Menuju konten utama

Gelar Perkara Harus Berlangsung Tertutup Atau Boleh Terbuka?

Kapolri, Tito Karnavian, mengatakan gelar perkara dugaan penistaan agama yang dilakukan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama akan dilangsungkan secara terbuka. Ini preseden baru karena biasanya gelar perkara berlangsung tertutup. Benarkah KUHAP melarang gelar perkara digelar terbuka?

Gelar Perkara Harus Berlangsung Tertutup Atau Boleh Terbuka?
Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian (kedua kiri), Pangdam Jaya Mayor Jenderal TNI Teddy Lhaksmana (kiri), Kadiv Humas Polri Irjen Pol Boy Rafli Amar (kanan) memberikan keterangan pers tentang tindak pidana ujaran kebencian saat orasi demontrasi 4 November, di Jakarta, Selasa (8/11). ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma

tirto.id - Peran serta pemerintah dalam proses hukum semakin dalam. Setelah mengeluarkan paket kebijakan tentang hukum, Presiden Jokowi meminta gelar perkara kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dibuka kepada publik. Logika hukum dinilai telah dibolak-balik oleh Jokowi karena membuka ruang sakral bagi penyidik untuk menetapkan tersangka atau tidak. Salahkah?

Permintaan Presiden Jokowi yang meminta agar penyidikan kasus dugaan penistaan agama yang melibatkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menimbulkan polemik. Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian mengaku mendapat perintah dari presiden agar kasus Ahok agar ditangani secara transparan.

"Beliau (Presiden) memerintahkan kepada saya untuk masalah penanganan kasus dugaan penodaan agama dengan terlapor Saudara Basuki Tjahaja Purnama harus dilakukan dengan langkah-langkah yang cepat dan transparan," kata Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian di Kantor Presiden Jakarta, Sabtu (5/11/2016) malam, setelah dipanggil Presiden Joko Widodo.

Tito mengaku, transparan tidak hanya membuka isi hasil penyelidikan kepada publik namun juga menggelar perkara tanpa ada yang ditutup-tutupi. Bahkan mereka berencana menayangkan acara gelar perkara kepada publik.

"Presiden memerintahkan agar gelar perkara dibuka saja kepada media, buka saja kepada publik," kata Tito.

Permintaan pembukaan gelar perkara ini direspon keras Juru Bicara Gerakan Nasional Pelaksana Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI), Munarman. Juru bicara Front Pembela Islam ini menilai pemerintah tidak memahami hukum dengan baik.

"Memang saya gak tahu? Memang masyarakat nggak tahu gelar perkara yang disiapkan terbuka itu keanehan luar biasa. Saya sudah bilang ke beberapa pengacara. Pernah ada gelar perkara terbuka?" jelas Munarman di Jakarta, Senin (7/11/2016). "Baru ini forum gelar perkara menjadi pengadilan," tutur Munarman.

Gelar Perkara Masih Tahap Pra Ajudikasi

Pernyataan Munarman disetujui dosen hukum pidana Universitas Indonesia, Dr. Eva Achjani Zulfa, S.H., M.H. Ia menilai, gelar perkara tidak bisa terbuka layaknya pengadilan karena gelar perkara masih dalam tahap pra ajudikasi.

"Dalam tahap pra ajudikasi ada yang namanya presumptive of innocence atau praduga tak bersalah. Ini bukan pengadilan," ujar Eva kepada tirto.id.

Tahap pra ajudikasi adalah tahapan pra-peradilan yang bertujuan menyusun berita acara pemeriksaan (BAP). Untuk bisa menyusun BAP, kepolisian melakukan penyelidikan dan penyidikan dengan cara mengumpulkan bukti permulaan, bukti-bukti, memeriksa para saksi. Karena masih di luar peradilan, pendeknya belum memasuki tahap penuntutan, maka kepentingan orang-orang yang terlibat di dalamnya harus dilindungi. Dari para saksi, saksi ahli, sampai aparat penegak hukumnya.

Menjadi penting asas praduga tak bersalah selama tahapan ini karena belum tentu seseorang yang diperiksa akan menjadi tersangka. Bahkan ketika menjadi tersangka saja, saat sudah dituntut di pengadilan pun, seseorang harus diperlakukan dalam kerangka praduga tak bersalah, apalagi jika baru tahap pra-ajudikasi.

Akibat adanya bagian presumptive of innocence atau asas praduga tak bersalah, maka mereka, saksi, baik saksi ahli maupun saksi utama, calon tersangka, maupun korban, harus mendapat perlindungan penuh. Apabila gelar perkara dibuka untuk umum, maka tahap tersebut sudah disebut sebagai tahap pengadilan.

Ketika gelar perkara dibuka, maka identitas seluruh pihak yang terlibat dalam kasus akan diketahui publik dan bisa mengancam keselamatan mereka. Alhasil, presiden selaku pihak yang menginstruksikan gelar perkara terbuka dinilai lalai dalam perlindungan saksi. Oleh karena itu, Eva menyarankan agar hukum tetap berjalan dengan baik tanpa perlu intervensi, termasuk membuka gelar perkara pada publik.

Hal senada diungkapkan pakar hukum pidana, Prof. DR. Mudzakir. Dosen hukum pidana Universitas Islam Indonesia ini menilai banyak rahasia yang akan dibuka dalam gelar perkara, baik keterangan, bukti teks, maupun bukti-bukti lain berkaitan hukum. Ia menegaskan, gelar perkara memang boleh terbuka, tetapi hanya untuk mereka yang terlibat dengan kasus.

“Semuanya sesungguhnya tidak boleh. Kalaupun terbuka, itu bukan untuk umum karena di dalamnya mengandung unsur dokumen-dokumen penyidikan yang belum bisa dipublikasi,” tutur Mudzakir kepada Tirto.id, Selasa (8/11/2016).

Mudzakir menegaskan, gelar perkara melarang semua yang terlibat, baik pelapor, terlapor, penyidik, maupun penasehat hukum untuk memfoto, merekam atau mencatat-mencatat hasil gelar perkara. Peserta yang hadir hanya bisa memberikan masukan dalam gelar perkara.

Mudzakir mempertanyakan niat pemerintah yang meminta gelar perkara dibuat terbuka. Menurut Mudzakir, permintaan presiden agar gelar perkara dilaksanakan secara terbuka mengesankan kalau kasus Ahok ini diperlakukan istimewa.

Pakar hukum pidana Andi Hamzah mengakui pemerintah tengah bermain di wilayah abu-abu. Ia tidak memungkiri KUHAP memang tidak mengatur atau mengharuskan gelar perkara dilakukan secara terbuka atau tertutup. Meskipun begitu, menurut Andi, hal itu tidak etis karena gelar perkara merupakan ruang khusus dalam proses peradilan.

"Gelar perkara tidak boleh dibuka penyidik. Itu rahasia. Orang nggak boleh tahu," jelas Andi kepada Tirto.id.

Menurut Andi, polisi telah bertindak sebagai pengadilan apabila menghadirkan pelapor, terlapor, dan saksi ahli, baik yang meringankan maupun memberatkan. Ia menegaskan, fungsi pengadilan sudah diambilalih oleh kepolisian begitu melaksanakan gelar perkara secara terbuka. Selain itu, kasus ini akan menjadi pro-kontra secara terus-menerus apabila tidak diselesaikan di pengadilan.

Abdi menjelaskan, proses gelar perkara memang tidak diatur secara rinci dalam KUHAP. Akan tetapi, gelar perkara merupakan bagian dari proses penyidikan. Di Perancis, hasil gelar perkara tidak boleh dibuka kepada publik. Ia mengatakan fenomena gelar perkara terbuka INI akan menjadi masukan untuk revisi KUHAP.

Infografik Proses Perkara

Gelar Perkara dalam Rangkaian Proses Pra Ajudikasi

Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menjelaskan gelar perkara tidak bisa dilakukan sembarangan. Menurut Fickar, gelar perkara yang rencananya akan dilaksanakan terbuka untuk kasus Ahok tidak bisa dilakukan karena belum memasuki tahap pelaksanaan gelar perkara.

“Pada kasus penistaan agama ini baru pada tahap penyelidikan, pada tahap ini tidak dikenal gelar perkara, karena tahap ini hanya memastikan ada atau tidaknya peristiwa hukum,” ujar Fickar kepada tirto.id Selasa, (8/11/2016).

