tirto.id - Dipa Nusantara Aidit atau DN Aidit adalah seorang pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) yang riwayatnya berakhir tragis usai tragedi Gerakan 30 September (G30S) 1965. Sosok bernama asli Achmad Aidit ini sudah khatam mengaji sejak kecil.
Sedari dini, Achmad dan adik-adiknya dididik secara islami. Saban hari sepulang sekolah, mereka belajar mengaji di bawah bimbingan sang paman, Abdurrachim. Orang-orang sekampung mengenal Achmad sebagai bocah yang alim, rajin ke masjid, juga pandai mengaji.
“[…] Bang Amat (Achmad Aidit) tamat mengaji, khatam Alquran. Kami semua khatam Alquran,” ungkap Sobron Aidit, adik tiri Achmad, yang dituliskannya dalam buku berjudul Aidit: Abang, Sahabat, dan Guru di Masa Pergolakan (2003).
Achmad kecil juga kerap bertugas melantunkan azan di masjid. Diungkap Satriono Priyo Utomo dalam Aidit, Marxisme-Leninisme, dan Revolusi Indonesia (2016), ia sering diminta untuk mengumandangkan azan karena suaranya dianggap keras dan lafalnya jelas.
Kiprah Abdullah Ayah Aidit
Achmad Aidit atau yang kelak dikenal sebagai D.N. Aidit punya latar belakang yang baik. Lahir di Tanjung Pandan, Belitung, pada 30 Juli 1923, keluarga Aidit amat terpandang kendati merupakan warga pendatang.
Berdasarkan penelusuran Rosamona yang diterbitkan dalam buku Matinja Aidit, Marsekal Lubang-Buaja (1967), keluarga Aidit berasal Sumatera Barat, yang kemudian merantau ke Belitung.
Ayah Achmad, yakni Abdullah bin Ismail, dikenal sebagai tokoh agama dan salah satu pelopor pendidikan Islam di Belitung yang disegani masyarakat. Abdullah juga seorang mantri kehutanan.
Ayah Aidit yang muslim taat ini pernah menggagas dan memimpin gerakan kepemudaan untuk menentang kolonial Hindia Belanda. Selanjutnya, pada 10 November 1937, Abdullah menjadi salah satu pendiri organisasi keagamaan bernama “Nurul Islam”.
Dalam Buku Pintar Politik: Sejarah, Pemerintahan, dan Ketatanegaraan (2009) suntingan J.F. Tualaka, disebutkan bahwa perhimpunan Islam itu berorientasi kepada Muhammadiyah. Bersama Nurul Islam, Abdullah juga turut merintis pendidikan Islam di Belitung.
Tanggal 3 Januari 1938, Nurul Islam meresmikan sekolah sekaligus madrasah di Tanjung Pandan. Hingga awal 1941, Nurul Islam memiliki 6 cabang dan 4 ranting di luar Kota Tanjung Pandan dengan 497 orang anggota.
Nurul Islam juga membawahi 1 Arabische Schalkelschool, 2 Arabische Volkscholen, 4 Arabische Middangscholen, 2 kursus agama untuk laki-laki, dan kursus agama kaum ibu, demikian dikutip dari Sejarah Perjuangan Rakyat Belitung (1992) suntingan Abdul Hadi Adjin, Salim Yah, dan Rosihan Sahib.
Berasal dari Keluarga Terpandang
Dari garis ayahnya, Achmad alias D.N. Aidit punya kakek bernama Haji Ismail. Sosok ini sangat dihormati masyarakat, termasuk lantaran “gelar” yang disandang usai menunaikan ibadah haji di tanah suci.
Haji Ismail juga seorang pengusaha yang menuai sukses di bidang perikanan dan terkenal kaya-raya. “Kakek kami dulu mempunyai pekarangan seluas 2.000 meter persegi,” kenang Murad Aidit, adik kandung Achmad, dalam buku Aidit Sang Legenda (2005).
Sedangkan dari garis ibu, Achmad terbilang masih keturunan ningrat. Ayu Mailan, ibunda Aidit, berasal dari keluarga bangsawan. Ayah Mailan yang dikenal dengan nama Ki Agus Haji Abdul Rahman, adalah seorang haji sekaligus tuan tanah.
Berawal dari Belitung dengan segenap kehormatan dan kealiman latar belakang keluarganya, garis nasib membawa Achmad alias Dipa Nusantara Aidit ke Jakarta sebelum era pendudukan Jepang.
Hingga akhirnya, Aidit menjadi Ketua Committee Central PKI, partai politik yang dibawanya berjaya di Pemilu 1955 meski harus mengubur riwayat usai peristiwa berdarah G30S 1965.
Biografi DN Aidit: Gerak Politik dan PKI
Perjalanan waktu membawa Achmad Aidit dari Belitung ke Jakarta. Pada 1940, ia mendirikan perpustakaan “Antara” di Senen. Dalam "Seri Buku Tempo" bertajuk Aidit, Dua Wajah Dipa Nusantara (2010) disebutkan, Achmad mengganti nama menjadi Dipa Nusantara dan disetujui oleh ayahnya.
Semasa di Jakarta, Aidit mulai mempelajari paham Marxisme yang saat itu belum termasuk ajaran terlarang di tanah air. Relasi Aidit semakin luas karena perkenalannya dengan tokoh-tokoh terkemuka termasuk Mohammad Yamin, juga Sukarno dan Mohammad Hatta yang nantinya menjadi para pemimpin RI.
D.N. Aidit menapaki karier politik di asrama mahasiswa Menteng 31 yang identik sebagai markas aktivis pemuda “radikal” kala itu. Ia berproses bersama kaum muda revolusioner seperti Adam Malik, Chaerul Saleh, Sukarni, Wikana, Subadio Sastrotomo dan lainnya.
Disebutkan pula bahwa Aidit turut terlibat dalam Peristiwa Rengasdengklok menjelang kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Namun, Aidit juga terlibat dalam perlawanan PKI di Madiun tahun 1948.
Setelah itu, Aidit sempat menghilang -ada yang menyebut ia berada di Vietnam bagian utara- sebelum muncul lagi menjelang Pemilu 1955. Aidit dengan cepat mengambil-alih kendali PKI dari golongan pemimpin tua macam Alimin dan Tan Ling Djie.
PKI meraup banyak suara di Pemilu 1955 bahkan masuk dalam jajaran 4 partai politik terbesar di Indonesia kala itu. PKI yang mengklaim punya anggota hingga 3,5 juta orang kala itu juga menjadi partai komunis ketiga terbesar di dunia setelah Uni Soviet dan Cina.
Editor: Agung DH
Penyelaras: Ibnu Azis & Yulaika Ramadhani