tirto.id - Abdullah Aidit menikah dua kali. Dari pernikahannya dengan Mailan, istrinya yang pertama, ia mempunyai empat orang anak: Achmad Aidit (Dipa Nusantara Aidit), Basri Aidit, Ibrahim Aidit, dan Murad Aidit. Sementara dari pernikahannya yang kedua, yakni dengan Marisah, ia dikaruniai dua orang anak, yaitu Sobron Aidit dan Asahan Aidit.
Sampai tahun 1992, tiga orang anaknya yang pertama telah meninggal dunia. Ibrahim Aidit meninggal saat usianya belum genap sehari. Abdullah sendiri meninggal pada 1968. Saat menikah dengan Marisah, perempuan itu membawa dua orang anak yaitu Rosiah dan Muhammad Thaib. Maka dalam memoarnya, Sobron Aidit menyebut mereka sebagai tujuh bersaudara.
“Kini kami yang dulu bertujuh saudara, tinggal tiga lagi. Saya di tengah. Abang saya Murad di Depok, dan adik saya Asahan Alham di Hoofddorp, Holland,” tulisnya dalam salah satu ceritanya yang dihimpun dalam buku bertajuk Potret Diri dan Keluarga (2015).
Tulisan itu dibuat Sobron pada Desember 2002. Lima tahun kemudian, tepatnya pada Februari 2007, ia meninggal dunia. Sementara kakaknya, Murad Aidit menyusul setahun kemudian. Kini anak Abdullah Aidit tinggal menyisakan si bungsu, Asahan Aidit atau Asahan Alham.
Asahan mengganti nama belakangnya saat ia mengajukan kewarganegaraan di Belanda pada 1984. Alham adalah singkatan dari Alhamdulillah. Warsa 2006, nama itu dipakai juga untuk judul roman memoarnya, yakni Alhamdulillah.
Ia lahir di Tangjungpandan, Belitung, pada Desember 1938. Setelah menyelesaikan SMA, ia mendaftar di Jurusan Sastra Rusia, Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Tahun 1961, Asahan mendapat beasiswa dari Universitas Persahabatan Patrice Lumumba di Moskow.
Gelar Magister Humaniora ia raih pada 1966. Artinya, saat terjadi peristiwa G30S yang menewaskan kakak sulungnya, juga kemudian menyeret beberapa kakaknya yang lain ke dalam tahanan Orde Baru, Asahan tengah tinggal di Moskow. Ia tentu saja tak memilih pulang ke Indonesia, sebab bahayanya amat nyata.
Mulai dari sinilah kehidupannya terombang-ambing di beberapa negara. Kehidupan yang memaksa, bukan kehendaknya, yang kemudian membuatnya “balas dendam” untuk membuat kehidupan sendiri, baik di dunia nyata maupun lewat sejumlah cerita.
“Setiap kehidupan manusia adalah juga sebuah film dengan dua macam skenario: oleh dirinya sendiri atau oleh orang lain. Dua pertiga dari hidup saya telah dengan skenario orang lain […] Saya ingin menyelesaikan adegan dua pertiga dengan skenario orang lain ini dengan skenario saya sendiri dalam usia yang mendekati setengah abad dengan petualangan baru atas ongkos sendiri dan bukan oleh pemerintah atau partai politik,” tulisnya dalam Alhamdulillah seperti dikutip Henri Chambert-Loir dalam “Ideologi sebagai Penyakit Turunan: Dunia Asahan Alham” (Sastra dan Sejarah Indonesia: Tiga Belas Karangan, 2018).
Seperti para eksil lainnya, Asahan menulis sejumlah buku. Mula-mula ia menulis dua kumpulan puisi, Perjalanan dan Rumah Baru (1993) serta 23 Sajak Menangisi Viet Tri (1998). Memasuki tahun 2000-an, empat bukunya terbit: Perang dan Kembang (2001), Cinta, Perang dan Ilusi: Antara Moskow dan Hanoi (2006), Alhamdulillah (2006), dan Azalea: Hidup mengejar Ijazah (2009).
Para korban 1965 yang hidupnya diobrak-abrik Orde Baru tentu tak hendak melupakan pengalamannya begitu saja. Di dalam negeri, orang-orang yang di-Buru-kan menulis memoar. Pramoedya Ananta Toer yang menulis dua jilid Nyanyi Sunyi Seorang Bisu dan Hersri Setiawan dengan Memoar Pulau Buru dapat disebut sebagai contoh.
Di luar negeri, mereka yang tak bisa pulang juga menulis. Bahkan dalam catatan Loir, autobigrafi yang ditulis para eksil lebih banyak dari yang ditulis para tapol. Jumlahnya mencapai 42 buah. Sobron Aidit misalnya, kakak Asahan ini menulis sejumlah buku seperti Surat kepada Tuhan, Cerita dari Tanah Pengasingan, Razia Agustus, dan lain-lain.
Jika Pramoedya Ananta Toer dan Hersri Setiawan dalam buku yang disebutkan di atas menulis secara gamblang pengalamannya, Sobron dan terutama Asahan kerap agak menyembunyikannya dalam balutan fiksi, atau Sobron menyebutnya sebagai “seni estetika”.
Dalam Potret Diri dan Keluarga (2015) yang dalam sampulnya tertulis sebagai “kumpulan cerpen”, Sobron menyebut 85 persen tulisannya adalah kenyataan sesungguhnya, sementara sisanya adalah tambahan keindahan seni yang tidak bertentangan dengan kejadian yang sesungguhnya.
Dalam hal ini, meski Sobron hendak mengukir tulisannya dengan apa yang ia sebut sebagai “seni estetika”, tapi nampaknya ia kesulitan untuk berkelit dari kenyataan yang sesungguhnya. Dan ia memang mengakuinya.
“Barangkali inilah salah satu kelemahan tulisan saya, yaitu saya selalu menuliskan apa yang saya alami, apa yang saya lihat, dan apa yang saya rasakan. Dari semua tulisan saya yang ada hingga kini, tak lebih dari 5 persen yang bisa saya tuliskan secara fantastis. Kebanyakan dan mayoritasnya adalah kebenaran yang terjadi pada diri saya dan keluarga,” ungkapnya dalam pengantar Potret Diri dan Keluarga (2015).
Sementara Asahan dengan terang dan jelas menyatakan bahwa autobiografi memang tak ada dan tidak akan pernah bersih dari fiksi dan fantasi. Menurutnya, semua autobiografi paling hanya memuat 70 persen kisah yang berdasarkan fakta, selebihnya kembang susastra yang melekat dan tak bisa dipisahkan.
Prinsip Asahan inilah yang kemudian digeledah oleh Henri Chambert-Loir dalam “Ideologi sebagai Penyakit Turunan: Dunia Asahan Alham”. Di luar dua kumpulan sajaknya, Loir menyelisik empat tulisan Asahan yang masing-masing dilabeli sebagai “roman”, “memoar”, “roman memoar”, dan “cerpen memoar”.
“Kita bisa langsung menduga bahwa roman memoar dan cerpen memoar adalah genre paduan yang dapat didefinisikan sebagai teks sastra (roman dan cerpen) yang diilhami kehidupan pengarangnya, atau sebagai memoar bercampur fiksi, tergantung apakah kita ingin menekankan unsur fiksional atau unsur otentik di dalamnya,” tulis Loir.
Klayaban di Uni Soviet, Vietnam, dan Belanda
Setelah lulus dari Universitas Persahabatan Patrice Lumumba di Moskow, Asahan pindah ke Vietnam yang kala itu tengah dilanda perang. Menurut Loir, keputusan itu diambil karena disuruh oleh Delegasi Comite Central PKI yang dibentuk di Beijing, yang bertindak atas nama Partai dan memiliki wewenang atas semua anggota partai yang berada di luar negeri.
“Di sana, bersama beberapa puluh kawan, dia mengikuti latihan militer dan ideologi selama beberapa tahun, di bawah perintah bersama Partai Komunis setempat dan Delegasi. Jauh di kemudian hari, pada tahun 1974, barulah dia ditempatkan di universitas,” tulisnya.
Sementara menurut Harsutejo, penyunting Cinta, Perang dan Ilusi: Antara Moskow-Hanoi (2006), seperti ia tulis dalam pengantar buku tersebut, alasan Asahan pindah ke Vietnam berbeda dengan kawan-kawannya yang mendapat tugas Partai. Asahan diperkirakan jenuh dengan situasi yang dihadapinya di Uni Soviet. Namun, ketika sampai di Vietnam, semuanya sama saja, para pemuda itu disebut sebagai “belajar revolusi”.
“Ketika kereta api yang membawanya memasuki perbatasan Vietnam dan Tiongkok, mereka sudah diperkenalkan dengan pemboman pesawat-pesawat Amerika Serikat. Sampai bertahun-tahun kemudian, dia dan kelompoknya mengalami perang besar yang dahsyat itu, baik dari pinggir maupun dari tengah-tengahnya,” terang Harsutejo.
Sebelum Perang Vietnam berakhir pada 1975, Asahan sempat menulis disertasi tentang perbandingan antara peribahasa Indonesia dan Vietnam. Lalu setelah itu, meski perang telah selesai, ia tak dapat segera meninggalkan Vietnam.
Penderitaan masih datang bertalu-talu. Lapar dan kemiskinan mengancam. Perang juga telah menghancurkan “sekolah revolusi”-nya.
“Sekolah revolusi saya telah hancur berantakan dirobohkan oleh guru-gurunya sendiri, lalu mereka pada lari lintang-pukang mencari rezekinya sendiri-sendiri. Setiap orang hanya memikirkan nasibnya sendiri dan mencari jalannya sendiri,” ungkapnya.
Pemerintah setempat mengancam Asahan karena ingin meninggalkan Vietnam. Ia dan keluarganya diasingkan ke tempat yang sangat jauh dari Hanoi. Demi meninggalkan Vietnam, di tempat pengasingan ia melakukan protes dengan cara berbaring di tengah jalan raya yang ramai selama lebih dari dua belas jam.
