tirto.id - Dalam karyanya yang termasyhur dan menjadi rujukan orang banyak, Orality and Literacy: The Technologizing of the Word (1982), pakar sastra Walter J. Ong punya satu bahasan khusus soal lisan dan aksara.
Kurang lebih ia mengatakan, meski batasan antara kelisanan dan keberaksaraan sangat sumir sehingga sukar sekali mengidentifikasi mana kebudayaan yang murni berangkat dari kelisanan dan mana kebudayaan yang bertolak dari tradisi keberaksaraan, sesungguhnya dua tipologi kebudayaan ini memiliki definisi konseptual yang jelas. Jika tradisi kelisanan mengandalkan pendengaran, tradisi keberaksaraan bertumpu pada penglihatan.
Atas dasar pembabakan yang digunakan Ong tersebut, naga-naganya diskusi lama soal apa sejatinya bahasa—lisan ataukah tulisan—kembali menghangat akhir-akhir ini. Pemantiknya tentu saja kehebohan soal puisi Sukmawati Soekarnoputri.
Di kalangan ahli bahasa, terdapat satu kubu yang berkukuh mengatakan hakikat bahasa sejatinya lisan atau ucapan. Sementara di pihak lain, tidak berbilang pula pakar yang menyatakan bahasa bergerak dan berubah secara evolutif dari lisan menuju tulisan. Dua pendapat ini bertarung dalam kontestasi kebahasaan secara konseptual. Pada ranah inilah perdebatan soal puisi Sukmawati berada.
Jika disigi lebih dalam, dua pandangan di atas sejatinya berbicara dari sisi berbeda. Pandangan pertama beranjak dari sisi kronologis; sementara yang kedua berpangkal pada sisi historis-filosofis.
Kelisanan atau oralitas—kembali mengutip Ong—memiliki ciri-ciri yang sangat menonjol. Ciri-ciri ini tentu saja berseberangan dan berlawanan sekaligus dengan tradisi tulis atau tradisi keberaksaraan, yaitu minimnya kosakata.
Surplus Slogan, Defisit Konsep
Dalam tradisi kelisanan, yang menjadi tumpuan utama untuk menimbun pundi-pundi kosakata hanyalah ingatan. Maka, sepanjang ingatan itu terawat, sejauh itu pula kosakata juga teringat.
Sebaliknya, jika ingatan pudar, hilang pula perbendaharaan kosakata itu. Dengan kosakata yang terbatas, kebudayaan yang bersandar pada tradisi kelisanan cenderung miskin konsep. Inilah ciri utama budaya lisan.
Lantaran keterbatasan kosakata dan kemiskinan konsep itu, manusia yang hidup dalam kebudayaan oral cenderung menimbun banyak slogan. Inilah produk mutakhir bangsa yang berkubang pada budaya kelisanan. Maka tidak mengherankan bahwa sejak dulu hingga kini, kita hidup dalam kondisi surplus slogan dan defisit konsep.
Meski mengundang banyak perdebatan, para ahli bahasa telah mengategorikan secara “baku” mana bangsa atau peradaban yang masih bertumpu pada tradisi lisan, dan mana pula yang sudah mulai menapaki tradisi tulis.
Bangsa seperti Sumeria, Mesir, dan Cina—setelah masing-masing menemukan aksara—memiliki basis kebudayaan tulis yang sangat kuat. Mereka merekam ingatan lewat tulisan sehingga sejarahnya bisa ditransmisikan secara terus-menerus hingga ribuan tahun. Sebaliknya, bangsa-bangsa yang tidak memiliki tradisi tulis yang kuat mudah mengalami “amnesia” sejarah: ingatan mereka begitu pendek sebab peristiwa-peristiwa masa lampau tidak tercatat dengan baik.
Pertanyaanya: Di mana letak bangsa kita?
Agaknya posisi kedualah bangsa kita berada. Tradisi tulis bangsa Indonesia tak lebih kuat dibandingkan tradisi lisan. Senjata utama masyarakat berbudaya lisan adalah telinga, bukan mata. Telinga masyarakat Indonesia masih menjadi gatra utama dan senjata paling ampuh untuk menyerap pelbagai informasi.
