tirto.id - Suatu hari di tahun 2005, dari Amerika Serikat, Abdul Wadud Karim Amrullah (AWKA)--adik tiri Buya Hamka--menitipkan sebuah surat untuk sahabatnya, Murad Aidit, kepada putrinya, Rehana Soetidja Amrull Rodriguez, saat berkunjung ke Indonesia.
"Saya kemudian mendengar dari Rehana bahwa pertemuan dengan Murad sangat emosional. Dia sangat gembira akhirnya bertemu dengan salah satu anak saya. Pesannya kepadaku adalah sebelum dia meninggal, dia ingin bertemu denganku terlebih dahulu," kenang AWKA dalam autobiografinya berjudul Sumatran Warrior: Mighty Man of Love and Courage (2016).
Setahun berselang, tepatnya pada Desember 2006, AWKA berkunjung ke Indonesia. Suasana haru tercipta. Untuk pertama kalinya, setelah enam dekade terpisah, ia dapat kembali bertemu dengan Murad secara langsung.
Keduanya menginap di sebuah hotel. Hingga larut malam, mereka berbagi cerita dan pengalaman hidup masing-masing. Rasa prihatin timbul dalam diri AWKA setelah mendengar pengalaman pahit yang dialami Murad, saat menjalani masa tahanan setelah meletusnya badai politik 1965.
Persahabatan keduanya mulai terjalin sekitar awal tahun 1940, saat sama-sama bersekolah di HIS (Holland Inlandsche School) yang berada di Jakarta. Sembilan tahun kemudian, keduanya berpisah setelah AWKA memutuskan pindah ke Rotterdam, Belanda.
Kedatangan Pertama ke Jakarta
Lahir di Tanjung Pandan, Belitung, Sumatra Selatan, pada 21 Agustus 1927, Murad Aidit adalah putra keempat dari pasangan Abdullah Aidit dan Mailan. Ia tiba di Jakarta pertama kali pada awal tahun 1940-an.
Di Jakarta, ia indekos di daerah Tanah Tinggi No. 48, Kawasan Senen, Jakarta Pusat, bersama kakak kandung pertamanya, Dipa Nusantara Aidit, yang tiga tahun sebelumnya sudah lebih dulu berada di Jakarta.
"Belajar dari pengalaman keterlambatan Bang Amat ketika mendaftar ke MULO, maka aku, Murad, adik kandung dari DN Aidit, yang ketika itu baru duduk di kelas tujuh yang merupakan kelas terakhir di HIS [yang berada di Belitung], segera dikirim juga ke Jakarta, untuk menamatkan sekolah di kota ini. Maksudnya agar tidak terlambat lagi dalam pendaftaran ke MULO," tulis Murad dalam bukunya Aidit Sang Legenda (2005, hlm. 64).
Keinginannya untuk sekolah di MULO akhirnya terlaksana. Namun, terpaksa berhenti di tengah jalan seiring jatuhnya Hindia Belanda ke tangan Jepang pada 8 Maret 1942. Sejak saat itu pula situasi Jakarta berubah. Ia dan abangnya mulai mengalami kesulitan keuangan. Sebab, kiriman uang dari orang tuanya di Belitung, mulai terhenti.
Kesulitan ini mengharuskan keduanya mencari uang sendiri. Abangnya mengais rezeki melalui usaha di bidang kolportir dengan nama Antara yang bergerak mencari iklan, pelanggan surat kabar, dan penjualan buku.
Sedangkan Murad, menjual koran di Kramat Plein. Selain itu, ia juga menjajakan lencana gambar-gambar tokoh perjuangan seperti Dr. Sutomo, Kartini, hingga Diponegoro, buatan salah seorang teman abangnya yang memiliki usaha lencana bernama Minora.
Hasil usaha keduanya ternyata masih kurang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, terutama biaya indekos. Akhirnya Murad meminta bantuan kelompok Pekope (Penolong Korban Perang), yang diketuai Pak Alim, untuk diizinkan tinggal di asramanya yang terletak di Matraman Raya 13.
Setelah itu, tempat tinggalnya berpindah-pindah, dari Jalan Besuki No. 15 hingga gedung Nisvo (Nederlands Indische Sociale Vrouwen Organisatoe) di Jalan Kramat. Hingga akhirnya, ia dipulangkan ke Belitung.
Dalam Masa Revolusi
Setiba di kampung halaman, keluarganya juga sedang kesulitan. Ayahnya turut dalam perjuangan rakyat Belitung menghadapi bala tentara Jepang.
