Menuju konten utama

Embargo dari Saudi dan Masa Depan Piala Dunia 2022 Qatar

Qatar merancang jauh-jauh hari agar Piala Dunia 2022 disinkronkan dengan kebijakan jangka panjang politik regional mereka. Namun, semua itu buyar setelah Saudi memutuskan hubungan diplomatik.

Embargo dari Saudi dan Masa Depan Piala Dunia 2022 Qatar
Khalifa international stadium. foto/shutterstock

tirto.id - Kebijakan Arab Saudi dan sekutunya untuk mengisolir Qatar membuat rencana Piala Dunia 2022 yang digelar di Qatar menjadi suram. Tidak hanya memutus hubungan diplomatik, Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Bahrain juga telah menutup rute darat dan laut menuju Qatar.

Masalah ini berdampak vital pada terganggunya pembangunan infrastruktur Piala Dunia yang bernilai bernilai miliaran dolar. Demi menyambut Piala Dunia 2022, Qatar membangun sembilan stadion, puluhan hotel dan ratusan kilometer jalan. Tak tanggung-tanggung, Qatar bahkan membangun sebuah kota baru, namanya Lusail, 23 kilometer dari Doha.

Pembangunan infrastruktur besar-besaran ini membuat Qatar diserbu para buruh asing yang bekerja di berbagai proyek. Total ada lebih dari 250 ribu buruh di Qatar demi memuluskan proyek Piala Dunia 2022. Angka ini sama dengan 1/8 penduduk Qatar yang berjumlah 2 juta jiwa.

Blokade yang dilakukan Saudi, Bahrain dan UEA membikin Qatar kini terkurung. Perbatasan dengan Arab Saudi adalah satu-satunya jalan darat menuju negara tersebut. Di sisi lain Qatar mengandalkan pelabuhan laut untuk menyuplai logistik dari luar Timur Tengah.

"Komite tertinggi" yang bertanggung jawab untuk membangun fasilitas Piala Dunia 2022 sampai kini belum mengeluarkan pernyataan soal masalah ini. Namun, dikutip dari The Guardian, seorang sumber kerajaan mengakui kasus ini jadi ancaman serius yang berpotensi membatalkan Piala Dunia 2022 Qatar. Kata dia, kasus ini lebih besar ketimbang permasalahan pada 2010, ketika Qatar diberitakan menyuap agar menang dalam bidding tuan rumah Piala Dunia 2022.

Lembaga otoritas sepakbola tertinggi FIFA masih bungkam enggan menanggapi. "(FIFA) melakukan kontak secara reguler dengan Panitia Penyelenggara Qatar 2022 dan Supreme Committee for Delivery and Legacy untuk menangani masalah terkait Piala Dunia 2022. Tidak ada komentar lain yang kami keluarkan saat ini," ucap FIFA dikutip dari ABC.

Penyelenggaraan Piala Dunia 2022 masih 5 tahun lagi, namun jika konflik ini tidak mereda dalam 1-2 tahun terakhir, maka pembangunan konstruksi akan molor. Nasser Al-Khater, seorang tokoh senior badan penyelenggara Piala Dunia Qatar, baru-baru ini mengklaim bahwa 1,3 juta penggemar sepakbola akan mengunjungi Doha pada 2022, mayoritas dari Teluk dan "terutama dari Arab Saudi".

Sejak dipilih secara kontroversial oleh FIFA pada 2010 sebagai tuan rumah, Qatar mempertahankannya sebagai negara yang "aman" secara politik.

Qatar adalah sebuah negara kaya kecil yang berusaha menjadi pesaing utama raksasa timur tengah, Arab Saudi. Kendati sama-sama menganut paham Wahabisme, Qatar selalu berupaya lebih liberal dan tidak konservatif.

"Saya menganggap diriku wahabi yang baik, dan masih bisa menjadi modern. Mau membuka pemahaman Islam secara terbuka karena kami memperhitungkan perubahan dunia, dan tidak memiliki mentalitas pemikiran tertutup sebagaimana yang dilakukan di Arab Saudi sana," sindir Abdelhameed Al Ansari, salah seorang dekan di Qatar University of Syariah kepada The Wall Street Journal pada 2002.

Dogma konservatif Wahabi ala Arab Saudi memang sudah habis terkikis di Qatar. Dibandingkan dengan negara-negara lainnya di semenanjung Arab, Qatar memang dikenal lebih liberal dan sekuler.

Bayangan cermin negara-negara wahabi dengan ulama yang konservatif, pembatasan ruang gerak perempuan, segregasi gender yang mutlak (melarang gay dan lesbian), pelarangan terhadap alkohol dan rumah ibadah bagi para penganut agama lain tak terjadi di Qatar. Mereka membuka selebar-lebarnya kran pada barat dan dunia.

Di sisi lain, Qatar pun menjalin hubungan mesra dengan kelompok-kelompok Islam yang dibenci negara teluk seperti: Ikhwanul Muslimin dan Hamas. Bagi Saudi, UEA dan Bahrain, Ikhwanul Muslimin adalah ancaman keras bagi sistem monarki mereka. Poin dukungan pada IM ini juga yang membuat Saudi menjatuhkan sanksi dan mencabut hubungan diplomatik.

Salah seorang pengamat sepakbola Timur Tengah, James M. Dorsey, memaparkan konklusi menarik tentang motif lain Qatar, dan hal ini tak jauh-jauh dari urusan politis yaitu untuk keamanan-pertahanan dalam negeri mereka.

Letak geografi Qatar diapit dua seteru Arab Saudi dan Iran membuat Qatar meski berpihak. Di sisi lain, Qatar ingin melepaskan diri dari bayang-bayang Arab Saudi.

Meski memiliki militer yang super canggih, Qatar merasa tak akan pernah mampu untuk mempertahankan diri saat perang terjadi. Invasi Irak ke Kuwait pada 1990 pun memberikan dua pelajaran pada Qatar: Arab Saudi sebagai polisi saudara tua bukanlah penjamin yang bisa diandalkan dan keyakinan untuk menggantungkan diri pada Amerika Serikat pun dipertanyakan.

Dalam Perang Teluk jilid satu itu, bukan Amerika yang membantu Kuwait, namun koalisi internasional. Tanpa memiliki soft power di dunia internasional itu, Kuwait mungkin hari ini sudah binasa. Kini, soft power ini yang coba direbut Qatar lewat dunia olahraga dan sepakbola. Namun, strategi pertahanan diri itu terancam gagal oleh kebijakan Saudi.

Baca juga artikel terkait QATAR atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Politik
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Aqwam Fiazmi Hanifan