tirto.id - Kasus rencana pembunuhan pejabat negara dan pimpinan lembaga survei saat kerusuhan di Jakarta 21-22 Mei 2019 lalu menyeret sejumlah nama. Salah satu yang disebut-sebut tim penyidik adalah Habil Marati, politikus PPP.
Berdasarkan keterangan Wadir Krimum Polda Metro Jaya, Ade Ary Syam Indradi, Habil adalah penyandang dana.
"Uang yang diterima tersangka Kivlan Zen itu dari tersangka HM (Habil Marati). Maksudnya untuk pembelian senpi (senjata api)," ujar Ade di Kantor Kemenko Polhukam, Selasa (11/6/2019) kemarin. Kepada Kivlan, Habil menyetor dana sebesar 15 ribu dolar Singapura atau setara Rp150an juta.
Selain itu, kepada satu tersangka lain yakni HK alias Iwan, Habil juga memberikan dana operasional yang jumlahnya, masih menurut Ade, Rp60 juta.
Duit Rp210 juta jelas bukan masalah bagi Habil, sebab selain politikus, dia juga pengusaha.
Usai menempuh studi jurusan Syariah di IAIN Sumut dan lulus pada 1982, pria kelahiran 7 November 1962 tersebut berkarier di berbagai perusahaan. Kariernya moncer hingga pada 1994 atau 12 tahun setelah lulus, dia mencapai posisi tinggi dan menyandang status pemilik saham dan Direktur Utama PT Batavindo Kridanusa, perusahaan yang sempat bermasalah pada medio 2000an.
Tiga tahun berselang, Habil resmi menjadi direktur di PT Galaxy Pacific Evalindo, PT Makassar Perrosal Global, dan PT Satomer Fiberindo. Pada 2000, Habil juga menyandang status Dirut PT Industri Kakao Utama dan PT Agra Pos Lava.
Memegang jabatan direktur sejumlah perusahaan jelas menjanjikan duit berlimpah. Tapi toh itu saja tidak cukup. Di sela-sela rutinitas tangan kiri di sejumlah perusahaan, tangan kanan Habil menjamah dunia politik. Pada 1997-1999 dia menjadi anggota MPR, sempat pula menjabat anggota Komisi XI DPR dari fraksi PPP.
Di DPR inilah Habil mulai menyita perhatian. Saat partainya lebih banyak mengkritik kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Habil cenderung bersikap sebaliknya. Dia memang disebut dekat dengan Gus Dur dan bahkan kerap menyambangi markas sang presiden saat masih aktif.
Habil memang sempat menjadi anggota Pansus Buloggate dan Bruneigate yang bertugas menyelidiki aliran dana ke Gus Dur. Namun di dalam Pansus tersebut Habil lebih identik sebagai "pengganggu". Dia pun akhirnya dipecat.
Sikap dan pendapatnya juga lebih sering berseberangan dengan kebijakan partai. Akibatnya, dia mulai dijuluki "koboi mbalelo" dan sempat terancam bakal ditarik dari DPR. Namun, alih-alih ditarik, karier Habil di partai berlambang kakbah itu malah semakin langgeng. Bahkan pada tahun-tahun berikutnya dia bisa memperluas jangkauan pengaruhnya ke dunia yang sama sekali berbeda: sepakbola.
Gabung PSSI Sumut dan Jadi Rekan Djohar
Keputusan Habil menceburkan diri di dunia si kulit bundar terjadi sekitar 2002, saat dia tengah menempuh studi Magister Manajemen di Universitas Sumatera Utara (USU). Pada tahun itu dia ditetapkan sebagai Penasihat PSSI Sumut periode 2002-2005.
Habil memang bukan 'orang bola', setidaknya jika dilihat dari latar belakangnya. Namun relasinya luas. Apalagi, dia juga tercatat menjabat Ketua DPW Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) Sumut.
Jabatan Penasihat PSSI Sumut bikin Habil dekat dengan satu nama familiar di dunia sepakbola nasional: Djohar Arifin Husin. Penyebabnya sederhana: saat Habil menjadi penasihat, Djohar yang sebelumnya sempat jadi manajer tim junior PSSI adalah Ketua Komisi Daerah (Komda) PSSI Sumut.
“Beliau orangnya kalem dan baik,” kenang Djohar terhadap sosok Habil, sebagaimana dikutip CNN.
Pada 2005 Habil dan Djohar akhirnya tak lagi ada dalam satu institusi. Djohar tak lagi berkecimpung di PSSI Sumut karena saat itu dia diangkat jadi Sekretaris Jenderal (Sekjen) Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat.
Di saat bersamaan Habil memutuskan untuk lebih fokus di bidang politik, meski namanya masih tercantum sebagai Wakil Ketua Bidang Perwasitan Sepakbola Seluruh Indonesia.
Dipertemukan Kembali sebagai Rival
Kisruh yang mengakibatkan PSSI harus menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) pada 2011 mempertemukan kembali keduanya. Bedanya, kali ini mereka bersua sebagai rival: Djohar maupun Habil mencalonkan diri sebagai Ketua Umum PSSI periode 2011-2015.
Habil adalah sosok yang paling antusias di antara calon lain. Dilaporkan BBC, dialah orang pertama yang mendaftar pada hari pertama pada 12 April 2011.
"Target saya adalah tahun 2018 timnas Indonesia tampil di Piala Dunia, untuk itu saya akan memperhatikan pemain usia dini yang akan disiapkan menjadi pemain andal agar target itu tercapai," ucap Habil beberapa pekan kemudian.
Habil memang berulang kali mengutarakan ambisinya agar timnas bisa tampil di Piala Dunia--janji yang bisa dibilang muluk-muluk.
"Pokoknya saya siapkan lima tim untuk persiapan ke Piala Dunia 2018. Selain mengirim timnas ke Brasil dan Argentina, sisanya berguru ke Eropa, saya jamin kita bakal bisa memenuhi keinginan masyarakat sepakbola Indonesia," katanya.
Tapi Habil tak punya portofolio menjanjikan untuk menggapai titik itu. Tak heran jika namanya tidak diunggulkan.
Saat pemungutan suara pada Kongres di Surakarta, 9 Juli 2011, Habil berada di posisi buncit. Berlawanan dengan itu, Djohar Arifin Husin, kolega lamanya di PSSI Sumut, menempati urutan teratas dengan perolehan 61 suara.
Hari itu juga Djohar ditetapkan sebagai Ketua Umum sah, dengan Farid Rahman sebagai wakilnya.
Kesempatan Kedua Juga Gagal
Pada hari pertamanya sebagai Ketua Umum, Djohar langsung berjanji PSSI bakal terbebas dari kepentingan politik. Janji ini bakal dia wujudkan dengan mencegah orang-orang partai politik masuk ke federasi.
Djohar terbukti menelan ludah sendiri. Di tahun pertama dia kembali menarik Habil, yang masih jadi politikus PPP, sebagai pengurus federasi. Kali ini Habil diberi wewenang tak main-main: menjadi manajer timnas untuk Piala AFF 2012.
Selama menduduki jabatan itu, Habil lebih banyak mendapat rapor merah.
Matias Ibo, salah satu tenaga medis timnas saat itu, adalah orang yang pernah membuka aib Habil di hadapan media. Jelang Piala AFF 2012, Ibo menyebut Habil kerap pilih kasih dalam memberikan fasilitas kepada staf tim. Bahkan, Ibo juga membeberkan kalau gajinya selama lima bulan sempat ditunggak.
"Lima bulan gaji saya tidak dibayarkan sesuai kontrak dengan PSSI, bahkan peralatan medis yang saya beli dengan uang pribadi demi kepentingan para pemain di timnas pun belum diganti oleh manajemen," tuturnya.
Bukan cuma dalam hal pemenuhan kewajiban, Habil juga dinilai gagal menghadirkan skuat yang bagus. Salah satu kelalaian yang turut jadi tanggung jawabnya adalah membiarkan timnas dihuni terlalu banyak pemain naturalisasi.
Nama-nama baru yang masuk, misal Johny van Beukering atau Arthur Irawan, pun dinilai jauh dari kriteria patut untuk masuk timnas. Bahkan Raphael Maitimo yang saat itu belum tuntas proses naturalisasinya dia paksa ikut bergabung.
Maka tak mengherankan jika Indonesia akhirnya gagal total di Piala AFF 2012. Tergabung di Grup B, Indonesia cuma meraih empat poin, hasil imbang kontra Laos dan menang tipis atas Singapura. Saat melawan rival abadi Malaysia, Tim Garuda bahkan takluk dua gol tanpa balas.
Pencapaian buruk itu akhirnya bikin Habil dicopot dari jabatannya, terpaut empat bulan sejak dilantik.
"Selesainya langkah Timnas senior di Piala AFF 2012, selesai juga tugas Habib Maranti, ke depannya kami akan melakukan persiapan jauh lebih baik lagi," kata Bob Hippy yang saat itu menjabat sebagai Exco PSSI, seperti dilansir Bola.
Tahun 2013, Habil mencoba balik dengan membeli klub Persibo Bojonegoro. Namun, rencana itu tak kunjung terealisasi. Keseriusan Habil menjadi donatur Laskar Anglindarma juga diragukan manajer tim, Nur Yahya. "Kalau mau serius, harusnya sudah dari kemarin-kemarin," keluhnya.
Keraguan Yahya terbukti benar. Alih-alih membuktikan kapasitasnya dan mengantar Persibo sebagai klub yang disegani, Habil kian menjauh dari dunia sepakbola dan lebih memilih jalan politik. Pelan tapi pasti dia menghilang dari ingar-bingar lapangan hijau.
Editor: Rio Apinino