Menuju konten utama

Hari Toleransi Internasional: LBH Pers Desak Hapus 3 Pasal UU ITE

Salah satu kasus yang dijadikan contoh oleh Ade adalah Aking Saputra, pengusaha berdarah etnis minoritas di Karawang

Hari Toleransi Internasional: LBH Pers Desak Hapus 3 Pasal UU ITE
Pelajar SMP Muhammadiyah 5 Surabaya memperingati Hari Toleransi Internasional. ANTARA FOTO/Didik Suhartono.

tirto.id - Perayaan Hari Toleransi Internasional jatuh pada Jumat (16/11/2018). Dalam perayaan hari toleransi tahun ini, LBH Pers memberi catatan khusus serta menyoroti pengekangan berekspresi dan kebebasan masyarakat untuk berpendapat.

"Sebenarnya kita masih punya pasal di ITE yang sering banyak digunakan untuk mengkriminalisasi kebebasan berekspresi. khususnya dalam kerangka kebebasan keyakinan dan beragama," kata Direktur LBH Pers Ade Wahyudin saat berbincang dengan Tirto di kantor LBH Pers, Jakarta, Jumat (16/11).

Ade mengaku, ada 3 pasal yang menjadi persoalan yakni pasal 27 ayat 1, pasal 27 ayat 3, dan pasal 28 ayat 2 UU ITE. Khusus dalam kasus toleransi, LBH Pers menyoroti pasal 28 ayat 2.

Seharusnya, kata Ade, pasal 28 ayat 2 digunakan untuk menjerat pihak yang menyebar ujaran kebencian berbentuk SARA. Akan tetapi, pasal tersebut malah menyasar korban hatespeech. Apalagi, lanjut Ade, pembuktian pelanggaran pasal ITE tergolong mudah.

"Misal dia menulis [status di Facebook], terus teman [yang dikritik] ada di FB [membaca] tulisan ini? Itu udah cukup jadi tersangka, mudah banget akhirnya jadi idola lah pasal-pasal kayak gini," kata Ade.

Salah satu kasus yang dijadikan contoh oleh Ade adalah Aking atau Aking Saputra yang merupakan pengusaha berdarah etnis minoritas di Karawang, Jawa Barat. Aking dipenjara akibat menyebar informasi yang menimbulkan rasa kebencian secara berlanjut.

Kasus pertama yang dilakukan Aking, kata Ade, terjadi pada tahun 2017. Kemudian, Aking kembali menulis status pada Mei 2018 yang dinilai sebagai ujaran kebencian, dengan menyebut: "Kenapa ya anak-anak di Indonesia zaman sekarang banyak kelewatan bodohnya kalau bicara komunisme. Apakah anak zaman sekarang tahu bahwa banyak tokoh PKI adalah pemuka agama."

Lalu, Aking juga menulis status di akun Facebooknya yang berbunyi "Kitab sucinya mengajarkan kebencian, makian, ancaman siksa neraka pedih, pembunuhan, hukum potong tangan, hukum rajam sampai mati".

Akibat menuliskan status itu, kata Ade, Pengadilan Negeri Karawang menjatuhkan vonis 1 tahun 6 bulan kepada Aking karena dinilai terbukti melanggar pasal 156a tentang penodaan agama.

Padahal, kata Ade, ujaran Aking bukanlah upaya menghasut, tetapi mengajak publik untuk berdiskusi. Menurut dia, apa yang dialami Aking adalah satu dari sekian banyak contoh intimidasi terhadap kaum minoritas untuk berekspresi.

"Jadi kelompok minoritas sering jadi korban atas pasal ini dan kami nilai pasal-pasal di ITE ini khususnya pasal 27 ayat 1 pasal 27 ayat 3 dan 28 ayat 2 ini memang bermasalah dan ini enggak bisa terus dibiarkan," kata Ade.

Ade berharap, pemerintah mau mengevaluasi keberadaan ketiga pasal tersebut. Bahkan, Ade menilai pasal tersebut harus dihapus agar tidak terjadi kriminalisasi lebih banyak di masa depan.

"Kami menilai pasal itu karet dan harus dihapuskan," kata Ade.

Baca juga artikel terkait HARI TOLERANSI SEDUNIA atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Alexander Haryanto