Menuju konten utama

#UlamaTolakOBOR: Isu Ekonomi yang Diwarnai Sentimen anti-Cina

Tagar #UlamaTolakObor dimanfaatkan simpatisan paslon 02 Prabowo-Sandiaga di media sosial untuk menyerang petahana melalui sentimen anti-Cina.

#UlamaTolakOBOR: Isu Ekonomi yang Diwarnai Sentimen anti-Cina
Michel Temer, Vladimir Putin, Xi Jinping, Jacob Zuma dan Narendra Modi berpose untuk foto dalam KTT BRICS di Xiamen International Conference and Exhibition Center di Xiamen, tenggara provinsi Fujian, China, Senin (4/9). ANTARA FOTO/REUTERS/Kenzaburo Fukuhara/Pool

tirto.id - Inisiatif sabuk dan jalan atau One Belt One Road (OBOR) kembali ramai diperbincangkan di media sosial. Namun, kali ini pemantiknya bukan berasal dari ekonom, peneliti atau aktivis non-government organization (NGO), melainkan dari para pemuka agama Islam.

Di Twitter, hastag #UlamaTolakOBOR bertengger di puncak trending topic dengan 126 ribu cuitan per pukul 12.44 WIB, Senin (13/5/2019). Tagar tersebut mulai bermunculan sejak Ahad, berbarengan dengan kegiatan “Multaqo Ulama Ahlus Sunnah” di Pondok Pesantren Darussalam, Wanaraaja, Garut, Jawa Barat.

Bagi sebagian orang, pondok pesantren pimpinan Cecep Abdul Halim Musaddad itu mungkin terdengar tidak asing karena beberapa kali disorot media sepanjang Pilpres 2019. Akhir November 2018, misalnya, Pesantren Darussalam jadi pemberitaan karena menolak lawatan cawapres nomor urut 01, Ma'ruf Amien.

Dalih penolakan itu, berdasarkan surat resmi pondok pesantren yang tersebar di media sosial, adalah agenda kunjungan yang bertabrakan dengan jadwal para pengurus menghadiri Reuni 212.

Empat bulan setelahnya, pada Maret 2019, pesantren tersebut menerima kunjungan Capres nomor urut 02, Prabowo Subianto dalam rangka kampanye Pilpres 2019. Saat itu, pengurus pondok tak hanya memfasilitasi Prabowo untuk bertemu dengan pada santri, melainkan juga masyarakat sekitar pesantren.

Di Balik Isu Tolak OBOR

Proyek OBOR yang diinisiasi pemerintah Cina memang banyak menuai kritik, bahkan sebelum Pilpres 2019.

Isu ini kembali mendapat sorotan saat sejumlah pejabat teras Indonesia menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Belt and Road Initiative (BRI) di Cina yang digelar pada 24 hingga 27 April 2019.

Dalam artikel Tirto “Risiko di Balik Pembiayaan Infrastruktur Indonesia dari KTT BRI” misalnya, peneliti Iklim dan Energi Greenpeace, Adila Isfandiari mengatakan pemerintah perlu mewaspadai potensi ketidakmampuan Indonesia membayar kembali pinjaman pemerintah Cina itu.

Adila mengutip data Center for Global Development 2018 yang menyatakan terdapat 8 negara peserta BRI yang diprediksi gagal membayar pinjaman itu. Kedelapan negara itu adalah Djibouti, Kyrgyztan, Laos, the Maldives, Mongolia, Montenegro, Pakistan, dan Tajikistan.

“Kami menyoroti risiko China’s debt trap ini. Indonesia memiliki risiko terhadap pinjaman BRI ini. Ada 8 negara tak bisa bayar karena utang kepada Cina lebih dari 50 persen dari total utang mereka kepada pihak asing,” ucap Adila dalam media briefing di Plaza Kuningan, Jakarta, 24 April 2019.

Sementara dalam sejumlah video yang tersebar di YouTube, para Ulama yang diminta keterangannya mengatakan bahwa kebijakan pemerintah atas OBOR tersebut merupakan bentuk penjajahan Cina atas Indonesia.

Tak hanya dianggap sebagai jebakan utang, proyek ambisius Cina itu juga dicurigai sebagai akal-akalan negeri tirai bambu itu untuk menguasai kepemilikan proyek infrastruktur dalam negeri.

Namun demikian, belum lama ini kabar tersebut telah ditepis Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan dengan dalih pemerintah justru memperketat syarat-syarat bagi seluruh pebisnis Cina yang akan berinvestasi ke Indonesia.

Luhut menyebut ada lima syarat yang diajukan pemerintah. Pertama, investor Cina harus menggunakan tenaga kerja asal Indonesia. Kedua, perusahaan yang berinvestasi harus memproduksi barang yang bernilai tambah.

Ketiga, Cina wajib melakukan transfer teknologi kepada para pekerja lokal. Keempat, Pemerintah Indonesia memprioritaskan konsep investasi melalui business to business, bukan government to government. Kelima, jenis usaha yang dibangun harus ramah lingkungan.

Dimanfaatkan Simpatisan 02

Dalam konteks ini, tagar #UlamaTolakObor justru dimanfaatkan simpatisan paslon nomor urut 02 Prabowo-Sandiaga untuk menyerang petahana melalui sentimen anti-Cina--yang punya sejarah panjang dan terkadang muram di Indonesia.

Meskipun, Pabowo Subianto yang menjadi penantang Jokowi pada Pilpres 2019, mengatakan bahwa dirinya juga menyambut investasi Cina, dengan syarat harus tetap menguntungkan Indonesia.

Ia pernah berjanji meninjau ulang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang menggunakan pinjaman dari Cina serta menegosiasikan kebijakan perdagangan yang lebih adil dengan Beijing--mengingat perdagangan Indonesia dengan Cina yang terus menerus defisit.

Rizal Ramli, ekonom senior sekaligus mantan Menko Kemaritiman era Jokowi yang kini berada di barisan pendukung Prabowo mengatakan, salah satu yang bakal dinegosiasikan adalah penerapan kebijakan anti-dumping terhadap produk negeri tirai bambu.

“Diperlukan keberanian dalam dunia internasional dan keberanian dalam negosiasi. Pak Prabowo, setelah terpilih akan negosiasi langsung dengan Xi Jinping,” kata Rizal.

Lantaran itu, peneliti Arus Survei Indonesia, Faisal Arief mengatakan, sangat mubazir jika isu OBOR tersebut diarahkan pada sentimen anti-Cina.

“Cina adalah negara ekonomi terbesar. Semua orang tahu itu. Jika kita tidak membangun kerja sama ekonomi dengan Cina, ekonomi Indonesia bisa tertinggal,” kata dia saat dihubungi reporter Tirto.

Selain itu, sejumlah survei juga menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi Jokowi masih mendapat kepercayaan dan respons positif dari publik. Menurut Faisal, justru rendahnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap petahana terletak pada isu penegakan hukum dan anti-korupsi.

“Jadi, bergurlirnya isu ini tidak efektif menyerang petahana,” kata Faisal.

Baca juga artikel terkait KTT BRI CINA atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz & Mufti Sholih