tirto.id - Staf Khusus Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Atmadji Sumarkidjo mengatakan pemerintah akan menolak opsi investasi Cina yang menggunakan skema government to government (G to G). Sebaliknya, pemerintah RI hanya membuka opsi business to business (B to B).
Keputusan ini, kata Atmadji, dikeluarkan oleh Menko Luhut Binsar Pandjaitan sebagai penanggung jawab investasi Cina yang tengah dibicarakan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Belt and Road Initiative (BRI).
Atmadji menuturkan sebuah tim kecil yang dipimpin oleh Menko Luhut telah melakukan kajian terhadap negara-negara yang sempat jatuh ke dalam jebakan utang Cina. Terutama kondisi negara yang berujung pada gagal bayar serta penguasaan aset negara oleh perusahaan Cina.
“Begitu diminta sebagai penanggung jawab investasi dari Cina, keputusan pertama Menko Luhut adalah menolak skema G to G. Hal ini berdasarkan studi tim mengenai jeratan utang beberapa negara,” ucap Atmadji kepada reporter Tirto saat ditemui di Gedung Menko Kemaritiman pada Kamis (25/4).
Menurut Atmadji, pemerintah nantinya hanya menyediakan kemudahan izin dan fasilitas dengan mewajibkan adanya feasibility study dari institusi dunia seperti Mackenzie dan sebagainya.
Sementara itu, peran pemerintah Cina hanya sebatas menyediakan pembiayaan murah langsung kepada perusahaan Tiongkok yang akan mengerjakan tawaran proyek investasi Indonesia.
Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahan negara Sri Lanka yang sempat tak mampu melunasi utangnya karena menjalin kerja sama dengan Cina melalui APBN-nya. Akibat dari kesalahan itu, Sri Lanka, kata Atmadji, harus melepas 70 persen saham Pelabuhan Hambatota kepada sebuah BUMN Cina.
“Investasi di Indonesia dikucurkan sendiri oleh perusahaan-perusahaan yang bekerja sama dengan skema B to B. Dengan demikian, pemerintah Indonesia tidak akan terjebak dengan Cina debt trap,” ucap Atmadji.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Maya Saputri