Menuju konten utama

Edukasi Bayar Iuran BPJS Baiknya Tidak dengan Mengancam & Menakuti

Pemerintah menganggap iuran BPJS Kesehatan tidak seberapa jika dibandingkan dengan pengeluaran rokok dan pulsa. Dan itu keliru.

Edukasi Bayar Iuran BPJS Baiknya Tidak dengan Mengancam & Menakuti
Petugas melayani warga di Kantor Pelayanan BPJS Kesehatan Jakarta Pusat, Matraman, Jakarta, Selasa (3/8/2019). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/aww.

tirto.id - Iuran BPJS Kesehatan akan naik sampai dua kali lipat Januari tahun depan, dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menganggap itu wajar. Pemilik berbagai bisnis di bawah Kalla Group ini membandingkan kenaikan iuran dengan pengeluaran untuk rokok.

"Itu hanya satu bungkus. Orang merokok satu bungkus sehari, ini untuk satu bulan. Jadi tidak besar dibandingkan pengeluaran yang lain," kata JK September lalu, dikutip dari Antara.

Iuran untuk peserta BPJS Kesehatan kelas I naik dari Rp80 ribu jadi Rp160 ribu; kelas II dari Rp51 ribu jadi Rp110 ribu; dan kelas III dari Rp25.500 jadi Rp42 ribu. Jarang ada rokok seharga nyaris Rp50 ribu. Di warung-warung rokok paling mahal ada di kisaran Rp25 ribu.

JK juga membandingkan kenaikan iuran dengan pengeluaran pulsa. Lagi-lagi menurutnya harga pulsa lebih mahal ketimbang iuran, dan oleh karenanya tak perlu terlalu dipusingkan.

"Beli pulsa aja jauh lebih besar dari itu. Masak, lebih mementingkan pulsa daripada kesehatan?" kata JK di Kantor Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Selasa (8/10/2019).

Perbandingan serupa pernah diutarakan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Bekas Direktur Bank Dunia ini mengatakan iuran untuk BPJS Kesehatan belum jadi prioritas pengeluaran masyarakat. Yang lebih diutamakan adalah pulsa dan rokok.

"Dari sisi belanja rumah tangga, paling besar adalah untuk beli pulsa telepon, dan bahkan rokok. Namun iuran kesehatan tidak masuk ke dalam prioritas mereka," kata Sri Mulyani, dikutip dari Antara.

Menurutnya hal ini bisa terjadi karena "masalah edukasi". Sepanjang masyarakat terus diberi penerangan soal pentingnya asuransi, maka mereka akan tidak keberatan membayar iuran.

Masalahnya edukasi dengan cara perbandingan ini keliru, demikian menurut Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar.

Layanan Belum Memuaskan

Timboel mengatakan, masyarakat selama ini tidak puas dengan pelayanan BPJS Kesehatan, sehingga rencana kenaikan tarif direspons negatif. Untuk itu, pemerintah tidak perlu membandingkan iuran BPJS dengan pengeluaran rokok ataupun pulsa, karena persoalannya bukan tarif iuran BPJS Kesehatan kecil atau tidak.

Sudah menjadi rahasia umum, apabila layanan BPJS Kesehatan tidak terlalu prima jika dibandingkan dengan asuransi swasta. Pengguna BPJS biasa mengalami antre panjang, terlibat perkara administrasi yang berbelit, dan sejenisnya.

Tahun lalu bahkan BPJS Kesehatan mengurangi tanggungan jaminan kesehatan untuk persalinan, pasien katarak, dan rehabilitasi medik.

Pengelolaan keuangan yang buruk kerap membuat hak-hak dokter yang menangani pasien BPJS Kesehatan berkurang. Hal ini, kata Timboel, turut berpotensi menurunkan layanan terhadap pasien.

"BPJS Kesehatan perlu memberikan bukti bahwa layanan yang akan mereka berikan kepada masyarakat nantinya itu setimpal dengan kenaikan iuran yang ada," kata Timboel menjelaskan apa yang semestinya dilakukan BPJS Kesehatan jika iuran benar-benar naik.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad menilai kritik JK sebenarnya tidak keliru tetapi justru menjadi bukti minimnya edukasi bagi masyarakat.

Saat ini, kata Tauhid, edukasi terkait pentingnya aktif dalam asuransi seperti BPJS Kesehatan masih minim, sehingga manfaat dari biaya yang dibebankan kepada masyarakat tidak dipahami. Alhasil, masyarakat pun protes dengan kenaikan tarif.

Tak heran, jika kabar kenaikan iuran demi keberlanjutan program tidak diterima masyarakat dan malah direspon dengan banyaknya masyarakat yang turun golongan.

“Edukasi asuransi masih minim. Baik terkait biaya yang dibebankan dan manfaat yang diterima masyarakat, peran pemerintah dalam melakukan pengelolaan, sampai subsidi program tersebut,” ucap Tauhid saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (10/10/2019).

Belum lagi, kata Tauhid, tata kelola BPJS Kesehatan juga belum optimal. Bahkan, sempat disorot oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Mulai dari persoalan manajemen, sistem sampai dengan pertanggungjawaban pemberi layanan kesehatan.

Ujung-ujungnya, lanjut Tauhid, kenaikan tarif mendapatkan penolakan dari masyarakat. Belum lagi, daya beli masyarakat sendiri saat ini juga belum mampu mengakomodir kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan.

Solusi Lain

Satu-satunya alasan pemerintah menaikkan iuran adalah kondisi keuangan BPJS Kesehatan yang 'berdarah-darah'. Pada 2017, keuangan mereka defisit Rp13,8 triliun, dan nyaris Rp20 triliun setahun setelahnya.

"[Tahun] 2019 akan muncul defisit yang lebih besar lagi," kata Sri Mulyani dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (21/8/2019).

Beragam cara dicoba pemerintah selain menaikkan iuran, termasuk mengancam tak memberikan layanan publik seperti perpanjangan SIM, pembuatan paspor, hingga IMB kepada peserta yang membandel.

Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan rencana ini "inpresnya sedang diinisiasi."

Bagi Alamsyah Saragih, Anggota Ombudsman RI, kebijakan ini juga ngawur dan tidak semestinya direalisasikan.

Alamysah menyarankan pemerintah untuk melakukan institutional review terhadap skema pelayanan jaminan sosial bagi lapis masyarakat saat ini ketimbang menerbitkan kebijakan sanksi inkonstitusional.

"Jangan karena pemerintah gagal membangun kelembagaan sosial-ekonomi untuk mendukung kepastian pembiayaan jaminan kesehatan, kemudian rakyat dihukum dengan dicabut hak-hak konstitusional lainnya. Pelayanan publik itu hak konstitusional warga," tegasnya dalam laman resmi Ombudsman.

Baca juga artikel terkait IURAN BPJS KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Ringkang Gumiwang