Menuju konten utama

Harun Masiku: Caleg Gagal Demokrat, Terjerat Korupsi di PDIP

Harun Masiku memulai karier politiknya sejak 2009 melalui Partai Demokrat dan berpindah ke PDIP pada Pileg 2019.

Harun Masiku: Caleg Gagal Demokrat, Terjerat Korupsi di PDIP
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar (tengah) dan Ketua KPU Arief Budiman (kiri) menyaksikan penyidik menunjukkan barang bukti operasi tangkap tangan (OTT) KPK yang menjerat seorang komisioner KPU di gedung KPK, Jakarta, Kamis (9/1/2020). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto.

tirto.id - Mantan caleg PDIP daerah pemilihan Sumatera Selatan (Sumsel) I Harun Masiku terseret sebagai tersangka dalam kasus suap Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Penetapan tersangka ini diumumkan KPK pada Kamis (9/1/2020).

Dalam operasi tangkap tangan (OTT) itu, penyidik KPK menyita uang senilai Rp400 juta dalam mata uang dolar Singapura. Uang itu akan diberikan Agustiana kepada Wahyu, sebagai ongkos untuk memproses pengganti antar waktu (PAW) Harun Masiku atas caleg PDIP Dapil Sumsel I, Nazarudin Kiemas, yang meninggal sebelum pencoblosan Pemilu 2019.

KPK menyangkakan Wahyu Setiawan dan Agustiana dengan Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sedangkan Harun Masiku dan Saeful dijerat dengan pasal pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Memulai Karier Politik via Demokrat

Harun Masiku lahir di Jakarta pada 21 Maret 1971. Ia kemudian dibesarkan di Bone, Sulawesi Selatan dan menghabiskan masa sekolahnya di sana hingga SMA. Dia kemudian hijrah ke Makassar dan berkuliah di Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin Makassar pada 1989 hingga 1994.

Begitu lulus, ia bekerja sebagai pengacara di Dimhart and Association Law Firm, Jakarta hingga 1995. Karirnya berlanjut di PT Indosat, Tbk sebagai pengacara korporat hingga 1998.

Lalu Harun mendapat British Chevening Award dan melanjutkan studi S2 mengenai Hukum Ekonomi Internasional di University of Warwick, Inggris selama setahun sembari menjadi peneliti di universitas yang sama hingga 2002. Hingga saat ini, ia masih tercatat sebagai Senior Partner Johannes Masiku & Associates Law Offices sejak 2003.

Ia juga tercatat di sejumlah organisasi, seperti GMKI Sumatera Selatan pada 1989 sampai 1994 dan anggota Perhimpunan Advokat Indonesia.

Jejak karier politiknya mulai terlihat pada tahun 2009 saat ia menjadi Tim Sukses Pemenangan Pemilu dan Pilpres Partai Demokrat. Pada 2011, ia pernah menjadi Tenaga Ahli Anggota Komisi III DPR RI.

Pada 2014, ia menjajal peruntungannya menjadi caleg dari Partai Demokrat pada Pileg 2014 dengan daerah pemilihan Sulawesi Selatan III.

Namun, ia memilih berpindah ke PDI Perjuangan pada Pileg 2019. Kendati tidak lolos ke Senayan, namanya kemudian diusulkan partai untuk menjadi pengganti caleg PDIP lain, Nazarudin Kiemas yang sudah meninggal dunia sebelum pencoblosan namun berhasil lolos ke parlemen.

Dari laman KPU, berdasarkan hasil rekapitulasi perolehan suara PDI Perjuangan untuk Dapil Sumatera Selatan I, peringkat kedua di bawah perolehan suara Nazarudin adalah Riezky Aprilia dengan perolehan 44.402 suara. Kemudian diiikuti dengan Darmadi Djufri yang memperoleh 26.103 suara.

Peringkat keempat ditempat Doddy Julianto Siahaan dengan 19.776 suara dan peringkat lima ditempati Diah Okta Sari yang meraih 13.310 suara. Harun Masiku sejatinya berada di peringkat enam dengan perolehan 5.878 suara.

Pada 31 Agustus 2019, KPU kemudian mengadakan rapat pleno dan menetapkan Riezky Aprilia sebagai calon terpilih DPR Dapil Sumsel I. Namun, dalam rapat itu, saksi dari DPP PDIP mengajukan keberatan.

Menurut Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, PDIP memiliki wewenang memilih pengganti Nazarudin Kemas karena mengikuti putusan Mahkamah Agung (MA).

“Kalau proses pergantian itu, kan, ada keputusan dari MA. Bahwa ketika ada seseorang yang meninggal dunia, karena peserta pemilu adalah parpol, maka putusan MA menyerahkan hal tersebut ke parpol. Tapi keputusannya, kan, tetap ada di KPU. Kami tidak mengambil keputusan," kata Hasto saat ditemui di JIEXPO Kemayoran, Jakarta Pusat, ketika meninjau persiapan Rakernas I PDIP, Kamis (9/1/2020) sore.

Hasto juga membenarkan PDIP lebih memilih kader bernama Harun Masiku ketimbang Riezky Aprilia untuk menggantikan Nazarudin Kiemas karena beberapa alasan.

"Dia [Harun] sosok bersih dan dalam upaya pembinaan hukum juga selama ini cukup baik track record-nya. Tapi kami itu pertimbangannya karena adanya putusan MA. Tanpa adanya putusan MA itu kami tidak mengambil keputusan terhadap hal tersebut," kata dia.

Namun, Hasto membenarkan partainya melakukan judicial review beberapa pasal dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) ke Mahkamah Agung (MA) pada 2019. Saat itu, PDIP menggugat aturan terkait pergantian antar waktu (PAW) yang semula kewenangannya pada KPU. MA mengabulkan gugatan tersebut, sehingga keputusan PAW berada pada partai.

Oleh karena itu, ia menepis keputusan PAW yang ditekennya bersama Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri adalah bentuk lobi-lobi atau negosiasi politik ke KPU yang berujung operasi tangkap tangan oleh KPK.

"Partai di dalam melakukan proses PAW, demikian KPU, didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang ada. Dan itu sangat rigid itu. Sangat ketat. Tidak bisa sembarangan hanya karena lobi-lobi politik, lalu PAW tersebut dapat dijalankan," katanya.

PDIP Cari Aman

Hingga kini, penyidik KPK masih memburu Harun Masiku (HAR), eks caleg PDIP yang jadi tersangka pemberi suap ke Komisioner KPU RI, Wahyu Setiawan (WSE).

"KPK meminta tersangka HAR segera menyerahkan diri ke KPK dan pada pihak lain yang terkait dengan perkara ini agar bersikap kooperatif," kata Wakil Ketua KPK Lili Pantauli dalam konferensi pers, Kamis (9/1/2020).

Seiring dengan pemberitaan kasus dugaan suap mengenai dirinya, Harun Masiku juga tak terlihat pada Rakernas PDIP di JIEXPO Kemayoran yang dibuka pada Jumat (10/1/2020).

Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto yang pada kesempatan itu dicecar wartawan mengaku tak tahu di mana posisi Harun Masiku saat ini.

Nama Harun telah telah masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) KPK pasca penangkapan Wahyu Setiawan dan sejumlah pihak lainnya.

"Kalau Harun Ar-Rasyid itu di dalam cerita kita sering mendengar, tapi kalau Harun ini kita tidak tahu khususnya di mana," kata Hasto ditemui di Rakernas PDIP I di JIEXPO Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat (10/1/2020) malam.

Hasto juga tak menjawab tegas apakah partainya akan membantu KPK dengan menyerahkan Harun Masiku. Ia menambahkan PDIP akan menyerahkan sepenuhnya proses penegakan hukum tanpa intervensi.

Terkait kasus Harun, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri secara tidak langsung menyinggungnya saat memberikan pidato politik terkait arahan kepada seluruh kader partai berlambang banteng itu.

Megawati meminta kepada seluruh kader PDIP di seluruh Indonesia untuk semangat mewujudkan cita-cita rakyat dan jangan sekali-sekali memunggungi rakyat Indonesia.

"Jangan hitung untung-rugi bagi kerja politik. Jangan cari keuntungan pribadi atau kelompok dari tugas ideologis ini," kata Megawati dalam pidatonya.

Apalagi, kata Megawati, pidato politiknya sore itu adalah instruksi untuk seluruh kader di partai yang harus diikuti.

"Pidato politik ini, dengar, pidato politik ini adalah instruksi langsung dari ketua umum. Bagi seluruh kader PDIP, saya tidak akan melindungi kader yang tidak taat terhadap instruksi partai," kata dia.

Megawati menambahkan, ia mempersilakan kadernya keluar dari PDIP jika tak mau mengikuti instruksinya. Dengan begini, Megawati seolah memberi isyarat partainya akan lepas tangan dalam kasus Harun dan memintanya untuk mengundurkan diri.

Baca juga artikel terkait OTT KOMISIONER KPU atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Politik
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Maya Saputri