tirto.id - Keseluruhan cerita Happy Death Day sudah tuntas dibocorkan trailernya: film itu akan mengisahkan seorang mahasiswi menyebalkan yang mati berulang-ulang kali di hari ulang tahunnya. Namun, mengingat mayoritas penonton adalah mereka yang membenci spoiler dan tak ingin paham alur cerita sebelum menonton, maka fakta bahwa film ini menembus puncak Box Office pekan lalu dan sangat mengejutkan.
Film ini hanya dimodali Blumhouse Production dan Universal dengan bujet 4,5 juta dolar Amerika Serikat—masuk hitungan film berbujet murah untuk kelas Hollywood. Namun, ia sudah mengumpulkan 26,5 juta dolar AS hanya di Amerika Utara saja. Di luar AS, Happy Death Day memang belum meraup terlalu banyak keuntungan karena baru ditayangkan atau belum masuk daftar tayang reguler. Di Indonesia, Happy Death Day pekan lalu mulai jadi tontonan reguler.
Lebih mengejutkan lagi, Happy Death Day berhasil menggeser posisi Blade Runner 2049 yang dibintangi duet Ryan Gosling dan Harrison Ford. Dua nama besar itu harusnya lebih menarik ketimbang Jessica Rothe dan Israel Broussard, yang secara tarif dan jam tayang masih jauh di bawah mereka.
Walaupun dapat kritik beragam dari para kritikus, nyatanya Happy Death Day berhasil bikin rumah produksi, produser, serta sutradaranya untung berkali-kali lipat. Jumlah penonton ditaksir akan terus meningkat.
Salah satu yang menarik dari film ini adalah plot time loop yang jadi tema utamanya. Tree, tokoh utama yang diperankan Rothe. Kematiannya yang berulang akhirnya membuat mahasiswi itu punya misi untuk menemukan siapa pembunuh aslinya—seseorang yang selalu mengenakan topeng bayi gemuk, maskot kampus mereka.
Pertanyaannya, dengan alur segamblang itu, mengapa film ini tetap laku? Bahkan masuk dalam daftar film horor Box Office tahun ini bersama: It, Get Out, Split, dan Anabelle: Creation.
Baca juga:Film It dan Kenapa Badut Bisa Jadi Amat Menyeramkan
David Edelstein dari Vulture justru menyebut plot time loop yang dihadirkan adalah fakta yang sangat menarik, dan bisa jadi ia benar. Meski penonton sadar kalau Tree bakal mati di ujung harinya dan bangun di awal hari yang sama, masih ada selipan alur cerita menarik di sela-selanya. Setidaknya, lewat Tree, penonton dibawa berpikir: apa yang kira-kira akan dilakukan manusia jika terjebak dalam situasi serupa?
Cerita-cerita bertemakan time loop memang bukan barang baru. Dalam bentuk novel, The Encyclopedia of Science Fiction mencatat dua karya Robert Heinlein: By His Bootstraps (1941) dan All You Zombie (1959) sebagai dua karya awal yang mengenalkan konsep film dengan alur time loop.
Sutradara Jonathan Heap pada 1990, pernah mengadaptasi cerpen Richard Luppof berjudul 12:01 PM (1973). Dan berhasil masuk nominasi Oscar. Film lainnya yang pakai konsep serupa dan meraup kesuksesan adalah Groundhog Day (1993) yang pemeran utamanya—seorang jurnalis pembaca berita cuaca—diperankan Billy Muray, yang mungkin dikenal generasi ini dari film Lost in Translation (2003) atau The Grand Buddapest Hotel (2014). Film-film time loop masa lalu juga menginspirasi pembuatan Happy Death Day.
Happy Death Day memang bukan film pertama yang dibikin dengan konsep time loop. Namun, ia jadi salah satu film bertema time loop yang dibangun dengan karakter generasi milenial, meski bukan yang pertama kali. Tahun ini setidaknya ada empat film panjang dengan standar distribusi global yang memakai konsep time loop: Before I Fall, Naked, A Day, dan Mother!. Kebetulan, dua di antaranya: Before I Fall dan Naked bergenre drama dan drama-komedi. Sementara sisanya, bergenre misteri termasuk Happy Death Day.
Namun, hanya Before I Fall yang benar-benar merekam kehidupan generasi internet—pasar penonton paling besar saat ini—dengan tema drama remaja, selain Happy Death Day. Fakta itu bisa jadi jawaban mengapa kedua film ini masuk jajaran Box Office, terbukti dari jumlah penontonnya yang 55 persen orang-orang di bawah 25 tahun. Kecuali Naked yang hanya tayang di Netflix, dan A Day yang adalah film asal Korea Selatan, Mother! juga masuk dalam jajaran Box Office dan dapat kritik bagus karena alur ceritanya serta akting Jennifer Lawrence, sang pemeran utama. A Day bahkan laris terjual untuk ditayangkan di sejumlah negara tetangga pada Festival Cannes Juli lalu.
Baca juga:Film sebagai Alat Propaganda Rezim Penguasa
Namun, tak bisa dimungkiri, selipan-selipan cerita di tengah film-film time loop memang menarik perhatian. Meski sebenarnya yang dieksplorasi dari film jenis ini hampir semua serupa, kecuali Mother!. Karakter-karakter utama di film-film time loop biasanya adalah orang-orang menyebalkan yang seolah-olah dikutuk untuk hidup di hari yang sama sampai ia mempelajari kesalahannya. Sam, tokoh utama di Before I Fall, bahkan terang-terangan menyebut apa yang menimpanya sebagai ‘neraka’, yang harus dilaluinya karena jadi orang menyebalkan dalam hidup.
Happy Death Day bukan film besar atau penting—tak ada propaganda politis yang terselip kentara dan diberi lampu sorot berlebihan. Dari bujetnya kita sudah mafhum: film ini dibikin cuma untuk hiburan. Namun, satu fakta lainnya yang membuat Happy Death Day menonjol dari deretan film yang tayang sekarang adalah karena ia membangkitkan kenangan para penggemar film slasher seperti Scream kembali lagi ke permukaan. Walau sebenarnya adegan pembunuhan di Happy Death Day sama sekali tidak basah, apalagi berlumur darah, seperti sebagaimana film-film slasher umumnya.
Rasanya hampir tak ada yang tak menangkap ‘nuansa’ Scream dari suguhan latar yang diberikan Christopher Landon, sang sutradara film ini: Pembunuh dengan topeng ikonik, latar kampus, kemunculan pembunuh yang selalu tiba-tiba, dan tangkapan humor dalam horornya.
Baca juga:Film Horor dan Kegemaran Akan Ketakutan
Tak banyak produser dan sutradara yang berani membawa genre ini kembali ke layar lebar, sejak Texas Cahinsaw, 2013 lalu, yang pendapatannya lumayan. Genre slasher kehilangan daya tariknya di mata penonton. Sorority Row (2009), My Soul to Take (2010), dan Scream 4 (2011) adalah buktinya.
Namun, dengan suguhan konsep time loop dan akting Rothe yang berhasil menggiring kejenakaan dalam film, Landon akhirnya untung besar walau dengan modal minim. Film time loop seperti alurnya yang mengulang seperti kesuksesan beberapa film sejenis sebelumnya.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra