tirto.id -
"Kalau di beberapa negara memang sudah masuk pemberian gratifikasi, saya pikir itu kan bentuk hadiah juga, yang membiayai orang lain," kata Alex di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Rabu (30/1/2019) malam.
Sebagai informasi, gratifikasi dapat berbentuk pemberian uang tambahan (fee), hadiah uang, barang, rabat (diskon), komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Hal itu mengacu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam ketentuan perundang-undangan, seorang pejabat harus melaporkan paling lambat kepada KPK dalam 30 hari untuk terhindar dari pasal gratifikasi.
Alex menyebut, besaran gratifikasi setara dengan besaran pengeluaran untuk biaya seks. KPK akan menjerat penerima gratifikasi dari bukti dan dari pihak pemberi kepada penyedia jasa.
"Tentu itu gratifikasinya sebesar berapa biaya yang dikeluarkan, artinya kan dalam bentuk sex tapi bukti dari pemberi itu kan uang juga yang mengalir ke penyedia jasa itu," ujar Alex.
"Mestinya itu bisa dijerat sebagai gratifikasi, apalagi kalau dalam pemberian itu ada sesuatu yang diberikan oleh penerima gratifikasi itu, misalnya dengan menyalahgunakan wewenang, pemberian izin dan seterusnya," tambahnya lagi.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno