Menuju konten utama

Akhir Debenhams, Sang "Ratu Ritel" Inggris di Indonesia

Debenhams salah satu toko ritel tertua di dunia mengakhiri operasi gerai-gerai department store di Indonesia.

Akhir Debenhams, Sang
Gerai Debenhams di Oxford Street, London. REUTERS/Ki Price

tirto.id - “Di berbagai belahan dunia, generasi milenial telah menjauh dari department store, dan mereka lebih memilih untuk belanja di toko-toko khusus. Tak terkecuali di Indonesia,” kata Fetty Kwartati, Head of Corporate Communication PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAP). Ini adalah salah satu alasan mengapa ritel fesyen terbesar Indonesia tersebut menutup sejumlah gerai yang bekerja sama dengan MAP yaitu Lotus Departemen Store dan Debenhams.

Lotus dioperasikan PT Java Retailindo yang 100 persen sahamnya punya MAPI--nama kode saham emiten dari MAP. Sementara Debenhams adalah toko ritel asal Inggris yang umurnya sudah berumur 239 tahun. Disrupsi pola bisnis yang sedang menggoncang dunia ritel dunia, termasuk di Indonesia, akhirnya membuat salah satu toko ritel tertua dan berumur panjang itu menutup operasinya di Indonesia.

Toko terakhir di Senayan City, Jakarta, akan ditutup akhir tahun ini. Sebelumnya, MAP sudah bertahap menutup gerai Debenhams di Supermall Karawaci, Tangerang, dan Kemang Village, Jakarta.

Baca juga: Setelah Lotus Tutup, MAP Juga Akan Tutup Debenhams

Kontras seperti yang terjadi di Indonesia, Oktober ini, Debenhams justru membuka gerai pertamanya di Benua Australia. Selasa, 25 Oktober 2017, gerai seluas 3.600 meter persegi dibuka di lantai bawah tanah Mal St. Lane Collin, di Melbourne.

Gerai itu lengkap dengan strategi baru yang menunjukkan keseriusan mereka menyasar pasar Australia: menyediakan label dan karya desainer baru yang belum pernah ada di pasar lokal, desain khusus yang menyediakan gerai kosmetik dan ruang ganti dengan layanan khusus. Tak lupa inovasi teknologi, Debenhams menyediakan pramuniaga yang mondar-mandir di dalam toko dengan aplikasi khusus—membuat pembeli tak perlu mengantre melakukan transaksi, dan mempermudah pembeli mengecek stok pakaian yang mereka incar.

Baca juga: Rontoknya Bisnis Department Store

“Kami tahu, ini akan jadi sulit. Kami tak berasumsi (usaha) ini akan seperti jalan masuk ke taman. Ada kompetisi yang makin tinggi dan kalaupun makin mudah (berjualan), pasti akan kompetisi lainnya,” kata Graham Dean, Managing Director Prepkor Asia Tenggara, peritel yang memasukkan Debenhams ke pasar Australia, seperti dikutip dari Sydney Morning Herald.

Indonesia memang salah satu negeri dengan target pasar paling besar di dunia sekarang. Namun, bukan berarti rontoknya pasar mereka di sini berarti akhir hayat Debenhams. Umur panjang tentu saja berpengaruh pada cara pengelolaan bisnis mereka. Berbisnis lebih dari dua abad, membuat Debenhams jadi salah satu ritel yang masih terus bertahan menghadapi disrupsi bisnis yang sedang bergulir. Pendapatannya tahun lalu masih cerah di angka 2.342,7 juta dolar AS, dengan total 27.893 pegawai.

Namun, angka itu sedikit terguncang pada April lalu. Ketika Debenhams menutup 10 gerai di negeri asalnya sendiri, London.

Baca juga: Ramai-ramai Tak Bisa Mengelak dari Disrupsi Bisnis

infografik debenhams

Sejarah Sang "Ratu Ritel" Inggris

Sejarah Debenhams sebagai jenama berawal dari toko kain di pinggir 44 Wigmore Street, di London, pada 1778. Ia dibangun oleh seorang penjahit Thomas Clark. Pada 1813, toko itu kemudian berubah nama jadi Clark & Debenhams, ketika kawannya, William Debenham bergabung menjadi partner.

Nama Clark & Debenhams sempat berubah jadi Cavendish House untuk waktu yang lama. Sepuluh tahun kemudian, toko itu sudah berkembang dan buka cabang di mana-mana, di Inggris. Pada 1837, Clark kemudian pensiun, meninggalkan William Debenham yang kemudian berpartner dengan dua stafnya yang paling dipercayai: William Pooley dan John Smith.

Sepanjang abad ke-18 dan ke-19, putaran bisnis mereka juga terus berubah. Pemegang saham dan putaran pemilik terus berkembang. Pada 1950, menguasai 84 perusahaan dengan 110 gerai, Debenhams akhirnya berubah jadi penguasa ritel Inggris, dengan julukan Ratu Ritel. Salah satu produk andalan mereka adalah fesyen-fesyen bergaya jalanan alias street fashion.

Dalam laporan keuangannya tahun lalu, sang Ratu Ritel mencatat punya 250 department store di 27 negara. Ia juga dapat diakses online di 60 negara. Namun, angka itu berkurang pada tahun ini ketika toko mereka di Indonesia dan Islandia ditutup, meski di saat yang sama membuka satu toko baru di Australia.

Baca juga: Sakaratul Maut Mal di Amerika

Meski Debenhams punya pengalaman berbisnis berusia dua abad, nyatanya disrupsi bisnis memang benar-benar turut menggoncang mereka. Martin Lane, Managing Editor Money.Co yang diwawancarai Independent menyebut salah satu faktor Debenhams juga ikut terkena dampak disrupsi adalah karena, “Debenhams tak sebermakna sebagaimana mereka dulu bagi rakyat Inggris.” Belum lagi, toko ritel itu tak bisa benar-benar melawan perselingkuhan penduduk Britania dengan tabiat belanja online yang angkanya naik pesat.

Namun, Debenhams memang tak akan berumur panjang seperti sekarang kalau tak bertarung sekuat tenaga membuat bisnisnya kembali stabil. Salah satu upaya itu adalah dengan merekrut Sergio Burcher, bekas Vice President Amazon Fashion Europe, yang ditarik jadi CEO mereka pada Oktober tahun lalu.

Burcher, tertarik bergabung dengan si Ratu Ritel karena baginya, Debenhams bukan cuma sekadar label atau jenama, melainkan warisan budaya Inggris.

Namun, akankah sang Ratu tetap bisa bertahan di tengah gempuran disrupsi digital dan inovasi? Dan menyambung umur panjangnya lebih lama lagi?

Yang jelas, umur mereka di Indonesia akan berakhir dalam sale besar-besaran untuk menghabiskan produk di ujung tahun ini.

Baca juga artikel terkait LOTUS atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Bisnis
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra