tirto.id - Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunggu revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada untuk melarang eks koruptor mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah.
"Ya sudah sabar, kalau belum selesai [revisi] ya pakai [UU] yang ada dulu. Jangan kalau DPR belum kerja, terus dia [KPU] mau bikin [aturan] sendiri. Enak saja dia mau jadi regulator juga," kata Fahri di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (31/7/2019).
Menurut Fahri, peraturan KPU yang bisa membatasi hak warga negara seharusnya dibuat dengan dasar UU. Apabila tidak didasari UU, kata Fahri, Peraturan KPU bisa dianggap melanggar konstitusi.
"Konstitusi mengatur, kalau mau merampas hak orang harus pakai [dasar] undang-undang, jangan merampas hak orang pakai keputusan KPU, salah itu. Dia enggak punya levelnya," ujar Fahri.
KPU sudah menyatakan sedang mempertimbangkan untuk melarang eks narapidana korupsi menjadi calon kepala daerah di Pilkada Serentak 2020.
KPU berharap larangan tersebut masuk dalam revisi UU Pilkada. Sebab, jika diatur lewat Peraturan KPU (PKPU), larangan itu rentan digugat di Mahkamah Agung (MA).
Komisioner KPU Pramono Ubaid Thantowi menyatakan lembaganya belajar dari keputusan MA yang membatalkan ketentuan dalam PKPU Nomor 20 Tahun 2018 soal larangan eks koruptor maju sebagai caleg di Pemilu 2019.
"Sudah bisa diduga, dibatalkan [MA]. Itu kan problem real yang kita hadapi ke depannya," kata dia pada 30 Juli 2019 kemarin.
Oleh karena itu, menurut Pramono, idealnya dilakukan revisi terhadap UU Pilkada agar larangan eks koruptor maju ke pemilihan kepala daerah bisa dimasukkan dalam undang-undang.
Apabila tetap diatur melalui PKPU, kata Pramono, perlu ada dukungan penun dari semua partai politik dan pemerintah pusat.
"Sehingga kalau partai politik tingkat pusatnya menyetujui Peraturan KPU itu otomatis mereka tidak akan mengajukan calon-calon yang memang mantan napi koruptor, sehingga potensi digugat ke MA tidak ada," jelas Pramono.
Wacana larangan mantan koruptor untuk maju ke Pilkada muncul usai KPK menangkap Bupati Kudus Muhammad Tamzil terkait kasus suap jual-beli jabatan. Sebab, Tamzil sudah pernah jadi terpidana korupsi saat menjabat Bupati Kudus periode 2003-2008.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Addi M Idhom