Tidak lama kemudian, ayahnya, Abdullah Aidit, menyuruh ia dan Basri Aidit--kakak kandung kedua--bersama Mohammad Thaib, yang merupakan anak pertama dari ibu tirinya, Marisah, untuk segera pergi ke Jakarta. Ini dilakukan untuk menyelamatkan anak-anaknya dari penjaringan tenaga romusa.
Perjalan ke Jakarta menemui rintangan. Kapal laut yang mereka tumpangi terseret arus hingga terdampar di Pekalongan. Setelah itu, mereka harus berurusan dengan militer Jepang karena ketidaksesuaian kota tujuan yang tercatat dalam surat jalannya. Namun, setelah menunggu cukup lama, Jepang akhirnya mengizinkan mereka pergi ke Jakarta menggunakan kereta api.
Di Jakarta, Murad melanjutkan sekolah di SMP Pratapan. Sejak itu, ia mulai bergaul dengan kawan-kawan D.N. Aidit, seperti Sukarni, Wikana, Chaerul Saleh, Adam Malik, A.M. Hanafi, dan yang lainnya dalam kelompok Menteng 31.
Sambil melanjutkan studinya ke sekolah menengah atas, ia terlibat dalam perjuangan fisik di masa revolusi bersama Angkatan Pemuda Indonesia di bawah pimpinan Wikana.
Dalam rentang tahun 1946 hingga 1948, Murad juga tercatat bergabung dengan Laskar Rakyat Jakarta Raya dan Tentara Pelajar. Di saat bersamaan, salah satu adik tirinya, Sobron Aidit, tiba di Jakarta untuk melanjutkan sekolah di SMP 1 Manggarai.
Sobron tinggal bersama Murad, juga Chairil Anwar di Gondangdia Binnen No. 2. Sejak itu, ketiganya selalu bersama. Bahkan, Chairil Anwar menjadi mentor Sobron dalam membuat puisi.
Namun, hari-hari yang dilalui ketiganya tidak mudah. Mereka kadang hanya makan sekali dalam sehari.
"Kalau ada uang, baru makan. Ketika itu bang Murad jadi tukang catut," kenang Sobron dalam Melawan dengan Restoran (2007).
Chairil kemudian pindah ke Paseban. Sementara Murad pergi tanpa memberi kabar kepada Sobron dan tidak kembali. Sobron akhirnya benar-benar mengalami masa sulit.
"Ketika itulah saya sendirian di kamar dan tidak ada yang memberi makan. Ketika di sekolah saya hanya dapat makanan dari minta-minta ke kawan-kawan. Saya minta makanan apa saja. Saya benar-benar mengemis kepada teman-teman yang membeli makanan," imbuh Sobron.
Hari-hari berikutnya, Basri Aidit mendatangi Sobron dan mengabarinya bahwa Murad sedang menjalani perawatan di rumah sakit Cilendek, Bogor, TBC-nya kambuh.
Dari tahun 1948 hingga 1954, Murad terkulai lemas di rumah sakit. Ia sempat dipindahkan ke rumah sakit paru-paru di Cisarua, Bogor. Kondisi kesehatannya parah. paru-parunya sudah lengket dengan tulang dada.
"Menurut Dr. Gunawan dan Dr. Djayus yang merawatnya, Sebilah tulang dada itu harus diamputasi untuk menyelamatkan paru-parunya," tulis Budi Kurniawan & Yani Andriansyah dalam Menolak Menyerah: Menyingkap Tabir Keluarga Aidit (2005, hlm. 111).
Dalam majalah Tempo edisi 7 Oktober 2007, melalui jaringan pertemanan D.N. Aidit, akhirnya kesehatan Murad mulai membaik setelah dokter memberinya obat TBC dari Swiss, yang belum beredar di Indonesia.
Dari Uni Soviet ke Pulau Buru
Setelah pulih, pada 1955 Murad terpilih sebagai anggota DPRD II Belitung dari PKI. Mengutip majalah PKI dan Perwakilan (tahun III, No. 1, 1958), ia kemudian tercatat sebagai anggota DPD Tanjung Pandan, Belitung.
Dalam Bintang Merah, pada September 1959, sebagai sekretaris CP PKI Belitung, ia menghadiri Kongres Nasional ke-VI PKI. Dalam kesempatan itu, ia berpidato dan menyeru kepada anggota partai agar tidak lengah terhadap ancaman modal asing di Indonesia.
Mengutip Budi Kurniawan & Yani Andriansyah (2005), masih di tahun yang sama, ia sebenarnya sudah terpilih sebagai Wakil Bupati Belitung. Namun, ia memilih pergi ke Moskow, Uni Soviet, untuk melanjutkan studinya di University Patrice Lumumba mengambil jurusan ekonomi.
Ia menghabiskan waktu studi selama enam tahun dan berhasil mengantongi ijazah sarjana ekonomi. D.N Aidit sempat menemui dan menyuruhnya segera kembali ke Indonesia.
Setiba di Jakarta, Murad diharuskan mengikuti Wajib Latih Sarjana (Walatsa) di Bandung--kewajiban bagi setiap sarjana di Indonesia untuk mengikuti pelatihan militer. Kesibukannya itu membuatnya tidak mengetahui apa-apa tentang kondisi politik yang sedang berkembang di Indonesia, khususnya Jakarta.
Setelah selesai mengikuti Walatsa, ia menikahi Noer Tjahja, mahasiswi Indonesia lulusan bahasa dan sastra Rusia di Univesitas Patrice Lumumba. Keduanya dikarunia lima anak.
Malam tanggal 30 September 1965, Murad bersama ayahnya bermalam di rumah D.N. Aidit di Pegangsaan Barat No. 4, Jakarta Pusat.
Saat jam menunjukkan pukul 21.00, abangnya bersama Kusno pergi meninggalkan rumah, setelah dijemput orang tidak kenal.
"Kepadaku dia hanya berpesan, 'lampu serambi depan jangan lupa dimatikan'," kenangnya.
Murad ditangkap pada Oktober 1965. Dalam dua tahun awal masa penahanannya, ia dipindahkan dari penjara ke penjara yang berada di Bogor, Pandeglang, dan Bandung.
Pada 1967, ia sempat dibebaskan, namun tak berlangsung lama. Setahun berikutnya ia kembali ditangkap dan ditahan selama tiga tahun di Rumah Tahanan khusus Salemba, Jakarta.
Dalam Amnesty International Newsletter (March 1978 Volume VIII Number 3), bersamaan dengan itu, tanpa alasan yang jelas, istrinya, Noer Tjahja, turut ditangkap bersama anaknya yang bungsu, Eli Yulia Putri Bungsu alias Poppy Antasari. Keduanya mendekam di kamp tahanan Jakarta.
Pada 1969, istri dan anak bungsunya dipindahkan ke penjara Bukit Duri. Dua tahun berselang, keduanya kembali dipindahkan ke Kamp Plantungan. Terakhir, pada 1976 dipindahkan ke penjara Bulu di Semarang.
Mengutip kembali Budi Kurniawan & Yani Andriansyah (2005), sementara Murad dipindahkan dari Salemba ke Pulau Buru dan ditempatkan di unit 15, yang dikenal sebagai "barak isolasi". Selama itu, bersama tahanan lainnya ia harus mencukupi hidupnya dengan bertani.
Warsa 1978, Murad dibebaskan dengan syarat wajib lapor kepada pihak berwenang. Sejak itu, ia tinggal di Jalan Tebet Raya No. 69 dalam kesederhanaan dan bekerja sebagai penerjemah.
Kesedihan menyelimuti saat sang istri meninggal tidak lama setelah bebas dari tahanan. Setelah itu, ia menikahi Lilik Hartini pada 1980 dan dikaruniai satu anak laki-laki.
Statusnya sebagai eks tahanan politik Orde Baru berdampak pada anak-anaknya yang mendapatkan perlakuan diskriminatif. Ia sempat menanggalkan nama Aidit sebagai nama belakang setelah menerima saran dari beberapa kawannya saat berada di Cikole, Bandung. Namun akhirnya, ia kembali menggunakannya.
"Murad juga bercerita tentang kendala yang dihadapinya selama tahun 1996 dalam menunaikan ibadah haji sebagai seorang muslim, karena sebenarnya ia tidak boleh meninggalkan Indonesia,” pungkas AWKA (2016).
Pada 1999, melalui sebuah surat kepada Presiden B.J. Habibie, ia meminta rehabilitasi nama abangnya, D.N. Aidit dan keluarga besarnya. Ia juga meminta pemerintah menunjukkan tulang belulang D.N. Aidit untuk dilakukan pemakaman yang semestinya, serta perlunya dilakukan peninjauan ulang tentang peristiwa G30S.
Surat yang sama disampaikan kepada dua presiden setelahnya, Gus Dur dan Megawati Soekarnoputri. Namun, ia tak kunjung mendapat jawaban.
"Tak pernah ada tanggapan yang membuatnya sedikit menarik napas lega," pungkas Budi Kurniawan & Yani Andriansyah (2005).
Sabtu, 29 Maret 2008, sekitar pukul 04.45 WIB, saat usianya menginjak angka 81 tahun, Murad Aidit mengembuskan napas terakhirnya di Depok. Jenazahnya kemudian dimakamkan di Jakarta.
Penulis: Andika Yudhistira Pratama
Editor: Irfan Teguh Pribadi