tirto.id - Komnas Perempuan mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan ketentuan batas usia pernikahan dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Komisioner Komnas Perempuan Indri Suparno menilai putusan MK dalam uji materi pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan tersebut sudah tepat dan akan membawa dampak signifikan.
"Kenapa [putusan] ini penting? Karena faktanya UU Perkawinan jadi legitimasi perkawinan anak di banyak daerah," kata Indri di kantor Komisi Yudisial, Jakarta, Kamis (13/12/2018).
Meski demikian, Indri menilai pekerjaan untuk mencegah pernikahan anak-anak terjadi masih belum selesai. Menurut dia, pelaksanaan putusan MK tersebut harus dikawal agar dispensasi usia pernikahan tidak lagi diberikan Pengadilan Agama.
"Di beberapa daerah, dispensasi usia perkawinan terjadi tidak karena faktor kedaruratan, tapi bisa jadi karena tafsir keagamaan,” kata Indri.
“[Ada anggapan kalau] sudah 'kumpul', sebaiknya menikah. Itu yang membuat perempuan terpaksa memasuki usia perkawinan dalam rentang usia yang belum matang," tambah Indri.
Indri juga berharap, putusan MK tersebut menjadi rujukan penegak hukum maupun lembaga yang menangani pembelaan terhadap hak perempuan, untuk bertindak. Dengan demikian, kasus perempuan berusia anak-anak yang menikah bisa ditekan jumlahnya.
Indri menambahkan pengawalan juga harus dilakukan terhadap pelaksanaan perintah MK agar DPR dan pemerintah merevisi UU Perkawinan, khususnya terkait batas usia pernikahan. MK memberi waktu tiga tahun bagi pemerintah dan DPR untuk merevisi UU Perkawinan.
Menurut Indri, pengawalan perlu dilakukan karena revisi UU Perkawinan seharusnya tidak hanya pada perubahan aturan batas usia pernikahan. Dia mencontohkan ketentuan UU Perkawinan tentang hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan dalam pernikahan juga sudah waktunya diubah.
"Komnas Perempuan mendorong supaya ada pengawalan proses advokasi [Revisi UU Perkawinan]," kata Indri.
Gugatan uji materi terhadap pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan diajukan oleh Endang W, Maryanti dan Rasminah. Mereka menilai, pasal tersebut diskriminatif terhadap perempuan.
MK mengabulkan gugatan ketiga orang tersebut karena menilai pasal itu diskriminatif dan tumpang-tindih dengan kebijakan lainnya. UU Perkawinan semula mengatur usia minimal perempuan untuk menikah adalah 16 tahun, sedangkan laki-laki 19 tahun. MK memutuskan pasal itu bermasalah dan harus segera direvisi dengan batas paling lama tiga tahun oleh pembentuk undang-undang.
"Menyatakan Pasal 7 ayat 1 sepanjang frasa usia 16 tahun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara RI tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3019) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum," kata Anwar Usman selaku Ketua Majelis saat membacakan hasil keputusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (13/12/2018).
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Addi M Idhom