Menuju konten utama

Empat Alasan Anies Diminta Harus Batalkan Izin Reklamasi Ancol

Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ) menyebutkan empat alasan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan harus menghentikan reklamasi Ancol.

Empat Alasan Anies Diminta Harus Batalkan Izin Reklamasi Ancol
Massa yang tergabung dalam Gerakan Nasional Tolak Reklamasi (Gentar) Jakarta menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung Balai Kota, Jakarta, Rabu (8/7/2020). ANTARA FOTO/Galih Pradipta.

tirto.id -

Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ) menyebutkan empat alasan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan harus menghentikan reklamasi Ancol.

Mereka menilai penerbitan Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 237 Tahun 2020 tentang Izin Perluasan Kawasan Dufan Seluas 35 Hektar dan Kawasan Ancol Timur Seluas 120 Hektar bermasalah.

"Koalisi menilai penerbitan izin tersebut sarat dengan masalah," kata anggota KNTJ, Tubagus melalui keterangan tertulisnya, Selasa (14/7/2020).

Sejumlah lembaga yang tergabung dalam KSTJ yaitu KNT Muara Angke, WALHI Jakarta, LBH Jakarta, Solidaritas Perempuan, ICEL, RUJAK, dan Perkumpulan MARE.

Karena sarat dengan masalah, Tubagus yang juga menjabat sebagai Direktur WALHI Jakarta meminta agar Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk membatalkan izin tersebut.

Pertama, Pemprov DKI seperti berupaya mengelabui publik dengan menerbitkan izin reklamasi secara diam-diam pada Februari 2020 lalu dan menyatakan bahwa proyek tersebut bukan merupakan reklamasi.

Padahal, jika merujuk pada ketentuan Undang-undang (UU) Nomor 27 Tahun 2007 jo UU 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, perluasan wilayah Ancol dengan mengonversi wilayah laut pesisir menjadi daratan jelas merupakan reklamasi yang diatur dalam peraturan tersebut.

Kemudian, Pemprov DKI Jakarta dengan sengaja melanggar ketemuan UU Pesisir dan Pulau Kecil dan juga Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Karena tidak memasukkannya sebagai dasar hukum penerbitan izin dalam bagian menimbang.

Pemprov DKI juga melanggar ketentuan reklamasi di dalamnya, sebab tidak didasarkan pada Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K). Pasalnya, kesesuaian dengan Perda RZWP3K merupakan syarat untuk dapat terbitnya izin pelaksanaan reklamasi.

Dikarenakan tidak adanya dasar hukum perencanaan ruang tersebut, patut diduga adanya pelanggaran pidana tata ruang sebagaimana diatur dalam Pasal 73 UU 26/2007 tentang Penataan Ruang. Sanksi pidana tersebut dapat berupa penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp500 juta.

"Serta pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya," ucapnya.

Selanjutnya, Tubagus menilai tiadanya izin lingkungan dalam kegiatan penimbunan lumpur yang telah berjalan sejak 2009 sebagaimana diatur dalam Pasal 109 UU 32/2009 tentang Lingkungan Hidup. Sehingga diduga kuat tidak memenuhi syarat administrasi formil maupun substansial terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan.

Beberapa kewajiban persyaratan yang diatur seperti Kajian Lingkungan Hidup Strategis, Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Surat Kelayakan Lingkungan Hidup, dan Izin Lingkungan ataupun rencana induk reklamasi harus dipenuhi sebelum penerbitan izin pelaksanaan tersebut keluar.

"Namun, beberapa kewajiban lingkungan tersebut justru baru diamanatkan dalam Kepgub 237/2020 yang dikeluarkan Anies," tuturnya.

Terakhir, menurutnya, reklamasi Ancol sebagai bentuk perampasan laut berupa konversi kawasan perairan yang merupakan milik bersama publik, menjadi konversi dalam bentuk komersialisasi ruang pesisir yang akan merugikan nelayan tradisional dan merusak lingkungan hidup.

Sudah berkali-kali koalisi sampaikan bahwa reklamasi di teluk Jakarta akan menghilangkan wilayah tangkap nelayan tradisional yang dapat berujung pengurangan pendapatan atau bahkan hilangnya mata pencaharian. Berbagai penelitian juga telah banyak menunjukkan dampak buruk reklamasi bagi ekosistem teluk Jakarta.

Koalisi pun sebelumnya juga telah melakukan upaya gugatan terhadap reklamasi Pulau I dan Pulau K atas dasar terganggunya wilayah nelayan karena kawasan tersebut adalah satu kesatuan ekosistem teluk Jakarta.

"Mengorbankan kepentingan nelayan untuk tujuan komersil di wilayah pesisir jelas bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3 Tahun 2010," pungkasnya.

Koalisi memandang hasil penimbunan lanah dari pengerukan sedimentasi sebaiknya digunakan untuk penanaman mangrove dan perbaikan ekosistem mitigasi bencana lainnya. Sebab, DKI Jakarta terutama Jakarta Utara sebagai wilayah pesisir terancam tenggelam karena penurunan muka tanah dan kenaikan air laut.

"Dengan pelaksanaan reklamasi ini jelas Pemprov DKI Jakarta tidak melakukan strategi mitigasi bencana pesisir," imbuhnya.

Selain itu, koalisi juga menilai penertiban izin tersebut kembali menunjukkan bahwa Anies melanggar janji kampanyenya yang akan membatalkan reklamasi di Teluk Jakarta. Maka Koalisi meminta Anies untuk konsisten dengan janji politiknya dengan tidak melakukan reklamasi di teluk Jakarta dengan dalih apapun.

"Kami juga meminta Anies berkomitmen terhadap pemulihan lingkungan hidup di teluk Jakarta," tegas dia.

Baca juga artikel terkait REKLAMASI ANCOL atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Maya Saputri