tirto.id - Ahmad Dhani resmi menjadi tersangka kasus pencemaran nama baik dan ujaran kebencian berbasis SARA. Kasus itu bermula pada 26 Agustus 2018 yang lalu, saat Dhani akan menghadiri deklarasi #2019GantiPresiden di Surabaya, Jawa Timur.
Sebelum acara itu dimulai, hotel tempat Dhani menginap, Hotel Majapahit Surabaya didemo massa yang mengatasnamakan diri Koalisi Elemen Bela NKRI. Dhani lantas merekam video yang dia unggah melalui akun Instagram miliknya. Video itu dikomentari sebanyak 1.493 dan disukai 12.881 akun.
"Yang demo yang membela penguasa, lak lucu a. Ini idiot-idiot ini. Ini idiot-idiot ini," kata Dhani dalam video itu dengan logat Surabaya yang khas, sembari menuding ke arah pintu masuk hotel.
Selang empat hari kemudian, pada 30 Agustus 2018, Koalisi Elemen Bela NKRI yang diketuai Edi Firmanto melaporkan Dhani ke Subdit V Cyber Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jawa Timur. Pada 18 Oktober 2018, status hukum Dhani dinaikkan menjadi tersangka.
Saat dikonfirmasi, Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol Frans Barung Mangera membenarkan, Dhani dijerat delik pencemaran nama baik, Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 11/ 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Ancaman pidana pasal tersebut usai direvisi ialah maksimal 4 tahun kurungan penjara dan denda paling banyak Rp750 juta. Dia juga dikenai Pasal 28 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (2) UU ITE terkait penyebaran kebencian berbasis SARA.
Pada Jumat 19 Oktober 2018, Dhani melaporkan Edi Firmanto ke Bareskrim Polri. Dia menuding Edi dan Koalisi Elemen Bela NKRI telah melakukan persekusi terhadapnya.
"Gara-gara orang ini [Edi Firmanto] GR saya sebut idiot dan dia melaporkan saya ke polisi dan kita mendapatkan nama bahwa dialah salah satu orang yang mempersekusi saya,” kata Dhani saat ditemui Bareskrim Polri, Jakarta, Jumat (19/10/2018).
Polisi dan Saksi Harus Independen
Dosen Universitas Airlangga Henri Subiakto menjelaskan, UU ITE sering digunakan untuk menjerat orang di luar konteks aturan itu sendiri. Henri menganggap hal tersebut sebagai penyalahgunaan.
Sebagai Ketua tim antar-kementerian untuk membahas revisi UU ITE tersebut, menurut Henri, semangat UU ITE untuk mencegah adanya fitnah kepada seseorang. Belakangan yang terjadi justru UU ITE digunakan untuk memberangus orang-orang yang berkata kasar, terkadang juga keluhan dari konsumen pada perusahaan.
Di antara UU ITE dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Henri berpendapat bahwa KUHP harus didahulukan. Dalam Pasal 310 KUHP misalnya, disebutkan bahwa mereka yang dijerat adalah siapapun yang sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang.
“Kalau kelompok itu ya tidak bisa, atau kalau enggak ada individunya ya enggak bisa,” kata Henri kepada reporter Tirto, Jumat (19/10/2018).
Dalam konteks video yang menjadikannya tersangka, Dhani memang tak menyebut orang tertentu. “Itu sudah jelas kok, kalau tidak menyebut nama seseorang ya siapa yang dicemarkan nama baiknya? Ini banyak yang sering keliru,” tegasnya lagi.
Sedangkan terkait delik Pasal 28 ayat (2) yang juga menjerat Dhani, ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia Mudzakir menjelaskan, pasal itu tidak bisa dikenakan pada Dhani. Sebab sifat ujaran itu berbalasan dan caci maki. Dia menyarankan agar pihak kepolisian menuntaskan kasus itu melalui jalur damai.
Terkait ujaran kebencian, Dhani justru berpotensi melaporkan balik pelapornya. Sebab dalam rekaman video, massa penolak deklarasi #2019GantiPresiden melontarkan makian khas Surabaya ke Dhani berupa, “Hey jancok, ayo metu!”
“Lihat saja videonya di situ. Kan saling mencaci. Kedudukannya sama. Ya itu nggak sudah diproses, diselesaikan damai saja,” kata Mudzakir dihubungi reporter Tirto.
Mudzakir menambahkan, kepolisian harusnya tidak memaksakan agar setiap laporan pidana harus sampai pada penetapan tersangka ataupun pengadilan. Pada kasus Dhani misalnya, ia berharap polisi transparan dalam memilih ahli yang akan memperkuat penyelidikan. Sebab penetapan Dhani sebagai tersangka turut didorong ahli hukum, ahli bahasa, dan ahli sosial yang dipilih Polda Jatim.
“Ahli itu kan independen,” lanjut Mudzakir. “Setuju enggak setuju harusnya polisi enggak menggantinya. Kalau semua enggak setuju ya dijadikan dasar penghentian perkara.”
Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) sudah jauh hari merekomendasikan mencabut seluruh Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Pasal tersebut multi tafsir dan berpotensi disalahgunakan untuk mengancam kebebasan berekspresi.
Selain itu adanya duplikasi tindak pidana dari UU ITE dengan seluruh ketentuan pidana dan atau pencemaran nama baik dalam KUHP. Harusnya menurut ICJR, harus dikembalikan segala bentuk pemidanaan itu ke dalam KUHP yang mengatur lebih rinci.
Di sisi lain pasal tersebut tidak memiliki kepastian hukum. Sebab diterapkan secara beragam, mulai dari proses penyidikan, dakwaan, prosedur penahanan, prosedur pencabut laporan dan mediasi. Sedangkan penafsiran pasal tersebut, membelenggu praktik pengadilan yang eksesif.
Problem Pasal Karet
Peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISeSS) bidang kepolisian, Bambang Rukminto mengatakan, UU ITE memang sangat karet atau multitafsir. Posisi saksi ahli sangat berpengaruh.
“Ini membuat polisi bisa melakukan tafsir sendiri,” tegas Bambang ketika dihubung reporter Tirto.
Menurut Bambang, bila polisi mendapat keterangan ahli yang tidak sesuai dengan tujuan mereka, boleh jadi mereka mencari ahli lain hingga pendapat mereka searah. Identitas ahli itu pun seringkali tidak jelas.
“Harusnya dikatakan ahli kan tersumpah. Ya tapi ahlinya kita juga tidak tahu siapa. Polisi malah jadi juru tafsir bagi undang-undang.”
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menganggap UU ITE seharusnya bisa diperbaiki. Sebab pasal karet tersebut berpotensi untuk disalahgunakan, apalagi di tahun politik. Dia juga berharap polisi sadar bahwa UU ITE pasal karet dan tidak serta-merta menggunakannya untuk menjerat seseorang.
“Penafsirannya seringkali berbeda-beda. Oleh karena itu langkah hukum Ahmad Dhani nanti hasilnya semoga bisa menjadi koreksi bagi pihak kepolisian agar lebih jeli menafsirkan UU ITE,” kata Dasco dihubungi reporter Tirto.
Kuasa hukum Ahmad Dhani, Aldwin Rahadian juga menyatakan hal yang serupa. Dia menganggap bahwa kliennya seharusnya tidak bisa dikenakan pidana pencemaran nama baik. Bila polisi bersikap bijaksana, seharusnya polisi menghentikan kasus Dhani.
“Sebetulnya polisi harusnya menolak laporan itu,” kata Aldwin di Bareskrim Polri.
Kabid Humas Polda Jawa Timur Kombes Frans Barung Mangera menganggap tudingan Dhani yang merasa dirinya dikriminalisasi, hanyalah usaha untuk provokasi. Jika tidak terima dengan status tersangka, Frans juga mempersilakan Dhani mengambil jalur praperadilan.
“Ya uji saja di praperadilan daripada berkoar-koar dan menimbulkan hal baru,” tegas Frans dihubungi reporter Tirto.
Namun Frans mengatakan polisi memang hanya memeriksa ahli pidana dan ahli bahasa. Untuk ahli UU ITE, Polda Jatim tidak meminta keterangan.
“Jawaban saya singkat. Uji koridornya di pengadilan. Saya tidak ingin polemik,” pungkasnya.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Dieqy Hasbi Widhana