tirto.id - Arswendo Atmowiloto meninggal dunia pada Jumat (19/7/2019) di Jakarta dalam usia 70 tahun. Sejarah hidup seniman legendaris ini kerap diiringi kontroversi, termasuk ketika Arswendo dibui lantaran hasil survei Tabloid Monitor pada 1990 yang dianggap menistakan Nabi Muhammad.
Tabloid Monitor edisi 15 Oktober 1990 menampilkan hasil jajak pendapat dengan tajuk “50 Tokoh yang Dikagumi Pembaca."Program ini mempersilakan kepada khalayak pembaca Monitor untuk mengikuti polling mengenai tokoh yang paling dikagumi dengan cara mengirimkan kartu pos ke redaksi.
Hasilnya, Presiden Soeharto di peringkat teratas dengan 5.003 suara dari kartu pos kiriman pembaca. Urutan berikutnya ditempati oleh B.J. Habibie, Ir. Sukarno, Iwan Fals, Zainudin MZ, Try Sutrisno, Saddam Husein, Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut), dan Arswendo Atmowiloto sendiri.
Yang menjadi titik kontroversi adalah di posisi ke-11 yang menunjukkan nama Nabi Muhammad. Dari 33.963 lembar total kartu pos hasil survei, hanya 616 kartu pos saja yang memilih Rasulullah sebagai orang yang paling dikagumi oleh pembaca Monitor yang tentu saja rakyat Indonesia sendiri.
Diprotes Bertubi-tubi
Gelombang protes pun berdatangan. Arswendo selaku pemimpin redaksi Monitor menjadi sasaran utamanya. Ia dianggap telah melecehkan agama dan nabi umat Islam meskipun tabloidnya hanya menyajikan hasil jajak pendapat kiriman pembaca saja.
Tokoh-tokoh Islam pun beramai-ramai mengecam Arswendo dan Monitor. Salah satunya adalah Amien Rais dari Muhammadiyah. Menurutnya, dikutip dari tulisan Muhammad Taufiq dalam Sangpencerah.id (7 November 2016), Monitor telah memberikan pukulan serius yang menghina umat Islam.
Nurcholis Madjid alias Cak Nur yang dikenal sebagai cendekiawan muslim moderat bahkan ikut geram. Sebagai muslim, ia merasa disepelekan. Hasil survei itu dianggap telah meruntuhkan upayanya dalam merajut toleransi beragama di Indonesia. Cak Nur bahkan mengharapkan Monitor dibredel.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) saat itu, K.H. Hasan Basri, juga turut mengutuk. “Angket yang dimuat Monitor telah menjurus ke hal SARA. Keyakinan adalah hal yang sangat hakiki, tidak boleh dibuat suatu gurauan!” sembur sang kiai.
Demikian pula dengan Zainuddin MZ. “Adanya kasus Monitor tampaknya mengganggu kerukunan beragama yang selama ini terbina," kata ustaz sejuta umat ini dikutip dari buku Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia (2008) suntingan Taufik Rahzen,
Tak hanya dari personal, protes terhadap Monitor dan Arswendo juga dilancarkan oleh berbagai organisasi masyarakat dan kepemudaan berbasis Islam, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pemuda Muhammadiyah, dan lainnya, juga media-media massa kala itu.
Arswendo Dibui, Monitor Mati
Dua hari setelah terbitnya edisi Monitor yang memuat hasil angket itu, seperti terungkap dalam buku Seabad Pers Kebangsaan 1907-2007 (2007) yang disusun Muhidin M. Dahlan dan kawan-kawan, massa muslim menggelar aksi protes dengan satu tuntutan bersama, adili Arswendo.
Dalam serangkaian gerakan unjukrasa tersebut, massa juga membakar patung Arswendo yang dibuat dari kertas koran Monitor. Tak hanya itu, umat Islam di berbagai daerah menunjukkan kekesalan mereka atas perkara ini dengan berbagai cara.
Puncaknya terjadi pada 22 Oktober 1990. Massa berdatangan dan mengepung gedung redaksi Monitor. Mereka melempari kantor, menerobos ruang redaksi, mengobrak-abrik arsip, menghancurkan komputer, hingga menjungkir-balikkan kursi dan meja.
Arswendo sadar betul apa yang terjadi. Ia meminta bantuan Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun. Namun, Cak Nun angkat tangan karena umat Islam yang marah bukan hanya dari Jawa Timur saja, tetapi juga dari berbagai penjuru. Kelak, Cak Nun menyinggung soal Arswendo ini dalam karyanya yang berjudul Markesot Bertutur Lagi (2012).
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang kala itu menjabat sebagai Ketua Umum PBNU sempat berusaha meredakan amarah umat. Gus Dur berkata bahwa wibawa Nabi Muhammad tidak akan berkurang hanya karena kasus Monitor. Namun, massa kadung terluka lagi murka.
Tidak ada pilihan lain bagi Arswendo selain meminta maaf dan menyerahkan kasus tersebut kepada pihak yang berwajib.
“Saya minta maaf. Sedikit pun saya tidak bermaksud menyengsarakan saudara-saudara semua,” ucapnya, dikutip dari artikel bertajuk "Wendo dan Tujuh Samurai" yang dimuat Pantau.or.id.
Ia mengakui bahwa perkara ini terjadi semata-mata karena keteledorannya. “Tanpa ada yang memberi tahu pun, harusnya sudah tahu. Nyatanya saya bego, sangat bego, jahilun,” sesal Arswendo.
Tabloid Monitor, yang 30 persen sahamnya dimiliki oleh Menteri Penerangan saat itu, Harmoko, juga telah menyatakan permohonan maaf yang dimuat dalam edisi 22 Oktober 1990:
“Kami, seluruh karyawan Monitor, memohon maaf yang sebesar-besarnya karena berbuat khilaf memuat ‘Ini Dia: 50 Tokoh Yang Dikagumi Pembaca Kita’ dalam terbitan No. 225/IV 15 Oktober 1990.”
“Pemuatan tersebut dapat menimbulkan penafsiran yang keliru dan dapat menyinggung perasaan, khususnya umat Islam. Dengan ini, kami mencabut tulisan tersebut dan menganggap tidak pernah ada.”
Namun, nasi telah menjadi bubur. Arswendo Atmowiloto wajib mempertanggungjawabkan persoalan yang sudah terlanjur gawat itu. Ia diperiksa, menjalani pengadilan, dan divonis penjara selama 5 tahun.
Tak hanya itu, Menteri Penerangan Harmoko mencabut izin terbit Monitor terhitung tanggal 23 Oktober 1990 meskipun salah satu orang kepercayaan Soeharto ini punya saham di tabloid tersebut.
Editor: Abdul Aziz