Menuju konten utama

Fahri Hamzah: Pasal Penistaan Agama Jangan Jadi Pasal Karet

Menurut Fahri Hamzah, pasal penistaan agama jangan sampai jadi pasal karet karena hingga saat ini belum ada definisi yang jelas mengenai penistaan agama.

Fahri Hamzah: Pasal Penistaan Agama Jangan Jadi Pasal Karet
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fahri Hamzah. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

tirto.id - Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah mengingatkan Panitia Kerja (Panja) RUU KUHP agar pasal penistaan agama tidak menjadi pasal karet.

"Hati-hatilah soal itu. Jangan jadi pasal karet. Pasal karet jangan ada di KUHP," kata Fahri di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (2/2/2018).

Karena, menurut Fahri, pasal penistaan agama belum mempunyai definisi yang jelas mengenai penistaan agama. Sementara, menurutnya bisa menjerat para pemuka agama-agama yang memberikan ceramah di tempat ibadahnya masing-masing.

"Seperlintasan iman itu bisa jadi sesuatu yang pelik. Anda bicara kalau di dalam masjid pasti bicara iman, kalau bicara iman Anda pasti bicara iman kita yang benar. Kalau iman kita yang benar pasti iman orang lain salah," kata Fahri.

Sehingga, kata Fahri, harus jelas makna dan batasan-batasan seseorang dapat dikatakan menistakan agama. Ia tak ingin pasal ini menjadikan seorang pemeluk agama takut untuk berpikir dan berpendapat.

"Jadi ini tolong ini diatur secara lebih teliti. Jangan jadi pasal karet yang menjerat semua orang yang berpikir, semua orang berinovasi, yang dalam agama disebut sebagai mujtahid kemudian jadi korban," kata Fahri.

Ada pun pasal penistaan agama dalam RUU KUHP termuat dalam pasal 348, 349 dan 350. Ketiga pasal ini merupakan perluasan dari pasal 156a tentang penistaan agama di UU KUHP lama.

Kemarin, Kamis (1/2/2018) Direktur Remotivi, Muhammad Heychael, menilai pasal tentang penistaan agama tidak perlu karena tumpang tindih dengan pasal UU ITE. Tumpang tindih ini tampak pada pasal 349 ayat (1) RUU KUHP dan pasal 28 ayat 2 UU ITE.

Pasal 349 ayat (1) RUU KUHP berbunyi: "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, menempelkan tulisan atau gambar, atau memperdengarkan suatu rekaman, termasuk menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 348, dengan maksud agar isi tulisan, gambar atau rekaman tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun (..)".

Pasal 28 ayat 2 UU ITE berbunyi: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”

"Saya kira inilah masalah hukum kita. Banyak Produk hukum tumpang tindih," kata Heychael kepada Tirto, Kamis (1/2/2018).

Heychael menilai pasal penistaan agama di RUU KUHP berpeluang multitafsir lantaran tidak ada definisi yang jelas mengenai penistaan agama, sehingga berpotensi digunakan oleh siapa saja yang merasa sakit hati karena sebuah pendapat. “Berpotensi membungkam kebebasan berekspresi,” kata Heychael.

Baca juga artikel terkait RUU KUHP atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Hukum
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Yantina Debora