Menuju konten utama

Gagalnya Protokol Kesehatan di Tempat Wisata Selama Libur Panjang

Pemerintah, baik pusat dan daerah, juga pengelola tempat wisata, dianggap gagal menerapkan protokol kesehatan selama libur panjang akhir Oktober lalu.

Gagalnya Protokol Kesehatan di Tempat Wisata Selama Libur Panjang
Petugas kesehatan pelabuhan memeriksa suhu tubuh penumpang kapal KMP BRR di Pelabuhan penyeberangan Ulee Lheu, Banda Aceh, Aceh, Rabu (28/10/2020). ANTARA FOTO/Irwansyah Putra/aww.

tirto.id - Sejak sebelum Maulid Nabi Muhammad saw pemerintah telah mewanti-wanti pentingnya protokol kesehatan di tempat wisata. Namun tak semua patuh selama libur panjang 28 Oktober-1 November, kata Ketua Bidang Data dan Teknologi Informasi Satgas COVID-19, Dewi Nur Aisyah.

"Tingkat kepatuhan memakai masker di tempat wisata memang menurun, meski kecil," ujar Dewi dalam tayangan COVID-19 Dalam Angka: Protokol Kesehatan di Tempat Wisata, Selasa (3/11/2020). Ia mengatakan selama libur panjang terdapat 602.372 orang ditegur di tempat wisata lantaran tak mematuhi protokol kesehatan. Sementara pada kurun waktu lima hari pekan sebelumnya, pada hari normal, angkanya lebih kecil, 348.473 orang.

Tingkat kepatuhan mengenakan masker di tempat wisata pada Rabu 28 Oktober, misalnya, mencapai 88,5 persen, menurun sedikit dibanding Rabu pekan sebelumnya yakni 88,6 persen. Penurunan kepatuhan menggunakan masker juga terjadi pada empat hari libur setelahnya. Paling rendah terjadi Sabtu 31 Oktober. Saat itu kepatuhan menggunakan masker hanya 86,35 persen.

Demikian pula pada aspek menjaga jarak. Pada 1 November 2020 tingkat kepatuhannya hanya mencapai 77,6 persen, padahal pada hari yang sama minggu sebelumnya mencapai 80,12 persen.

Di restoran, tingkat kepatuhan bahkan "lebih rendah," kata Dewi. Sebanyak 602.372 pengunjung restoran ditegur selama lima hari libur panjang, atau naik dibandingkan periode sebelumnya yang hanya 348.473 teguran. Di sisi lain jumlah yang dipantau pun lebih banyak, dari 501.987 menjadi 619.718 orang.

Pemerintah sebetulnya telah membuat protokol kesehatan. Masalahnya tak semua orang mau diatur ketika berekreasi. Atas dasar itu menurut Robert Alexander Moningka, Wakil Ketua Bidang SDM dan Litbang Indonesia Tour Leader Association (ITLA), pemerintah tidak tepat "dianggap gagal."

"Fungsinya memberikan aturan dan panduan, tapi masyarakat tidak sadar. Negara telah mengatur protokol kesehatan sudah detail," katanya kepada reporter Tirto, Jumat, (6/11/2020).

Namun menurut Ketua Terpilih Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Dedi Supratman, tak bisa hanya masyarakat yang disalahkan. Perlu peran semua pihak, termasuk pengelola tempat wisata.

"Pengawasan ini tidak mungkin hanya diserahkan kepada aparat. Harus ada kemandirian dari satgas, dari pengelola, untuk mereka. Tidak ada aparat pun mereka tetap menegakkan [peraturan] itu," ujar Dedi kepada reporter Tirto, Jumat. "Saya harap pemerintah tak kendor mengampanyekan ini."

Program Pusat

Penerapan protokol kesehatan di tempat wisata sepenuhnya wewenang pemerintah daerah, selain pengelola, kata Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Infrastrukrur Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Hari Sungkari. Masalahnya tak semua berkomitmen dan serius menerapkannya. "Beberapa daerah bagus sekali, tapi beberapa daerah belum melakukan itu dengan baik," kata Hari kepada reporter Tirto, Jumat.

Di tingkat pusat, selain membuat pedoman protokol kesehatan yang diharapkan dipenuhi oleh pengelola tempat wisata, Kemenparekraf juga akan memberikan sertifikasi kepada usaha pariwisata yang sudah menerapkan pedoman tersebut. Mereka juga memberikan dana hibah pariwisata kepada daerah yang 15 persen pendapat aslinya berasal dari sektor pariwisata. Sebanyak 30 persen dari dana itu dialokasikan untuk mengimplementasikan protokol kesehatan.

Dana hibah sebesar Rp3,3 triliun bagi pariwisata ini diharapkan membantu industri untuk menyiapkan program Clean, Health, Safety, Environment (CHSE).

Dewan Pakar dan Keilmuan Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia Azril Azahari tidak sepakat jika seluruh tanggung jawab dibebankan ke daerah. Pemerintah pusat juga berperan membuat protokol selama libur panjang melonggar. Pemerintah pusat, misalnya, harusnya lebih awal menyiapkan pedoman dan tenaga bersertifikasi guna memastikan keselamatan, kesehatan, dan keamanan.

"Kalau menurut saya, pemerintah gagal, juga gagap. Kaget ada uang [lalu] tiba-tiba menjalankan [program]," ujar Azril kepada reporter Tirto, Jumat. Program yang dimaksud tak lain hibah. Menurutnya penerapannya "kacau" karena mereka menunjuk "suatu perusahaan yang tidak ahli dalam bidang CHSE pariwisata."

Tak hanya itu, semestinya pemerintah juga membantu seluruh UMKM, bukan hanya menargetkan 10 destinasi pariwisata prioritas (DPP) dan 5 destinasi pariwisata super prioritas (DSP) sebagai target program. Dengan kata lain, menurutnya ini tidak tepat sasaran.

Sebanyak 70 persen dana hibah yang diberikan ke pemerintah daerah dialokasikan kepada restoran dan hotel, sisanya untuk penanganan dampak finansial dan sosial karena pagebluk.

"Kalau [bantuan untuk] hotel, itu investor semua. Rakyat bagaimana? Cobalah buat pariwisata berbasis masyarakat," sambung dia.

Belum dapat disimpulkan apakah longgarnya protokol kesehatan ini menyebabkan peningkatan kasus positif COVID-19. Dewi Nur Aisyah mengatakan "kita harus menunggu dulu liburan aman" atau "satu-dua minggu lagi."

Baca juga artikel terkait PROTOKOL KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Adi Briantika & Mohammad Bernie

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Adi Briantika & Mohammad Bernie
Penulis: Adi Briantika & Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino