tirto.id - Dua tahun lalu, film Happy Death Day laku di pasaran. Ia bahkan malah lebih sukses dari Blade Runner, fiksi-fantasi yang dimodali berkali-kali lipat lebih besar dan dibintangi bintang kelas atas macam Ryan Gosling dan Harrison Ford.
Film Happy Death Day cuma dimodali 4,5 juta dolar, tapi berhasil meraup 26,5 juta dolar AS dalam seminggu penayangannya. Itupun cuma dari jumlah tayang di Amerika Utara.
Secara kualitas, ia juga dirayakan para kritikus. Meski membawa genre time loop, yang pada tahun itu saja sudah empat kali dipakai film berbujet internasional—Before I Fall, Naked, A Day, dan Mother!—Happy Death Day dianggap membawa aura segar, khususnya pada genre horor yang tayang tahun itu.
Christopher Landon, sang sutradara, dianggap berhasil mengemas horor-slasher atau pembunuhan yang jadi jualan andalan Happy Death Day dengan ciamik. Ia memang terbilang berbeda dibanding film-film horor yang jadi box office tahun itu: It, Get Out, Split, dan Anabelle: Creation.
Happy Death Day bukan film besar atau penting—tak ada propaganda politis yang terselip kentara dan diberi lampu sorot berlebihan. Dari bujetnya kita sudah mafhum: film ini dibikin cuma untuk hiburan. Namun, satu fakta lainnya yang membuat Happy Death Day menonjol dari deretan film yang tayang sekarang adalah karena ia membangkitkan kenangan para penggemar film slasher seperti Scream kembali lagi ke permukaan. Walau sebenarnya adegan pembunuhan di Happy Death Day sama sekali tidak basah, apalagi berlumur darah, seperti sebagaimana film-film slasher umumnya.
Rasanya hampir tak ada yang tak menangkap ‘nuansa’ Scream dari suguhan latar yang diberikan Landon: Pembunuh dengan topeng ikonik, latar kampus, kemunculan pembunuh yang selalu tiba-tiba, dan tangkapan humor dalam horornya.
Ketika keuntungan yang diraup bisa berkali lipat, gagasan untuk membangun sekuel rasanya mustahil untuk ditolak. Lebih dari sedekade ke belakang, membuat sekuel, spin-off, atau semesta sendiri sudah jadi model bisnis baru di Hollywood.
Masalahnya kalau sudah begini, akan muncul pertanyaan klasik: bisakah sekuel Happy Death Day berkualitas setara dengan naskah orisinilnya? Atau ia akan bernasib sama dengan semua sekuel yang pernah dibuat? Berakhir jadi olok-olokan.
Tree, Sang Juru Selamat
Film Happy Death Day dua tahun lalu dirilis berdekatan dengan Halloween. Bisa jadi, strategi pemasaran itu jadi salah satu alasan mengapa penontonnya membeludak. Dahi saya sempat mengkerut ketika tahu sekuelnya, yang berjudul Happy Death Day 2U, justru dirilis berdekatan dengan Hari Valentine. Padahal, jika dilihat dari trailer-nya, sekuel ini masih bernuansa horor-slasher, meski kini Tree (Jessica Rothe) punya hubungan khusus dengan Carter (Israel Broussard).
Namun, apakah itu berarti porsi roman akan lebih besar dalam sekuel ini?
Tanpa membongkar terlalu banyak plot, ternyata jawabannya iya. Bisa dibilang, elemen horor yang ada pada Happy Death Day berkurang drastis di sekuelnya ini. Kita akan dihidangkan elemen fiksi-ilmiah sebagai penggantinya. Istilah macam dimensi lain, fisika quantum, dan semesta lain akan disisipkan untuk memaksa penonton tenggelam dalam petualangan baru Tree dan kawan-kawan.
Di luar itu, porsi kisah cinta Tree-Carter juga jadi plot sampingan yang porsinya besar. Terlalu besar, sampai penonton tak akan terlalu peduli pada pembunuh bertopeng bayi yang jadi plot utama sekaligus ikon primer dalam Happy Death Day.
Penonton bahkan akan disuguhkan satu adegan cringey, ketika Tree dan Carter berciuman secara slow motion, dengan latar percikan listrik yang tampak seperti kembang api. Adegan yang tujuannya memaksa penonton yakin bahwa kisah cinta Tree dan Carter penting dan menarik. Sehingga pada akhirnya, kita harus menerima keputusan Landon untuk memutar setir dari horor ke drama-komedi.
Sayangnya, perubahan itu terlampau ekstrem, dan tidak membuat sekuel ini jadi tontonan yang lebih menarik.
Adegan-adegan dengan musik latar tegang, dan pembunuh yang mengendap-endap di belakang korbannya memang masih ada. Bahkan akan diulang beberapa kali, penonton sadar hanya adegan-adegan itu yang membuat unsur horor dalam Happy Death Day 2U masih terasa, meski sangat sedikit. Setidaknya, adegan-adegan itu yang jadi benang merah dengan film pendahulunya—yang sayangnya tak cukup kuat.
Satu-satunya yang bikin Happy Death Day 2U menarik adalah penampilan Jessica Rothe yang karismatik. Di sekuel ini, karakternya adalah satu-satunya elemen yang berkembang. Kita akan melihat Tree yang kocak, emosional, dan mabuk kepayang dengan porsi cukup. Yang anehnya, bikin karakter Tree jadi tidak dangkal, sebagaimana plot film ini secara keseluruhan.
Sederhananya, Jesicca Rothe berhasil bikin simpati pada Tree.
Film ini akhirnya kembali jadi box office. Per 20 Februari 2019, sekuel ini dapat kentungan sampai 28,8 juta dolar. Lebih banyak dari film pertamanya di minggu pertama rilis. Jadi, masih ada kemungkinan untuk meneruskan nasib buntung Tree.
Di ujung film Happy Death Day 2U, ia dan kawan-kawan juga diberikan situasi baru yang kelihatan seperti permulaan sekuel baru. Namun, apakah Landon bisa terus-terusan bergantung pada karisma Rothe?
Mungkin, dibanding mempersiapkan sekuel baru, Landon lebih baik menyiapkan penutup yang layak buat karakter Tree. Misalnya, kali ini Tree mati betulan, alih-alih hidup lagi pada naskah yang sempit dan suasana kebingungan untuk menyamai kesuksesan film pertama Happy Death Day.
Editor: Windu Jusuf