tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan kendala pengungkapan gratifikasi seks dalam kasus korupsi di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan pembuktiannya.
"Yang terkait dengan teknis teknis hukum itu tentu harus dilihat secara kasuistis yang tidak bisa kemudian diuraikan bahwa kesulitannya di sini, kesulitannya di sana, karena semua kasus pasti punya tingkat kesulitan tersendiri untuk pembuktian," kata Kabiro Humas KPK, Febri Diansyah di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Kamis (31/1/2019).
Febri juga menyebut, ada tiga faktor untuk membuktikan ada gratifikasi seks. Pertama, menurut dia, KPK harus membuktikan ada penerimaan atau tidak uang barang atau fasilitas.
Kemudian, kata dia, mereka harus membuktikan korelasi dugaan gratifikasi itu dengan hubungan jabatan antara pihak pemberi dengan pihak penerima.
Terakhir, lanjut dia, penerima gratifikasi melaporkan penerimaan atau tidak ke KPK dalam waktu 30 hari kerja.
Dalam catatan KPK, kata dia, belum pernah menangani kasus gratifikasi seks. Mereka baru menerapkan gratifikasi dalam penerimaan uang.
Mereka menangani pasal gratifikasi yang menjerat Bupati Kukar, Rita Widyasari sebesar Rp110 miliar dan kasus gratifikasi Bupati Lampung Tengah, Mustafa sejumlah Rp95 miliar.
"Memang nilainya cukup banyak, tapi masih dalam bentuk uang, barang atau bentuk-bentuk lain yang terkait dengan kewenangan dan jabatan para penyelenggara negara," kata Febri.
Febri juga mengatakan, publik perlu memahami UU Tipikor mempunyai sejumlah pasal, baik pasal gratifikasi dan pasal suap.
Jika pasal suap, kata dia, objek perkara adalah hadiah atau janji. Sementara itu, objek perkara gratifikasi bisa uang bisa barang, potongan harga, diskon, rabat dan fasilitas yang lain.
Ferbi melanjutkan, penyidik dituntut untuk membuktikan perbuatan yang dilakukan tersangka atau terdakwa sesuai dengan dakwaan atau sangkaan dalam suatu perkara.
"Artinya ketika bisa dibuktikan misalnya bahwa pemberian fasilitas atau fasilitas pelayanan seksual tersebut itu diberikan pada penyelenggaraan negara. Dan ada hubungan jabatan antara pihak pemberi dengan pihak penerima, maka itu dapat ditelusuri lebih lanjut menggunakan, Pasal 12 b, dalam hal ini gratifikasi atau pasal 11 yang masuk dalam kategori suap pasif," kata Febri.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Zakki Amali