tirto.id - Penerapan strategi herd immunity untuk menghambat penyebaran virus corona jenis baru penyebab corona COVID-19 saat ini menjadi kontroversi di tengah-tengah masyarakat.
Herd immunity atau yang dikenal sebagai kekebalan kelompok merupakan kondisi ketika suatu kelompok atau populasi manusia kebal atau resisten terhadap penyebaran suatu penyakit infeksi.
Untuk mencapai kekebalan kelompok tersebut, sebagian besar populasi harus memiliki kekebalan terhadap suatu penyakit. Dengan begitu, mayoritas populasi yang telah kebal akan dapat melindungi sebagian kecil masyarakat yang belum memiliki kekebalan, misalnya karena terdapat kontraindikasi dilakukannya tindakan vaksinasi.
Dosen sekaligus peneliti virus Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM Mohamad Saifudin Hakim menjelaskan bahwa herd immunity dengan infeksi secara alami sangatlah berisiko. Tidak hanya menyebabkan terjadinya sakit atau penyakit, tetapi individu yang terkena infeksi alami juga berpotensi menjadi agen penularan.
Kondisi tersebut akan semakin memakan banyak korban jiwa sampai pada tahap penularan dapat berhenti setelah individu yang tersisa dapat bertahan hidup dan memiliki kekebalan.
"Jadi ada 2 cara untuk membentuk herd immunity, yakni terinfeksi virus atau bakteri secara alami atau dengan vaksinasi," terangnya.
Sementara itu, dalam kasus COVID-19, belum ada kepastian apakah kekebalan yang didapat secara alami terhadap SARS-CoV-2 benar-benar dapat melindungi seseorang dalam jangka waktu yang lama atau tidak akan terinfeksi kembali.
Menurutnya, herd immunity melalui vaksinasi akan jauh lebih aman dibandingkan dengan infeksi secara alami. Sebab, vaksin telah didesain sedemikian rupa baik dari komponen virus atau virus yang dilemahkan untuk dapat merangsang terbentuknya kekebalan tubuh namun tidak menimbulkan sakit atau penyakit.
Di samping itu, vaksinasi tidak menyebabkan seorang individu menjadi infeksius atau dapat menular karena bahan vaksin hanya dibuat dari partikel virus (salah satu bagian anggota tubuh virus) atau virus hidup yang dilemahkan yang dihilangkan potensi atau gen penularannya.
Cara vaksinasi ini juga telah dikaji melalui ribuan penelitian di seluruh dunia dan hanya menimbulkan efek samping yang minimal bagi tubuh yang telah diketahui dan bisa diantisipasi oleh petugas kesehatan terlatih.
"Sayangnya, untuk kondisi sekarang ini, vaksin masih agak jauh tahap pengembangannya untuk bisa secara efektif mengatasi COVID-19," terang dosen Departemen Mikrobiologi FKKMK UGM ini.
Oleh karena itu, Hakim menekankan bahwa konsep herd immunity tidak boleh diterapkan atau menjadi tujuan dalam menanggulangi wabah COVID-19, yang infeksinya masih menyebar dengan liar. Masyarakat tidak boleh dibiarkan bebas begitu saja seperti kondisi sebelum ada wabah.
"Pemerintah harus tetap menerapkan aturan secara ketat seperti menganjurkan tetap memakai masker saat berkegiatan di luar rumah, jaga jarak, menjaga kebersihan dengan mencuci tangan, menghindari kerumunan massa, membatasi aktivitas sosial, melakukan isolasi dan karantina bagi yang terpapar virus dan lainnya," terang Hakim.
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Agung DH