Dua kasus puisi yang belakangan muncul menjadi bukti sahih. Bangsa kita menjadi gaduh sedemikian rupa, berdebat tarik urat saraf begitu dahsyatnya, gara-gara dua puisi tersebut. Sebagian kelompok menilai ada yang bermasalah dalam kalimat-kalimat puisi “Ibu Indonesia” yang dibacakan Sukmawati dan puisi K.H. A. Mustofa Bisri bertajuk “Kau ini Bagaimana” yang dideklamasikan Ganjar Pranowo.
Baik “Ibu Indonesia” maupun “Kau Ini Bagaimana” adalah puisi lama. Usianya masing-masing lebih dari sepuluh tahun. Puisi Sukmawati dianggit pada 2006; sementara puisi Gus Mus ditulis pada 1987, saat rezim Orde Baru masih tegak berdiri.
Kegaduhan atas puisi ini yang belakangan semakin meneguhkan tesis bahwa bangsa-bangsa yang memiliki tradisi lisan kuat cenderung abai terhadap tulisan. Teks tak lebih penting dibandingkan suara. Maka, yang terjadi adalah kehebohan yang kita saksikan saat ini: orang ramai cenderung bersikap reaksioner ketika puisi yang berwujud teks dideklamasikan dan dibacakan di depan umum.
Saya berani bertaruh, kegaduhan tidak akan pernah terjadi jika dua puisi itu “berdiam diri” dalam wujud aslinya sebagai teks yang tidak disuarakan.
Celakanya, persoalan menjadi rumit tatkala masyarakat yang tingkat keberaksaraannya lemah itu bertemu dengan pemahaman agama yang dangkal. Yang terjadi adalah kondisi di mana kecepatan bibir melebihi kecepatan otak. Dalam keadaan macam inilah masyarakat “sumbu pendek” lahir.
Puisi dan Anti-puisi
Sapardi Djoko Damono (2012) sekali tempo pernah mengatakan bahwa puisi sejatinya mahkota bahasa. Puisi akan dicapai tatkala seorang telah mampu bermain-main dengan bahasanya.
Berkelindan dengan pendapat itu, Radhar Panca Dahana dalam Manusia Istana: Sekumpulan Puisi Politik (2015) mengungkapkan dampak paling fenomenal dari Reformasi adalah tsunami kata-kata yang membuat kualitas bicara dan mutu kata-kata menjadi banal, dangkal, dan receh. Politik tampaknya merupakan biang keladi yang paling layak ditunjuk hidungnya atas persoalan ini.
Kata-kata di zaman ini, menurut Radhar, “bergulir, beredar mengelilingi meja-meja pengambil keputusan dalam makna yang sangat mentah. Tiada kemasakan, tak ada kedalaman, tanpa nuansa.”
Dalam kondisi seperti ini—kondisi pragmatis yang terus memproduksi kata untuk menciptakan kebenaran-kebenaran subjektif—puisi bisa menjadi jawaban dan alternatif. Puisi dijadikan sebagai medium kembali ke khitah untuk memainkan bahasa secara simbolik dan elegan, bukan pragmatis dan profan. Dari sanalah, sebenarnya, rahim puisi berada.
Persoalannya kemudian, puisi yang elegan dan rupawan itu, yang ciamik memainkan konsep secara simbolik itu, harus luluh lantak ketika jatuh ke haribaan para politisi. Ada ruang kosong atau bahkan jurang lebar antara puisi dan pembacanya. Itulah yang terjadi pada Sukmawati Soekarnoputri dan Ganjar Pranowo. Di tangan mereka, puisi tidak hadir sebagai mahkota bahasa yang elok dan lincah memainkan simbolisme. Puisi tidak bisa lagi menjadi sanepa.
Pada konteks ini, saya harus mengatakan puisi menjadi anti-puisi. Kehadiran puisi yang diharapkan menjadi solusi untuk menghindari bahasa-bahasa yang banal dan profan malah menjelma menjadi kata-kata yang nirproduktif, tanpa kekuatan, bahkan bersifat polemis.
Maka, alih-alih kita bisa menikmati simbolisme dan sanepa keindahan puisi, kuping kita tiba-tiba merah mendengar puisi-puisi yang keluar dari bibir para politisi.
Beginilah kondisi mutakhir kita. Keadaan di mana masyarakat yang malas membaca, yang gemar mendengar, yang reaktif-rekasioner, yang rabun simbol, berada dalam satu adonan dan seperloyangan dengan para politisi salon
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.