tirto.id - Semua Rumah Sakit (RS) memiliki standar yang baku dalam pelayanan gawat darurat. Hal ini menjadi acuan bagi daerah dalam mengembangkan pelayanan khususnya di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Pasien pun diminta untuk mengetahui hak, kewajiban, dan prosedur di setiap RS.
Menurut PMK No.85 Tahun 2015 terdapat perbedaan soal biaya antara rumah sakit negeri dan swasta. Pasal 2 menyatakan tarif rumah sakit yang dikelola oleh pemerintah pusat ditetapkan oleh menteri atas usul kepala atau direktur rumah sakit.
Sementara tarif swasta, yang diatur dalam Pasal 4, ditetapkan oleh kepala atau direktur rumah sakit dengan persetujuan pemilik rumah sakit. Maka, wajar apabila tarif RS swasta lebih mahal dibandingkan tarif rumah sakit Negeri.
Kewajiban yang perlu dilakukan oleh pasien berbeda-beda. Untuk pasien kategori umum ketika masuk IGD adalah mengurus pendaftaran ke loket, dan langsung membayarnya di kasir RS. Dengan prosedur membawa kartu identitas dan kartu berobat (bila ada).
Pasien yang memiliki kartu Jamkesda (Jaminan kesehatan daerah) harus membawa surat dari Dinas kesehatan, rujukan Puskesmas, Kartu identitas, Kartu Keluarga. Masing – masing difotocopy 5 rangkap. Dan mengurus persyaratan penjaminan biaya perawatan.
Kemudian pasien yang merupakan anggota asuransi Jasa Raharja perlu membawa kartu berobat, kartu identitas, surat perintah mondok, surat laporan dari kepolisian, dan surat jaminan dari Jasa Raharja. Dengan mengurus penjaminan biaya di kasir.
Berbeda dengan pasien yang memiliki Kartu BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Pasien harus membawa Kartu Indonesia Sehat (KIS), kartu identitas dan Surat Egibilats Pasien(SEP) yang diterbitkan oleh rumah sakit.
Oleh sebab itu, biaya pasien yang merupakan anggota BPJS dapat digratiskan. Dan RS akan mengklaim biaya ganti rugi ke pihak BPJS. Hal ini berlaku bagi rumah sakit negeri maupun swasta.
Namun, terkadang beberapa RS swasta lebih memilih menyuruh keluarga pasien BPJS melakukan rujukan ke rumah sakit yang bermitra dengan BPJS. Padahal dalam pasal 29 ayat 1 UU No 44 Tahun 2009 poin J, yang memiliki kewajiban untuk melakukan rujukan adalah rumah sakit.
Sedangkan menurut Maria Margaretha, kepala bidang pelayanan kesehatan Dinkes DKI Jakarta, rumah sakit dilarang menyuruh pasien atau keluarga pasien untuk mencari tempat rujukan. Sementara, rujukan hanya boleh dilakukan ketika rumah sakit tidak memiliki alat yang canggih untuk penanganan pasien.
Pada pasal 32, hak pasien adalah mendapatkan pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu dari rumah sakit, dengan standar profesi dan standar prosedur operasional. Memperoleh pelayanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi atau membeda-bedakan.
Selain itu, pasien juga memperoleh layanan yang efektif dan efisien, sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi.
Apabila hak pasien tidak dipenuhi, pasien dapat menggugat dan/atau menuntut RS yang bersangkutan, terdapat pada pasal 32 poin Q. Kemudian Dinas Kesehatan berhak memberi sanksi administratif berupa teguran, teguran tertulis, atau denda dan pencabutan izin rumah sakit.
Penulis: Yudha Najib
Editor: Yantina Debora