tirto.id - Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas, menyebut skema subsidi pupuk di Indonesia rawan penyelewengan dan memunculkan praktik perburuan rente (keuntungan). Sebab, kata dia, disparitas harga antara pupuk subsidi dan pupuk nonsubsidi sangat besar.
Oleh karena itu, kata dia, kerap terjadi penyelewengan penyaluran pupuk bersubsidi di daerah, mulai dari level provinsi hingga desa.
Hal ini, kata dia, dilakukan oleh para mafia perdagangan pupuk yang mengeruk keuntungan pribadi dan menyengsarakan petani.
"Disparitas harga antara pupuk subsidi dengan harga pupuk nonsubsidi kan besar sekali. Bayangkan, berapa besar keuntungan yang didapatkan kalau pupuk subsidi ini dijual dengan harga di atas HET," ungkap Andreas kepada Tirto, Jumat (29/3/2019).
Ia mencontohkan, margin yang bisa didapat dari penyelewengan pupuk urea eceran tertinggi dipatok Rp1.800 per kilogram, punya margin sekitar Rp3.000 dengan harga pupuk nonsubsidi.
Jika peluang perburuan rente ini tidak diatasi, kata dia, maka volume pupuk subsidi yang sampai ke petani tak akan pernah sesuai. Sebab, lanjut dia, jumlahnya pasti akan menyusut dari alokasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Hal ini, ujar dia, menyebabkan petani di daerah terpaksa membeli pupuk nonsubsidi dengan harga berlipat.
Ia mengusulkan agar subsidi yang dilakukan pemerintah diubah total ke sistem direct payment atau pembayaran langsung.
Menurut dia, sistem subsidi yang diberlakukan saat ini adalah akar masalah dari berbagai kelangkaan pupuk yang kerap terjadi di beberapa daerah.
"Perkiraan saya potential loss (potensi kehilangan) dari subsidi pupuk saat distribusi itu mencapai 40 persen," ujar dia.
Dengan cara memberikan bantuan langsung ke petani, maka tingginya harga pupuk yang di jual di pasaran tak lagi menjadi persoalan. Celah para mafia untuk meraup rente dari pupuk subsidi juga tertutup.
"Mekanisme yang sekarang ini kan sudah 40 tahun lalu. Masa enggak ada perubahan sama sekali. Direct payment saja harusnya," kata dia.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Zakki Amali