tirto.id - Pada 1987, Lottie Dod, petenis wanita asal Inggris, pernah menulis catatan tentang busana ideal untuk bertanding. Menurut Dod, panjang busana seharusnya sampai di mata kaki. Bagian belakang harus dibuat lebih pendek agar pemakai tidak mudah terjatuh saat berlari mundur untuk mengejar bola. Saat itu Dod masih berusia awal 20-an, tetapi sudah jadi atlet wanita termuda yang memenangkan Wimbledon. Ia juga menjadi aktivis yang memperjuangkan kelayakan busana bagi atlet wanita.
Pada masa itu, kostum tenis bagi wanita dewasa masih terpengaruh oleh busana formal. Panjang rok terusan menutupi sepatu. Dikenakan lengkap dengan korset dan bustle, rangka rok yang membuat bagian bokong nampak menonjol. Bedanya dengan busana sehari-hari, baju pertandingan harus berwarna putih agar tidak nampak basah ketika berkeringat.
Alasan lain pemilihan warna putih di pertandingan Wimbledon ialah anggapan bahwa warna tersebut mewakili kalangan elite. Busana putih butuh perawatan khusus agar tetap jadi putih bersih . Pada abad pertengahan, tidak ada kaum buruh dan pekerja berbusana putih. Warna baju itu digunakan oleh kaum menengah – salah satunya untuk bermain tenis, olahraga yang dicap sebagai cara kaum elite mengisi waktu luang. Sebelum resmi jadi salah satu bidang olahraga, tenis memang permainan yang dilakukan oleh raja, pemuka agama, dan kaum bangsawan di Perancis dan Inggris.
Awalnya tenis dimainkan di dalam ruangan. Pada tahun 1873, seorang anggota komunitas tenis di Inggris mengusulkan ide untuk bermain di luar ruangan. Ide itu diwujudkan dan jadi populer. Empat tahun kemudian, komunitas tenis tersebut sepakat mengadakan Wimbledon, kompetisi untuk menggalang dana bagi perawatan lapangan terbuka. Acara tersebut lantas jadi ajang tahunan yang diselenggarakan sampai sekarang. Citra Wimbledon berubah drastis, dari aksi penggalangan dana menjadi salah satu pertandingan tenis paling prestisius di dunia. Satu yang tidak berubah, aturan memakai kostum warna putih.
Aturan berbusana putih ini diresmikan pada tahun 1890. Panitia Wimbledon terbilang cukup disiplin soal warna baju. Situs resmi pertandingan ini memuat sembilan poin ketentuan berbusana. Ada ketentuan yang menyebut ukuran maksimum bila petenis ingin mengaplikasikan warna lain pada baju olahraga. Lebarnya tidak boleh lebih dari satu centimeter. Selain itu, aksesori dan pakaian dalam harus berwarna putih. Panitia tidak mentolerir warna putih gading atau krem.
Venus Williams pernah ditegur karena mengenakan pakaian dalam berwarna merah muda. Pakaian tersebut tidak sengaja terlihat saat ia menggerakkan tangan. Di tengah pertandingan, ia mengganti pakaian dalamnya. Kenyataannya, perhatian penyelenggara dan pemain Wimbledon tidak hanya tentang warna busana. Pada tahun 1949, Gertrude ‘Gussie’ Moran diprotes lantaran mengenakan rok pendek dan celana dalam bermotif renda. Panitia acara menganggap busana tersebut “vulgar dan menodai pertandingan tenis”.
Padahal Moran hanya ingin tampil dalam busana feminim yang memudahkan mobilitasnya. Busana itu dibuat Teddy Tinling, mantan petenis dan host Wimbledon yang juga berprofesi sebagai desainer busana. Tinling mendesain atasan dari sutra dan rok mini. Pemberitaan tentang pakaian dalam Gussie lebih populer ketimbang performa atlet yang masuk ke babak perempat final Wimbledon. Setahun kemudian, Wimbledon melarang penggunaan terusan mini di pertandingan.
Aturan tentang bentuk busana itu seperti angin lalu. Tahun 1960-an, saat subkultur Mod sedang marak-maraknya, Tinling membuat terusan yang nampak seperti setelan blus pendek tanpa lengan dan rok mini. Tinling menyambung dua potongan busana itu dengan plastik. Pada tahun 1970-an, muncul terusan mini dengan detail bordir pada bagian bawah terusan.
Pada tahun 1980an, petenis Pam Shriver protes setelah melihat lawan mainnya, Anne White, tampil menggunakan bodysuit putih. Shriver merasa sangat terganggu dengan baju White. “Pertandingan saya dimulai jam sembilan malam. Udara cukup dingin. Bodysuit menghangatkan tubuh saya dan memudahkan gerak saya,” kata White.
Bodysuit itu membuat White jadi terkenal dan menyepakati kontrak kerja dengan sejumlah lini perusahaan retail. Akhir bulan lalu, petenis Serena Williams tampil dalam pertandingan French Open mengenakan bodysuit berwarna hitam. Serupa dengan yang White kenakan. Bagi Serena, busana tersebut memperlancar sirkulasi darah dalam tubuh.
Dari tahun ke tahun lapangan tenis Wimbledon jadi tempat para atlet wanita memeragakan ragam model busana. Keberanian mereka terinspirasi dari Suzzane Lenglen, petenis yang populer pada tahun 1920an. Ia berani mengganti korset dan rok megar dengan terusan katun tanpa lengan dengan panjang setengah lutut.
Sejak saat itu, rok petenis wanita Wimbledon semakin lama semakin pendek dan ketat. Eksplorasi terus dilakukan. Selain bodysuit, muncul busana berupa setelan celana pendek dan polo shirt yang terinspirasi dari busana petenis pria. Ana Kurnikova dan Maria Sharapova pernah tanding dengan mengenakan celana. Serena sempat mengenakan mini coat saat masuk ke area pertandingan. Venus memakai jumpsuit pendek pada pertandingan tahun 2011. Gaya busana mereka tidak bebas dari protes. Panitia Wimbledon akhirnya tetap memperbolehkan para atlet bertanding selama masih memprioritaskan warna putih. Tentu saja, Wimbledon tidak ingin kehilangan kesan elitenya.
Tapi elitisme dalam kostum di dunia tenis perlahan digoyang. Bukan oleh orang luar, melainkan oleh salah satu atlet terbaiknya, Serena Williams. Peraih 39 gelar juara Grand Slam ini membuat kehebohan di jagat tenis. Dalam ajang French Open, Serena tampil dengan bodysuit terusan warna hitam berlengan pendek dengan aksen warna merah di bagian perut. Dalam wawancara dengan Sports Illustrated, alasan pertama ia mengenakan kostum terusan ketat itu adalah untuk memperlancar aliran darah.
Alasan kedua adalah, ia ingin mengirim pesan ke seluruh dunia, tentang pentingnya rasa percaya diri dan kuatnya seorang ibu —ia terjun ke French Open sembilan bulan setelah melahirkan seorang putri.
“Aku merasa kostum ini melambangkan apa yang sudah dilalui para perempuan, baik secara mental maupun fisik. Aku merasa ini adalah kesempatanku untuk menginspirasi kelompok perempuan lain yang mengagumkan, dan juga kelompok anak-anak,” kata Serena yang mengatakan bahwa kostum ini terpengaruh dari film Black Panther.
Kostum ini jadi perbicangan karena tak lazim —sudahlah memakai terusan, warnanya hitam pula. Tapi apa yang dipakai oleh Serena memang merupakan pembangkangan penting dalam dunia tenis. Rok sama sekali tak menentukan performa petenis, apalagi warnanya. Seorang atlet seharusnya memang memegang prinsip Serena: pakailah apa yang membuatmu nyaman.
Maka tinggal tunggu saja, apakah Wimbledon akan mulai melonggarkan aturan warna putihnya, atau mereka akan tetap bertahan dalam elitisme yang sudah berjalan ratusan tahun itu.
Editor: Nuran Wibisono