Perjuangannya tak sia-sia. Di pengujung 1983, ia akhirnya mendapatkan kembali paspornya yang sebelumnya dinyatakan hilang. Sejak Oktober 1983 Asahan tinggal di Belanda.
Kehidupan Asahan di luar negeri, setidaknya saat ia tinggal di Vietnam yang digambarkan lewat Cinta, Perang dan Ilusi: Antara Moskow-Hanoi (2006), menurut Harsutejo merupakan salah satu contoh tentang beratnya menjalani hidup sebagai kaum eksil.
Ia menekankan hal tersebut karena banyak korban tragedi 1965 di Indonesia yang beranggapan bahwa kawan-kawannya yang bermukim di luar negeri hidupnya tenteram dan damai.
“[Mereka menganggap kawan-kawannya yang tinggal di luar negeri] telah menikmati ‘sorga negeri sosialis’, dilanjutkan dengan ‘sorga negeri kapitalis’ tanpa dipikirkan tentang pelbagai gejolak, tekanan, pertentangan tajam, keadaan dan hari depan tidak pasti, iklim dingin menggigit bersama kesepian, rindu sanak saudara, dan tanah air yang mereka alami,” tulisnya.
Namun, “pembelaan” Harsutejo itu tidak serta merta menjadikan Asahan sama dengan para eksil yang lain. Dalam catatan Loir, beberapa hal mendasar, dilihat dari sejumlah karyanya, Asahan tidak menulis untuk memulihkan identitas Indonesianya sehingga dapat pulang dan diakui sebagai warga negara Indonesia lagi.
“Tidak ada tuntutan identitas, tidak ada kebutuhan akan pengakuan. Dia tidak menulis supaya diakui dan diterima oleh khalayak mana pun,” ungkapnya.
Menurut Loir, Alhamdulillah (2006) merupakan tulisan Asahan yang paling cermat merumuskan konsepsi tentang dirinya dalam sejumlah tulisan yang ia buat. Dalam roman memoar itu, alih-alih mengharapkan pengakuan khalayak, Asahan lebih menengok ke dalam dirinya.
“Saya ingin melihat diri saya di dalam apa yang saya pikirkan, saya fantasikan, saya abadikan dan karenanya saya menulis yang barangkali tidak cepat saya temukan dalam satu kali tulis, mungkin harus berkali-kali saya lakukan atau mungkin seumur hidup hingga saya menemukannya atau tidak pernah menemukannya,” tulisnya dalam Alhamdulillah seperti dikutip Loir.
Ihwal karya-karyanya—terutama sajak—A. Kohar Ibrahim, kawan Asahan, pernah mengungkapkan kepada Fairuzul Mumtaz dalam buku yang judulnya seperti buku motivasi, yakni 50 Kisah Sukses & Inspiratif Diaspora Indonesia Lintas Negara, Lintas Bidang (2014).
Menurut Ibrahim, dari sekian banyak penyair Indonesia di luar negeri, karya Asahan ia anggap sebagai yang paling kuat.
“Baik dalam keharmonisan pengungkapan isi maupun dukungan bentuknya. Kekuatannya terutama dalam menyatakan perasaan dan pikirannya yang lugu, bening dan cerah. Meskipun, mungkin saja, kecerahannya itu bagi sementara pembacanya dirasakan terlampau sekali. Hingga bukan lagi kesejuk-hangatan yang dirasakan, melainkan kegerah-panasan. Hingga menggelisahkan,” ungkapnya.
Asahan menikah dengan Sen, perempuan Vietnam, anaknya yang bernama Tri meninggal secara misterius di pantai Inggris, di Dover.
“Ada dua pendapat bahwa Tri bunuh diri atau dibunuh entah oleh siapa,” tulis Sobron Aidit dalam Catatan Spiritual di Balik Sosok Sobron Aidit (2005)
Meski Loir, lewat pembacaan karya-karya Asahan, lebih melihatnya sebagai eksil yang lebih menempuh perjalanan ke dalam diri, tapi penyair Mawie Anata Jonie seperti dikutip Fairuzul Mumtaz sempat menulis sajak “Kepada Penyair Heri Latief dan Asahan Aidit”, yang isinya menyiratkan kerinduan kepada tanah air.
“…Puisi adalah rumahku, senjata dan harta yang kita punya
Tempat aku berteduh, hatiku menembus batas benua dan negeri
Bilakah perahu yang kita tumpangi hari ini sempat merapat di dermaga
Kita tidak tahu, mungkin saja kita sudah tidak bisa bicara lagi”
Ya, mungkin saja, dan memang sangat manusiawi jika Asahan juga merindukan kampung halamannya. Namun yang pasti, lewat Azalea: Hidup mengejar Ijazah (2009) yang menurut Loir dalam “Ideologi sebagai Penyakit Turunan: Dunia Asahan Alham” merupakan autobiografi paling introspektif di seluruh jenisnya di Indonesia, Asahan menulis:
“[…] Betapa jemu dan jenuhnya hidup ini. Sejarah sudah tidak bisa dibetulkan dari belakang.”
Editor: Nuran Wibisono