tirto.id - Akuisisi toko offline oleh e-commerce raksasa terus berlanjut. Beberapa bulan lalu Amazon membeli Whole Foods yang memiliki 456 toko di Amerika Serikat, Kanada dan UK senilai $13,7 miliar. Beberapa hari lalu Alibaba juga mengakuisisi 36 persen saham operator hipermarket di Cina bernama Sun Art Retail Group senilai $2,9 miliar.
Menggabungkan pola penjualan online dan offline tengah menjadi model yang ramai dijalankan para e-commerce raksasa yang dikenal dengan O2O atau "online-to-offline". Begitupun dengan Alibaba. Dalam beberapa tahun terakhir, Alibaba gencar menggelontorkan miliaran dolar untuk berinvestasi di toko offline. Misalnya mengakuisisi 18 persen saham di jaringan supermarket asal Cina yaitu Lianhua.
Di awal 2017, Alibaba menghabiskan $2,6 miliar untuk mengambil Intime Retail, yang mengoperasikan sekitar 29 department store dan 17 pusat perbelanjaan di Cina. Menurut laporan CNBC, sejak 2015 Alibaba sudah menginvestasikan $9,3 miliar di berbagai toko offline.
Akuisisi ini menjadikan Alibaba sebagai pemegang saham tertinggi kedua setelah Perancis Auchan Retail yang menguasai 36,18 persen saham di Sun Art.
Baca juga:Pertarungan Sengit Alibaba Lawan Amazon
Sebaliknya bisnis-bisnis ritel yang mengandalkan toko offline juga mencoba peruntungan di bidang online karena pendapatan yang kian tergerus salah satunya karena kehadiran toko online. Prospek yang menjanjikan di sektor online sebelumnya pernah mendorong Sun Art untuk membuat terobosan dengan masuk ke dalam e-commerce saat mengakuisisi situs web Fields HK dan Shanghai Xiaohehe Diqi Network Technology pada 2015. Sayangnya pertumbuhan e-commerce Sun Art saat itu cukup kecil.
Menurut laporan Bloomberg, mungkin karena pertumbuhan yang kecil itu sehingga pada akhirnya Sun Art memilih untuk berkolaborasi dengan Alibaba yang notabene menjadi e-commerce terbesar di Cina. Dengan 400 juta konsumen Alibaba, Sun Art tentu berharap dapat meningkatkan jumlah pembeli.
Baca juga:Suntik Lagi Lazada, Alibaba Siap Bertarung di Luar Kandang
"Alibaba dan Sun Art membentuk aliansi yang kuat: raksasa e-commerce Cina yang dominan dan operator hipermarket terbaik," kata Veronica Wang dari OC & C Strategy Consultants.
"Mereka bisa memanfaatkan aliansi dan membawa lebih banyak keuntungan dibandingkan Walmart dan JD."
Ketika Toko Online dan Offline Alibaba Bersatu
Dalam mengintegrasikan toko online dan offline, Alibaba menyediakan supermarket swalayan (self-service) nir-karyawan toko. Sistem ini sudah dijalankan Alibaba di Taocafe yang merupakan bagian dari Taobao Maker Festival di Cina.
Supermarket fisik tersebut tak dijaga oleh penjaga toko atau manajer ataupun kasir. Alih-alih transaksi tunai, pelanggan membayar dengan Alipay di akhir kunjungan. Bagi konsumen yang ingin masuk ke dalam supermarket, dibutuhkan pemindaian QR Code pada aplikasi Taobao. Selanjutnya para pengunjung akan memilih barang yang tersedia. Keluar dari toko, sistem yang sudah diatur di supermarket dapat mendeteksi barang-barang apa saja yang dibeli dan secara otomatis mengurangi saldo Alipay si pelanggan.
Baca juga:Akhir Debenhams, Sang "Ratu Ritel" Inggris di Indonesia
Di satu sisi, terobosan ini menjadi jawaban atas antrean yang biasanya mengular di depan kasir dan mempermudah konsumen dalam berbelanja. Pembayaran digital pun kian meningkat. Lembaga perbankan Cina mengaku telah menangani lebih dari 25,7 miliar pembayaran ponsel pintar dengan volume transaksi 157,55 triliun yuan (23 triliun dolar AS).
Namun di sisi lain, sistem ini akan berpengaruh pada sisi tenaga kerja. Jika biasanya satu hipermarket atau supermarket mempekerjakan ratusan hingga ribuan orang, dengan hadirnya sistem swalayan tanpa karyawan, ribuan lapangan pekerjaan pun terancam punah.
Apabila sistem ini resmi dijalankan pada toko milik Sun Art yang berjumlah sekitar 450 toko di seluruh Cina, maka akan ada ribuan lapangan kerja yang tutup. Jumlah toko ini belum termasuk dari jaringan supermarket Hema, jaringan mal dan departemen store Intime Retail, jaringan supermarket Lianhua dan mal offline yang sedang dibangun Alibaba.
Baca juga:Perebutan Kue E-Commerce Para Konglomerat
Jika sistem ini dijalankan di semua jaringan toko offline yang dikuasai Alibaba, maka pekerja Cina kini tak hanya terancam oleh robot-robot yang berada di pabrik Foxconn, tetapi juga mesin-mesin yang terpasang di supermarket swalayan Alibaba.
Sedangkan pekerjaan yang masih dibutuhkan di sektor ritel adalah supir truk pengangkut logistik. Semakin banyak toko offline yang dibuka, maka semakin tinggi juga volume distribusi logistik baik untuk memenuhi kebutuhan toko offline atau online, sebab dalam sistem penjualan Alibaba, toko offline akan sekaligus dijadikan gudang untuk produk penjualan online.
Volume distribusi yang tinggi tak menutup kemungkinan akan menyumbang polusi udara. Mungkin inilah yang dibaca para produsen truk dunia sehingga kini mereka pun gencar membangun truk listrik yang ramah lingkungan. Wal-Mart adalah salah satu ritel yang kini mulai mendistribusikan logistik dengan truk listrik.
Harmonisasi Online-Offline: Sistem Ritel di Masa Depan?
Dalam beberapa laporan, beralihnya Alibaba ke sistem offline disebabkan oleh kebutuhan akan pasar baru. Meski tak dapat dipungkiri, ada pengaruh sang pesaing Amazon yang sudah terlebih dahulu menginvasi sektor offline. Sistem supermarket swalayan nir-karyawan pun sudah lebih dulu dilakukan Amazon di toko-toko offline-nya di Amerika sejak tahun lalu. Artinya, pembukaan gerai offline nampaknya bakal menjadi pakem baru bisnis-bisnis online raksasa—bahkan tak menutup kemungkinan juga para pelaku bisnis ritel tradisional yang berbasis offline.
Baca juga:Membaca Arah Jack Ma dalam Peta E-Commerce Indonesia
Tak hanya Amazon dan Alibaba yang kepincut dengan penjualan toko offline, e-commerce Cina JD.com yang beberapa waktu lalu melakukan kerja sama strategis dengan perusahaan ritel terbesar di dunia Wal-Mart juga berencana akan membuka 200 toko offline di penghujung tahun ini.
Wal-Mart juga kini mulai menerapkan kios otomatis yang tengah diuji di Oklahoma. Cara kerja sistem ini dapat digambarkan sebagai berikut: pelanggan membeli bahan makanan secara online, kemudian karyawan Wal-Mart akan memilih, mengemas pesanan, dan menyimpannya di kios otomatis tersebut. Ketika tiba di kios, pelanggan tinggal memasukkan kode dan satu menit kemudian pesanan pun siap diambil.
Melihat para ritel raksasa yang mulai bergerak menggabungkan antara online dan offline serta menerapkan otomatisasi sistem, bukan tak mungkin para pelaku bisnis ritel lainnya akan memakai sistem yang sama. Jika sistem ini mengarahkan masa depan dunia ritel secara umum, maka profesi kasir dan penjaga toko pun berakhir.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Windu Jusuf