tirto.id - Nilai tukar dolar AS terhadap rupiah yang saat ini sempat menembus Rp14.400 (kurs BI) menjadi tantangan bagi agen pemegang merek (APM) mobil untuk mengatur strategi. Ketergantungan industri mobil terhadap beberapa komponen impor, membuat setiap ada gejolak kurs, langkah mengotak-atik harga jual jadi sandaran.
Namun, APM tak langsung memilih opsi menaikkan harga produk saat ada gejolak kurs. Opsi menaikkan harga jual adalah taruhan daya beli konsumen menurun, sehingga berimbas pada penjualan. Tentu saja pabrikan mobil atau APM punya strategi masing-masing.
Executive General Manager PT Toyota Astra Motor (TAM) Fransiscus Soerjopranoto mengatakan TAM memilih strategi hedging atau lindung nilai kurs. Strategi ini membantu saat terjadi depresiasi mata uang dan kenaikan harga bahan baku, agar kerugian bisa ditekan. Sehingga saat ada perubahan kurs tak langsung direspons dengan kenaikan harga.
Perusahaan otomotif menerapkan jurus hedging dalam melakukan aktivitas impor bahan baku komponen mobil atau unit mobil utuh (CBU). Perusahaan mematri nilai transaksi impor yang disepakati produsen, dengan cara membeli kontrak serah, sebuah dokumen kesepakatan untuk pembelian barang di waktu mendatang. Dalam kontrak tersebut, importir menetapkan besaran nilai tukar mata uang yang akan menjadi dasar perhitungan harga barang. Sehingga importir tidak perlu membayar lebih mahal jika transaksi dilakukan saat kurs rupiah semakin melemah.
“Kita melakukan strategi hedging untuk menekan nilai utang jika dolar menguat. Misalnya untuk impor mobil CBU harga Rp1 miliar dengan kurs rupiah saat ini Rp 14.400, kita pasti pasang nilai (kurs mata uang) di atas itu, misal Rp14.700. Jadi ketika dolar naik sampai Rp15.000 atau lebih sudah aman," kata Fransiscus Soerjopranoto kepada Tirto.
Penguatan kurs dolar memang sangat berkaitan dengan industri otomotif. Bahan baku pembuatan komponen mobil yang masih mengandalkan komoditas impor menjadi alasan mengapa mobil rakitan lokal juga tidak bebas dari dampak depresiasi rupiah. Daihatsu Ayla yang sudah menggunakan komponen lokal mencapai 86 persen, 14 persen komponennya masih harus diimpor. Toyota Calya yang sudah menggunakan 94 persen komponen dalam negeri juga tak bebas dari gejolak kurs.
“Mobil rakitan lokal itu enggak semua komponennya dari dalam negeri. Komponennya ada yang diimpor. Komponen yang dibuat di Indonesia juga bahan bakunya, seperti besi, masih impor. Jadi tetap ada efeknya pada kenaikan harga dolar AS),” kata Soerjopranoto.
Triwulandari S. Dewayana, Dedy Sugiarto, Dorina Hetharia dari Fakultas Teknologi Universitas Trisakti (2012) dalam makalah berjudul "Peluang dan Tantangan Industri Otomotif Indonesia" mengungkapkan opsi mendatangkan barang impor dipilih oleh pabrikan mobil ketika kualitas plat besi dan baja, karet, alumunium, serta tembaga tidak memenuhi standar kualitas manufaktur. Namun, ada juga yang memang belum diproduksi di dalam negeri.
Jurus Naikkan Harga di Awal Tahun
Urusan gejolak kurs bukan masalah baru bagi pabrik mobil, tiga tahun lalu saat dolar sempat menyentuh titik tertinggi hingga Rp14.700 pada September 2015. Pada awal tahun berikutnya, Mitsubishi menaikkan Mirage dengan kisaran kenaikan Rp1-2,5 juta dan Mitsubishi Pajero Sport Rp2-3 juta per unit. Toyota juga menaikkan harga rata-rata 1 persen pada produknya.
"Pada dasarnya, kenaikan harga dilakukan karena ada cost adjustment 2015, namun kami tahan karena mempertimbangkan situasi market dan faktor daya beli konsumen," kata GM Corporate Planning and PR TAM Widyawati Soedigdo, Januari 2016.
