawatan. Demikian juga hasil pengamatan dari Gilbert dan rekan, dari 252 pasien yang berpartisipasi, sebanyak 20 orang mendapat infeksi dari rumah sakit.
Meski begitu, para peneliti meyakini bakteri paling berbahaya tidaklah berada di rumah sakit, melainkan dibawa oleh pasien. Penyekaan pada kamar pasien, dokter, serta perawat tidak menunjukkan adanya bakteri yang bertanggung jawab atas infeksi pasien. Tim peneliti menyimpulkan bahwa mikroba yang membikin infeksi tidak didapat pasien dari rumah sakit, melainkan sudah mereka bawa sejak sebelum mereka dirawat.
Mereka punya hipotesis bahwa mikroba pada kamar rumah sakit tidak lebih bahaya ketimbang mikroba di rumah pasien. Jadi, sangat mungkin mikroba yang sama juga dibawa oleh pengunjung ke rumah sakit. Temuan ini tak sejalan dengan sudut pandang umum yang menganggap rumah sakit sebagai sumber penyakit berbahaya.
“Orang-orang menduga bahwa patogen infeksi rumah sakit datang bersama pasien, tetapi mereka ada pada lingkungan sebelum itu,” kata Jordan Peccia, insinyur lingkungan di Universitas Yale yang mempelajari soal penularan penyakit di gedung, seperti dikutip Science Mag.
Menanggulangi Kuman di Rumah Sakit
Dokter Anis menyarankan para pengunjung, pasien, tenaga kesehatan, maupun pekerja di rumah sakit melakukan pencegahan. Minimal, katanya, praktikkan lima momen cuci tangan yang disarankan oleh WHO, yakni sebelum kontak dengan pasien, sebelum tindakan aseptik, setelah terkena cairan tubuh pasien, setelah kontak dengan pasien, dan setelah kontak dengan lingkungan sekitar pasien.
“Makanya ruang seperti kamar operasi dibatasi jumlahnya. Seharusnya membawa bunga, selimut, bantal, atau alas tidur dari luar rumah sakit juga dilarang karena bisa menjadi media penyebaran kuman baru.”
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani