Menuju konten utama

Gratifikasi Seks Kerap Terjadi, Kenapa KPK Sulit Membuktikan?

Gratifikasi seks sering terjadi dan menjadi modus lama, tapi kenapa KPK sulit membuktikannya?

Gratifikasi Seks Kerap Terjadi, Kenapa KPK Sulit Membuktikan?
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ,Jakarta. tirto.id/Tf Subarkah

tirto.id - Gratifikasi seks kembali mencuat setelah Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata menyebut pelakunya dapat dijerat pidana. Apalagi dalam pemberian hadiah berupa seks ini terdapat unsur menyalahgunakan wewenang dan pemberian izin.

Alexander menyatakan, pemberian hadiah berupa layanan seks ini sudah diterapkan di sejumlah negara lain. “Saya pikir itu, kan, bentuk hadiah juga. Yang membiayai orang lain,” kata Alexander, di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Rabu (30/1/2019) malam.

Berdasarkan penjelasan Pasal 12B ayat (1) UU No. 20/2001 tentang Tipikor [PDF], yang dimaksud gratifikasi adalah hadiah yang meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

Menurut Alexander besaran gratifikasi setara dengan besaran pengeluaran untuk biaya seks. Karena itu, kata dia, KPK akan menjerat penerima gratifikasi dari bukti dan dari pihak pemberi kepada penyedia jasa.

“Tentu itu gratifikasinya sebesar berapa biaya yang dikeluarkan. Artinya, kan, dalam bentuk seks tapi bukti dari pemberi itu, kan, uang juga yang mengalir ke penyedia jasa itu,” kata Alex.

Pegiat antikorupsi dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho menyambut baik rencana itu, Sebab, ia menilai gratifikasi seks merupakan salah satu hal yang tidak asing dalam dunia korupsi.

Emerson mengatakan, gratifikasi seks termasuk upaya suap demi memuluskan kepentingan tertentu. Umumnya, kata dia, modus gratifikasi seks digunakan kepada orang-orang yang mencari kepuasan di luar materi.

“Jadi ada tipikal orang kalau duit gue udah banyak, tapi kepuasan lain dalam bentuk seks itu enggak semua hal bisa gue dapetin setiap hari. Itu terjadi di beberapa kasus,” kata Emerson kepada reporter Tirto.

Dalam pemantauan ICW, kata Emerson, komisi antirasuah sudah beberapa kali menangani kasus yang bersinggungan dengan gratifikasi seks. Salah satunya adalah kasus Ahmad Fathanah (terpidana kasus korupsi impor daging), dan hakim Setyabudi Cahyo (terpidana kasus korupsi dana bantuan sosial tahun 2009 dan 2010).

Dalam kasus Fathanah, misalnya, ia terseret dugaan gratifikasi seks dengan Maharani. Kala itu, Maharani ikut digelandang ke KPK bersama Fathanah dan mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq dalam kasus korupsi impor daging. Sementara itu, Setyabudi disebut menerima gratifikasi seks karena sering meminta mencari perempuan.

Meski modus ini kerap terjadi, kata Emerson, tapi KPK masih mengalami kesulitan membawa ke ranah hukum. Berdasarkan pantauan ICW, kata Emerson, kebanyakan gratifikasi seks tidak masuk dalam putusan hakim maupun di tuntutan jaksa.

“Saya sampai saat ini belum pernah baca. Jadi perlu juga sekaligus memperkuat apa yang dimaksud fakta lain atau bentuk suap lain. Salah satunya melalui putusan hakim bahwa gratifikasi seks itu adalah bagian dari praktik penyuapan korupsi,” kata Emerson.

Dosen hukum pidana di Universitas Indonesia (UI) Gandjar L. Bonaparta mengatakan gratifikasi seks sudah diakomodir dalam UU Tipikor. Namun, ia mempertanyakan mengapa hingga saat ini penegak hukum tidak pernah menerapkannya.

“Dari sisi aturan dan undang-undang meliputi juga yang namanya pemberian dalam bentuk layanan seksual. Baik langsung oleh penyuapnya maupun melalui sarana lain,” kata Gandjar kepada reporter Tirto.

Menurut Gandjar, para pembuat undang-undang sudah mengakomodir penerimaan suap berbentuk seks ini. Ia mencontohkan munculnya pasal 5 ayat (1) UU Tipikor. Pasal tersebut mengacu kepada pasal 209 KUHP.

Gandjar mengatakan, perbedaan antara pasal 209 KUHP dengan Pasal 5 ayat (1) UU Tipikor hanya menghapus kata “benda” sebagai syarat barang korupsi.

“Waktu pasal ini diambil jadi tindak pidana korupsi, bendanya dihapus. Kenapa? Karena pembuat undang-undang tahu hari ini suap enggak pakai benda lagi. [Tapi] pakai perempuan,” kata Gandjar.

Gandjar menambahkan, pelaku seks juga bisa menjadi tersangka. Alasannya, kata dia, pelaku seks atau PSK yang menawarkan jasa seks sudah turut serta dalam proses korupsi. Oleh sebab itu, kata Gandjar, mereka bisa dijerat dengan pasal penyertaan.

“Yang diberikan, kan, sebenarnya bukan dirinya, tetapi layanan seksualnya. Dia pemberinya. Apa yang dia berikan? Layanan seksual oleh tubuhnya. Jadi ini bisa dijerat dan si perempuan harus jadi tersangka. Kecuali bisa dibuktikan si perempuan enggak tahu [kalau gratifikasi]," kata Gandjar.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan selama ini komisi antirasuah sulit mengungkap gratifikasi seks karena berkaitan dengan pembuktiannya.

“Yang terkait dengan teknis hukum itu tentu harus dilihat secara kasuistis yang tidak bisa kemudian diuraikan bahwa kesulitannya di sini, kesulitannya di sana, karena semua kasus pasti punya tingkat kesulitan tersendiri untuk pembuktian,” kata Febri.

Febri mengatakan setidaknya ada tiga faktor untuk membuktikan ada gratifikasi seks. Pertama, menurut dia, KPK harus membuktikan ada penerimaan atau tidak uang, barang atau fasilitas.

Kedua, kata dia, KPK harus membuktikan korelasi dugaan gratifikasi itu dengan hubungan jabatan antara pihak pemberi dengan pihak penerima. Ketiga, lanjut dia, penerima gratifikasi melaporkan penerimaan atau tidak ke KPK dalam waktu 30 hari kerja.

Dalam catatan KPK, kata Febri, belum pernah menangani kasus gratifikasi seks. Sejauh ini, kata Febri, komisi antirasuh baru menerapkan gratifikasi dalam penerimaan uang.

Baca juga artikel terkait GRATIFIKASI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz