Menuju konten utama

Eks Koruptor Irman Gusman Jadi Anggota DPD, Pemilih Tutup mata?

Menurut peneliti SAKSI, Herdiansyah Hamzah, mantan koruptor harusnya disingkirkan dari politik karena mereka pada dasarnya sudah gagal menjalankan amanah.

Eks Koruptor Irman Gusman Jadi Anggota DPD, Pemilih Tutup mata?
Terpidana kasus suap kuota pembelian gula impor di Perum Bulog Irman Gusman selaku pemohon mengikuti sidang peninjauan kembali (PK) di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (17/10/2018). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/pras.

tirto.id - Eks terpidana kasus korupsi, Irman Gusman, dinyatakan lolos sebagai Anggota DPD RI berdasarkan hasil pemungutan suara ulang Pileg 2024 DPD RI untuk Dapil Sumatra Barat (Sumbar).

Keputusan tersebut ditetapkan berdasarkan hasil rekapitulasi Pileg 2024 untuk DPD RI Dapil Sumatra Barat yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI pada Minggu (28/7/2024).

Irman sempat terciduk saat operasi tangkap tangan KPK pada 2016 atas dugaan korupsi terkait pengurusan kuota impor gula. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 20 Februari 2017 memvonis Irman bersalah dengan hukuman 4,5 tahun penjara.

Irman keluar dari penjara pada 26 September 2019 setelah Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Irman sehingga mengurangi masa hukumannya jadi 3 tahun penjara.

Nama Irman sempat masuk daftar calon sementara (DCS) untuk pemilihan calon anggota DPD 2024 dapil Sumbar. Namun menghilang saat verifikasi ulang pada 3 November 2023 lalu. Alasannya KPU menilai Irman tidak memenuhi syarat karena belum melewati masa jeda lima tahun usai menjalani hukuman.

Setelah merasa keberatan, Irman Gusman akhirnya menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang akhirnya memerintahkan KPU untuk menyertakannya dalam pemungutan suara ulang di DPD RI Sumbar.

Ironisnya ia justru terpilih dan mendapat suara cukup signifikan. Dalam hasil rekapitulasi, Irman Gusman memperoleh 176.987 suara. Perolehan ini menempatkan Irman Gusman di urutan keempat sebagai Caleg DPD RI dari Dapil Sumatra Barat.

Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Lalu Hendri Bagus, menilai situasi hari ini masih banyak pemilih yang tidak sepenuhnya memahami dampak korupsi terhadap kehidupan mereka dan bagaimana merusak sistem pemerintahan serta pelayanan publik. Apalagi jika mantan napi tersebut cukup populer dan memiliki modal dan pengaruh, maka masih sangat mudah mendapatkan dukungan.

“Hal ini menunjukkan adanya budaya yang berkembang di mana masyarakat kita yang lebih toleran terhadap tindakan korupsi,” ujar Lalu kepada Tirto, Senin (29/7/2024).

PEMBACAAN NOTA PEMBELAAN IRMAN GUSMAN

Mantan Ketua DPD Irman Gusman bersiap menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (8/2). Sidang kasus suap terkait kepengurusan kuota impor gula tersebut beragendakan pembacaan nota pembelaan atau pledoi yang dibacakan oleh Irman Gusman dan penasihat hukumnya. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A./aww/17.

Jika melihat fenomena tersebut, kata Lalu, tentu sangat mencerminkan kondisi Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia yang turun pada 2024 menjadi 3,85 dari sebelumnya di 2023 sebesar 3,92.

IPAK merupakan ukuran yang mencerminkan perilaku antikorupsi masyarakat yang diukur dengan skala 0-5. Semakin tinggi nilai IPAK, maka semakin tinggi budaya antikorupsi, dan semakin rendah nilai IPAK, maka masyarakat semakin permisif atau menoleransi perilaku korupsi.

IPAK dibentuk dari dua dimensi, yakni persepsi dan pengalaman. Keduanya kompak mengalami penurunan. Dimensi persepsi tercatat sebesar 3,76, turun 0,06 poin dibandingkan 2023 yang sebesar 3,82. Sedangkan dimensi pengalaman tercatat sebesar 3,89, turun 0,07 poin dari 2023 yang sebesar 3,96.

Turunnya dimensi persepsi menunjukkan semakin sedikit masyarakat yang menganggap perilaku korupsi sebagai sesuatu yang tidak wajar. Sedangkan turunnya indeks dimensi pengalaman mencerminkan bahwa masyarakat yang mengalami pengalaman terkait petty corruption alias korupsi kecil-kecilan relatif lebih banyak.

“Bagaimana masyarakat kita masih sangat permisif terhadap korupsi. Banyak pemilih yang tidak sepenuhnya memahami dampak korupsi terhadap kehidupan mereka,” ujar Lalu.

Di luar itu, ketiadaan pengumuman status terpidana korupsi dalam DCS menyulitkan masyarakat untuk berpartisipasi memberikan masukan dan tanggapan terhadap DCS secara maksimal. Terlebih, informasi mengenai daftar riwayat hidup para bakal caleg juga tidak disampaikan melalui laman KPU.

Jika pada akhirnya para mantan terpidana korupsi tersebut lolos dan ditetapkan dalam daftar calon tetap (DCT), tentu probabilitas masyarakat memilih calon yang bersih dan berintegritas akan semakin kecil.

Aturan PKPU Masih Buka Ruang Bagi Eks Koruptor

Di luar masyarakat yang semakin premisif terhadap eks terpidana korupsi, regulasi PKPU juga dinilai belum tegas melarang mantan terpidana korupsi untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Ini jelas menunjukkan kelemahan dalam upaya memberantas korupsi politik.

“Putusan MA membatalkan aturan di dalam PKPU 20/2018 yang melarang mantan narapidana korupsi untuk mencalonkan diri dalam pemilu legislatif, tentu saja bikin celah mantan narapidana korupsi bisa mencalonkan diri setelah menjalani masa hukuman dan memenuhi persyaratan tertentu,” jelas dia.

PKPU itu menjadi polemik karena memuat ketentuan Pasal 4 Ayat (3) tentang larangan bagi eks narapidana korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual pada anak menjadi calon legislatif (caleg).

Saat itu pemerintah, DPR, dan KPU bersepakat bahwa mantan narapidana kasus korupsi, bandar narkoba, dan pelaku kejahatan seksual terhadap anak dipersilakan mendaftar menjadi bakal caleg.

IRMAN GUSMAN DITUNTUT 7 TAHUN PENJARA

Mantan Ketua DPD Irman Gusman (kedua kanan) meninggalkan ruangan usai mengikuti sidang pembacaan tuntutan kasus suap impor gula di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (1/2). Irman Gusman dituntut tujuh tahun penjara, denda Rp200 juta subsider lima bulan kurungan ditambah pencabutan hak politik selama tiga tahun karena dinilai terbukti menerima Rp100 juta dari pemilik CV Semesta Berjaya. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/aww/17.

Pemberian kesempatan itu disertai catatan, bahwa pihak-pihak yang menolak ketentuan dalam PKPU 20/2018 bisa mengajukan gugatan uji materi ke Mahkamah Agung (MA). Keputusan MA akan menjadi penentu kelolosan nama-nama bakal caleg yang dilarang mendaftar berdasar aturan di PKPU 20/2018 dalam proses verifikasi.

Sementara dalam PKPU baru Nomor 10 Tahun 2023 dan 11 Tahun 2023 mengatur mantan terpidana korupsi yang sudah menyelesaikan masa hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik, bisa menjadi calon anggota legislatif tanpa harus menunggu masa jeda lima tahun usai bebas.

Keputusan ini, kata Lalu, jelas membuat khawatirkan atau sama saja memberikan ruang bagi mantan narapidana korupsi untuk kembali mencalonkan diri dan jelas saat ini sudah terjadi. Secara langsung hal-hal semacam ini, menurutnya, melemahkan upaya membangun integritas dalam sistem politik.

“Dalam kasus Irman Gusman ini kan KPU awalnya menilai tidak memenuhi syarat karena belum melewati masa jeda lima tahun usai menjalani hukuman, kemudian digugat Irman ke MK yang akhirnya memerintahkan KPU untuk menyertakannya dalam pemungutan suara ulang di DPD RI Sumbar. Dan hasilnya terpilih” terangnya.

Peneliti Pusat Studi Anti-Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menambahkan secara aturan memang jelas, mantan narapidana korupsi hanya boleh berpolitik setelah menjalani masa hukuman pidananya ditambah lima tahun masa cooling down atau masa tenang. Tapi di luar itu, partai politik harusnya juga ketat dalam menyaring orang-orang terbaik.

“Mantan koruptor harusnya disingkirkan, karena mereka pada dasarnya sudah gagal menjalankan amanah,” ujarnya kepada Tirto, Senin (29/7/2024).

Baca juga artikel terkait IRMAN GUSMAN atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Hukum
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Irfan Teguh Pribadi