Toyota sebagai pemimpin pasar, masih melakukan pengkajian untuk memutuskan ada atau tidaknya kenaikan harga jual produk yang berkorelasi dengan gejolak kurs. Kebijakan ekonomi dari pemerintah pusat juga dijadikan pertimbangan dalam membuat proyeksi harga jual mobil.
“Menaikkan harga itu mempengaruhi demand. Makanya kita lihat dulu perkembangan dolar dan kebijakan pemerintah. Kenaikan harga itu kita lakukan kalau dolar menguat signifikan seperti saat reformasi 1998 tempo hari, atau kenaikannya tidak signifikan tapi berlangsung dalam waktu lama. Kita lihat selama enam bulan kondisi dolar,” kata Soerjopranoto.
Sejauh ini, perusahaan otomotif masih optimistis tidak langsung menaikkan harga jual meskipun dolar menguat terhadap rupiah. Namun, ada beberapa jenis mobil yang harganya sudah naik. APM PT Mitsubishi Motors Krama Yudha Sales Indonesia (MMKSI) sudah menaikkan harga Mitsubishi Xpander sekitar Rp3 juta. Alasannya bukan karena faktor dolar, karena harga Xpander sebelumnya disubsidi oleh MMKSI.
“Perlu diketahui mungkin akan sedikit berdampak kepada konsumen Xpander, sebelumnya dengan kenaikan BBN (Bea Balik Nama), kami adakan subsidi (BBN). Namun, nanti di SPK yang melakukan pemesanan (mulai) 1 Mei, BBN akan dikenakan kepada konsumen,” kata Sales & Marketing Group Head PT MMKSI, Imam Choeru Yahya seperti dikutip Antara.
Sementara itu, Wuling Motors menyatakan bakal menaikkan harga mobil mulai Juli 2018. Brand Manager Wuling Indonesia Dian Asmahani mengungkapkan, kenaikan harga mobil Wuling bukan karena pergerakan faktor dolar saja, tapi ada pemicu lainnya antara lain faktor pajak, kenaikan ongkos produksi dan lainnya.
“Kalau ditanya seberapa besar pengaruh dolar ke harga (Wuling), enggak terlalu besar karena transaksi (impor komponen) kita pakai mata uang Yuan. Mostly part dari Cina. Kenaikan harga itu karena ada ongkos produksi dan ongkos operasional naik. Kalau dolar pengaruhnya kecil,” katanya kepada Tirto.
Direktur Pemasaran dan Layanan Purna Jual PT Honda Prospect Motor (HPM) Jonfis Fandy sempat mempertimbangkan menaikkan harga mobil di semua model mobil Honda sejak awal Mei 2018. Namun, sampai saat ini rencana Honda itu belum terealisasi. Ia tak memungkiri faktor gejolak dolar menjadi penentu keputusan menaikkan harga.
"Jika rupiah melemah terus menerus mungkin langkah terakhir adalah menaikkan harga," kata Jonfis kepada Tirto.
Para APM menampik gejolak kurs dolar berimbas pada harga produknya. Namun, bila melihat secara historis, para APM memilih mengambil strategi menaikkan harga di awal tahun. Pada Januari 2017, Toyota membanderol Toyota Avanza dan Agya lebih mahal sekitar Rp1,5-Rp 2 jutaan dari harga sebelumnya. Beberapa bulan sebelum kenaikan harga, kurs dolar terhadap rupiah sempat bergejolak pada medio 2016, sempat menyentuh Rp 13.600.
Di awal 2018, PT Astra Daihatsu Motor (ADM) juga menaikkan harga Daihatsu Xenia sekitar Rp1 juta, dan Daihatsu Ayla naik Rp1,5 juta. Secara kebetulan sebelum ada kenaikan harga, di penghujung 2017 kurs dolar menguat hingga Rp13.600.
Gejolak kurs dolar terhadap rupiah memang tak langsung mendorong pabrik mobil menaikkan harga mobil. Namun, "tradisi" menaikkan harga mobil di awal tahun jadi salah satu cara untuk menutup peluang tekanan dari masalah nilai tukar dan faktor lain yang bisa mengerek biaya produksi dari kondisi tahun sebelumnya. Maka bersiaplah dengan kenaikan harga mobil di awal tahun nanti.
Editor: Suhendra