Dosen Universitas Trisakti ini menjelaskan, alur peradilan pidana dimulai dari pelaporan yang masuk ke instansi kepolisian. Begitu laporan masuk, polisi lantas melakukan penyelidikan. Penyelidikan bertujuan untuk mencari apakah ada peristiwa hukum yang dilaporkan. Suatu kasus dapat naik ke penyidikan apabila penyelidik atau penyidik sudah menemukan dua alat bukti. Peningkatan status dari penyelidikan ke penyidikan umumnya diikuti penemuan seseorang yang dinyatakan sebagai tersangka. Saat penyelidikan, tidak ada satu orang pun kecuali penyidik dan penyelidik yang berwenang mengetahui duduk perkara, apalagi terlapor.

Gelar perkara sendiri baru dapat muncul setelah penyelidikan memasuki tahap penyidikan. Tahap itu terpenuhi begitu penyidik sudah memeriksa saksi, ahli, surat atau dokumen, petunjuk, serta keterangan tersangka. Gelar perkara hanya dilaksanakan sekali. Selain itu, gelar perkara juga sering menjadi sarana tersangka untuk mempertimbangkan saksi-saksi yang dinilai dapat meringankan hukumannya.

Ia juga mengingatkan, rekonstruksi berbeda dengan gelar perkara karena rekonstruksi merupakan bagian penyidikan. “Rekonstruksi itu bagian dari penyidikan, gelar perkara itu tahap akhir dari penyidikan untuk diteruskan atau tidak perkaranya karena kurang bukti atau bukan pidana,” jelas Fickar.

Pendapat Fickar juga diamini Mudzakir. Ia menjelaskan, gelar perkara yang diterapkan selama ini adalah upaya mensimulasi perkara itu dari sisi substansinya. Gelar perkara mensimulasikan proses perkara serta mengetahui hasil penyidikan suatu perkara

“Jadi dengan gelar perkara itu mestinya (menjadi) proses obyektifikasi dalam proses penyidikan. Obyektifikasi artinya semua pihak terlapor, pelapor, semuanya boleh mengikuti plus penasehat hukumnya. Mereka boleh lihat gelar perkara sampai mana pertanggungjawaban progress report-nya itu. Progress report sampai mana, itu pertanggungjawaban penyidik terhadap proses penyidikan,” jelas Mudzakir kepada Tirto.

Mudzakir mengakui, gelar perkara umumnya dilakukan cukup satu kali. Akan tetapi, berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2012 (atau 14/2012) tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, kepolisian berhak melakukan gelar perkara lebih dari satu kali. Gelar perkara kedua atau lebih sangat jarang terjadi karena gelar perkara kedua cukup menegaskan perkembangan penyidikan sebelumnya.

“Kalau sudah matang dia, sudah dipertanggungjawabkan, oke. Sudah selesai. Proses berikutnya dengan jaksa,” jelas Mudzakir.

Mudzakir menjelaskan, gelar perkara lebih dari satu kali biasanya terjadi pada kasus yang waktu penyelesaiannya cukup lama atau tidak ada perkembangan. Umumnya, gelar perkara yang lebih dari satu kali bisa mengarah kepada surat penghentian penyidikan perkara (SP3).

Selain penyidik, jaksa penuntut umum pun bisa melakukan gelar perkara. Hal tersebut dikenal dengan istilah gelar perkara pra-penuntutan. Umumnya, gelar perkara pra-penuntutan terjadi saat sudah terjadi interaksi antara penuntut umum dengan penyidik. Gelar perkara pra-penuntutan pun dilaksanakan apabila berkas sudah diserahkan ke kejaksaan tapi dikembalikan lagi kepada kepolisan untuk mengetahui pokok perkara kepada penyidik guna memahami perkara dengan lebih rinci. Apabila kasus sudah dapat dipahami oleh penuntut umum, mereka tidak perlu melakukan gelar perkara dengan penyidik. Penuntut umum dapat langsung menuntut terdakwa dan pengadilan pun bisa dimulai.

“Sudah nggak ada. Kalau sudah diterima penuntut umum kan tinggal membuat surat dakwaan saja ya. Selanjutnya urusan penuntut umum,” tutur Mudzakir.

Baca juga artikel terkait AHOK atau tulisan lainnya

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher & Andrian Pratama Taher
Editor: Zen RS