tirto.id - Kepala Editor Trans Media Titin Rosmasari mengungkapkan bahwa rendahnya budaya literasi Indonesia menjadi salah satu faktor masyarakat mempercayai hoax atau berita palsu.
"Hoax juga marak karena budaya baca menurun dan masyarakatnya aktif memegang gawai," kata dia saat menjadi pembicara di World Press Freedom Day, Jakarta, seperti dikutip Antara, Senin (1/5/2017).
Data UNESCO yang pernah dilansir pada 2012 menyebutkan indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001 atau satu orang yang memiliki minat baca dari setiap seribu penduduk.
Data lembaga penelitian Nielsen yang menyebutkan penduduk Indonesia yang setiap hari dapat menghabiskan waktu berselancar di dunia maya menggunakan komputer selama empat jam 42 menit, browsing di telepon genggam selama tiga jam 33 menit dan menghabiskan waktu di sosial media selama dua jam 51 menit.
"Dengan waktu selama itu, semakin banyak waktu yang digunakan untuk membaca dan membagikan berita hoax," kata dia.
Dia mengatakan bahkan orang pintar dapat ikut mempercayai dan menyebar hoax karena tidak hati-hati dan kurang teliti. "Hal itu bisa disebabkan mereka tidak verifikasi berita yang mereka baca, dan langsung menyebarkan berita hoax begitu saja," kata dia.
Selain itu, menurutnya menurunnya kepercayaan masyarakat kepada media arus utama juga menyebabkan mereka lebih mempercayai berita hoax yang biasanya menggunakan judul kontroversi, mengagetkan dan bombastis. Untuk itu dia mengatakan media arus utama harus mengembalikan kepercayaan masyarakat dengan bekerja secara profesional sesuai prinsip-prinsip jurnalistik.
Menurut dia usaha pemerintah untuk melawan hoax seperti ada UU ITE, Kementerian Komunikasi dan Informasi memblokir situs-situs yang mengandung perjudian, penipuan juga SARA serta langkah Wakil Presiden Jusuf Kalla meresmikan Jaringan Wartawan Antihoax adalah langkah positif. Namun usaha-usaha itu belum menyasar pembuat hoax tersebut.
Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan berita hoax atau berita palsu (fake news) bukan hanya isu nasional namun juga isu global. Menkominfo mengatakan berita hoax diproduksi dan disebar di media sosial dibanding media mainstream. Hal ini mengingat media mainstream terikat dengan kode etik jurnalistik untuk melaksanakan keberimbangan (cover both side), sedangkan media sosial tidak memerlukan itu.
Rudiantara mengatakan masalah hoax tersebut seperti lingkaran setan. Orang melempar hoax di media sosial, kemudian menimbulkan persaingan di media mainstream, terutama media elektronik yang kemudian mengangkat isu media sosial ke TV melalui running text.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Yantina Debora