tirto.id - Nilai tukar rupiah masih melanjutkan tren pelemahan. Berdasar data Bloomberg pada pukul 09.20 WIB, mata uang Indonesia tersebut berada di level Rp16.476 per dolar Amerika Serikat (AS). Nilai itu turun 25 poin atau 0,15 persen dari nilai di penutupan perdagangan Kamis (20/6/2024) yang sebesar Rp16.430 per dolar AS.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abdul Manap Pulungan, mengungkap bahwa salah satu penyebab rupiah tidak bisa perkasa adalah karena banyak eksportir yang “memarkirkan” devisa hasil ekspor (DHE) di negara tetangga, Singapura.
Kondisi ini lantas membuat cadangan devisa di Bank Indonesia (BI) tipis. Pada Mei lalu, posisi cadangan devisa BI hanya mencapai US$136,2 miliar atau setara dengan 6,3 bulan impor.
“Eksportir itu sangat nyaman di sana. Karena ketersediaan valas sangat besar, jadi dia tidak akan mengalami permasalahan valas dan akan lebih stabil di sana nilai tukarnya. Ketika dia melakukan ekspor-impor, dia tidak akan terganggu karena kalau di dalam negeri lebih rentan terdepresiasi,” jelas Abdul saat dihubungi Tirto, Jumat (21/6/2024).
Banyaknya pengusaha yang menyimpan DHE di Singapura terlihat dari tingginya pasokan valas negara itu. Pada Mei 2024, cadangan devisa Singapura mencapai US$355,7 miliar.
Padahal, untuk memperkuat rupiah, BI harus mempertebal cadangan devisa sehingga dapat mengintervensi pasar. Pada saat yang sama, pemerintah juga perlu mengupayakan agar devisa hasil ekspor yang ada di luar negeri masuk seluruhnya ke Indonesia.
“Agar cadangan devisa kita menumpuk dan banyak. Ekspor kita tumbuh signifikan, tapi duitnya enggak masuk ke Indonesia. Kenapa rupiah sangat rentan terdepresiasi? Karena tidak banyak cadangan devisa yang dimiliki BI untuk mengintervensi di pasar,” lanjut Abdul.
Saat ini, pemerintah memang telah mewajibkan agar devisa hasil ekspor ditempatkan seluruhnya di Indonesia. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2023 telah mewajibkan eksportir menempatkan DHE di Indonesia minimal tiga bulan dengan nilai paling kecil 30 persen dari total nilai ekspor.
Selain itu, untuk meningkatkan kepatuhan para pengusaha, pemerintah juga sudah memberikan insentif pajak penghasilan (PPh) final. Insentif tersebut diberikan khususnya kepada eksportir barang-barang kategori sumber daya alam (SDA).
Sayangnya, menurut Abdul, aturan tersebut belum juga efektif untuk membuat eksportir memarkirkan uangnya di Tanah Air.
“Dolarnya di sana lebih banyak, jadi pengusaha tidak akan serta-merta mau masukin [DHE] ke sini. Harusnya pengusaha dipaksa biar masuk. Kalau tidak mau masukin, cabut aja izinnya. Itu kekayaan negara, hanya pengusahanya dikasih hak untuk mengelola,” tegas Abdul.
Sementara itu, ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menilai bahwa salah satu faktor yang memengaruhi pelemahan rupiah adalah kabar bahwa presiden terpilih Prabowo Subianto akan menaikkan porsi utang Indonesia hingga 50 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Kemudian, kebijakan belanja pemerintahan selanjutnya juga dikhawatirkan akan lebih ekspansif sehingga membuat defisit meningkat tajam.
“Kekhawatiran ini juga terefleksi dari kenaikan yield obligasi 10 tahun sebesar 21 bps (basis poin) ke level 7,13 persen di tengah kondisi ketidakpastian pasar keuangan global,” ujar Josua kepada Tirto.
Sebagai solusi jangka pendek, Josua menyarankan agar BI terus melakukan intervensi di pasar valuta asing (valas). Sementara untuk jangka menengah, BI perlu menggalakkan lagi kebijakan DHE dan terus melakukan pendalaman pasar keuangan Indonesia.
Untuk jangka panjang, menurut Josua, pemerintah perlu mendorong diversifikasi ekspor agar ekspor nasional tidak didominasi oleh komoditas yang harganya cenderung fluktuatif.
“Diversifikasi tujuan ekspor agar tidak terlalu bergantung pada pasar beberapa negara saja, diversifikasi impor agar kebutuhan input impor menurun, meningkatkan peran industri pariwisata sebagai sumber penerimaan valas, dan terus meningkatkan FDI akan ketergantungan pada ‘hot money’ atau investasi portofolio asing menurun,” jelas Josua.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi