tirto.id - Sejarah PKI berakhir era kepemimpinan D.N. Aidit tepatnya usai tragedi Gerakan 30 September (G30S) 1965. Sebagai salah satu pentolan Partai Komunis Indonesia, Aidit pernah membawa partai berhaluan kiri ini berjaya di kancah perpolitikan nasional.
Di Tanjung Pandan, Belitung, tanggal 30 Juli 1923, Dipa Nusantara Aidit lahir dengan nama Achmad Aidit dari pasangan Abdullah bin Ismail dan Ayu Mailan. Keluarga Aidit, yang datang dari Sumatera Barat di masa lalu, termasuk kalangan terpandang di Belitung kala itu.
Dua kakek Aidit bergelar haji. Haji Ismail, kakek dari garis ayah, adalah pengusaha yang menuai sukses di bidang perikanan dan kaya-raya. Sedangkan kakek dari jalur ibu, Ki Agus Haji Abdul Rahman, masih keturunan bangsawan dan dikenal sebagai tuan tanah.
“Kakek kami dulu mempunyai pekarangan seluas 2.000 meter persegi,” kenang Murad Aidit, adik kandung Achmad, dalam buku Aidit Sang Legenda (2005).
Abdullah, ayah Achmad, merupakan tokoh agama, pendiri organisasi Nurul Islam, salah satu pelopor pendidikan Islam di Belitung, juga seorang mantri kehutanan.
Bersama gerakan pemuda yang dipimpinnya, Abdullah pernah menentang pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Ia juga mendirikan beberapa sekolah untuk masyarakat di bawah naungan Nurul Islam.
Gerak Politik D.N. Aidit dan PKI
Perjalanan waktu membawa Achmad Aidit dari Belitung ke Jakarta. Pada 1940, ia mendirikan perpustakaan “Antara” di Senen. Dalam "Seri Buku Tempo" bertajuk Aidit, Dua Wajah Dipa Nusantara (2010) disebutkan, Achmad mengganti nama menjadi Dipa Nusantara dan disetujui oleh ayahnya.
Semasa di Jakarta, Aidit mulai mempelajari paham Marxisme yang saat itu belum termasuk ajaran terlarang di tanah air. Relasi Aidit semakin luas karena perkenalannya dengan tokoh-tokoh terkemuka termasuk Mohammad Yamin, juga Sukarno dan Mohammad Hatta yang nantinya menjadi para pemimpin RI.
D.N. Aidit menapaki karier politik di asrama mahasiswa Menteng 31 yang identik sebagai markas aktivis pemuda “radikal” kala itu. Ia berproses bersama kaum muda revolusioner seperti Adam Malik, Chaerul Saleh, Sukarni, Wikana, Subadio Sastrotomo dan lainnya.
Disebutkan pula bahwa Aidit turut terlibat dalam Peristiwa Rengasdengklok menjelang kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Namun, Aidit juga terlibat dalam perlawanan PKI di Madiun tahun 1948.
Setelah itu, Aidit sempat menghilang -ada yang menyebut ia berada di Vietnam bagian utara- sebelum muncul lagi menjelang Pemilu 1955. Aidit dengan cepat mengambil-alih kendali PKI dari golongan pemimpin tua macam Alimin dan Tan Ling Djie.
PKI meraup banyak suara di Pemilu 1955 bahkan masuk dalam jajaran 4 partai politik terbesar di Indonesia kala itu. PKI yang mengklaim punya anggota hingga 3,5 juta orang kala itu juga menjadi partai komunis ketiga terbesar di dunia setelah Uni Soviet dan Cina.
G30S 1965: Akhir Sejarah PKI
Hingga akhirnya, terjadilah peristiwa berdarah yang dikenal sebagai Gerakan 30 September (G30S) 1965 yang menyebabkan kematian beberapa perwira tinggi TNI-AD dan menyudutkan PKI sebagai salah satu unsur utama upaya kudeta. Para pemimpin PKI mulai diburu, termasuk D.N. Aidit.
Dalam Kronik 65: Catatan Hari per Hari G30S Sebelum Hingga Setelahnya 1963-1971 (2017) yang disusun Kuncoro Hadi dan kawan-kawan diungkapkan, pada 2 Oktober 1965 dini hari, Aidit terbang dari Jakarta menuju Yogyakarta dengan pesawat Dakota T-443 setelah sebelumnya lolos dari sergapan tentara.
Sesaat usai mendarat di Yogyakarta, Aidit langsung menuju Semarang untuk menggelar rapat dengan beberapa pemimpin PKI lainnya. Rapat ini menghasilkan pernyataan bahwa G30S adalah masalah internal AD dan PKI tidak ada sangkut pautnya dengan gerakan ini.
Selama beberapa hari kemudian, Aidit berkeliling Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk mencegah perpecahan internal PKI namun gagal. “PKI pun terbelah dalam sayap radikal dan sayap moderat yang menjerumuskannya dalam kekacauan,” tulis Peter Kasenda dalam Kematian D.N. Aidit dan Kehancuran PKI (2016).
Kubu Aidit termasuk kelompok moderat yang ingin menyelamatkan PKI dari ancaman pemberangusan lantaran blunder yang terlanjur terjadi. Di sisi lain, ada kubu radikal yang dimotori oleh Utomo Ramelan dan kawan-kawan yang memilih terus melakukan perlawanan.
Para pemimpin PKI terus menjadi sasaran buruan, termasuk D.N. Aidit. Sampai akhirnya, dalam suatu operasi militer pada pertengahan November 1965, Aidit tertangkap di Surakarta.
Tanggal 22 November 1965, D.N. Aidit seharusnya dibawa ke Semarang, ke markas Kodam Diponegoro.
Hanya saja, raganya tidak pernah tiba di Semarang. Di Boyolali, pemimpin PKI ini dieksekusi mati tanpa pernah sempat diadili. Hingga kini, di mana tepatnya kuburan maupun jasad D.N. Aidit belum ditemukan secara pasti.
Perpecahan PKI & Eksekusi D.N. Aidit
Setelah rapat di Semarang, D.N. Aidit kemudian berkeliling Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk mencegah perpecahan internal PKI namun gagal.
“PKI pun terbelah dalam sayap radikal dan sayap moderat yang menjerumuskannya dalam kekacauan,” tulis Peter Kasenda dalam Kematian D.N. Aidit dan Kehancuran PKI (2016).
Kubu Aidit termasuk kelompok moderat yang ingin menyelamatkan PKI dari ancaman pemberangusan lantaran blunder yang terlanjur terjadi.
Di sisi lain, ada kubu radikal yang dimotori oleh Utomo Ramelan dan kawan-kawan yang memilih tetap melakukan perlawanan.
Para pemimpin PKI terus menjadi sasaran buruan, termasuk D.N. Aidit. Sampai akhirnya, dalam suatu operasi militer pada 22 November 1965, Aidit tertangkap di Surakarta. Selanjutnya ia akan dibawa ke Semarang, ke markas Kodam Diponegoro.
Hingga kini, di mana tepatnya kuburan D.N. Aidit masih menjadi teka-teki. Meskipun ada suatu tempat di Boyolali yang diyakini sebagai tempat pemimpin PKI itu dieksekusi, namun jasad D.N. Aidit belum pernah benar-benar ditemukan.
Editor: Agung DH
Penyelaras: Ibnu Azis & Yulaika Ramadhani