Menuju konten utama
Pemberantasan Korupsi

Duduk Perkara Polemik Pernyataan Megawati soal Pembubaran KPK

Pernyataan Megawati Soekarnoputri terkait pembubaran KPK menuai polemik hingga PDIP mengklarifikasi.

Duduk Perkara Polemik Pernyataan Megawati soal Pembubaran KPK
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri berpidato saat peluncuran lagu resmi kampanye bakal capres Ganjar Pranowo di sela Rakernas III PDI Perjuangan di Jakarta, Rabu (7/6/2023). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/nz

tirto.id - Cerita Megawati Soekarnoputri soal dirinya pernah meminta Presiden Joko Widodo agar membubarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuai polemik. Sebab, membubarkan komisi antirasuah sama saja memberikan “karpet merah” bagi para koruptor menggarong duit negara.

Pernyataan Megawati tersebut diungkapkan dalam acara Sosialisasi Buku Teks Utama Pendidikan Pancasila Jenjang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Pada Satuan Pendidikan Pelaksana Implementasi Kurikulum Merdeka di The Tribrata Darmawangsa, Senin (21/8/2023).

Saat itu, Megawati menyoroti soal kondisi rakyat yang masih miskin, sementara ada pihak yang melakukan korupsi. Ia juga menyebut bahwa para penegak hukum tidak mau menjalankan hukum yang sudah dibuat di era ketua umum PDIP itu menjabat sebagai presiden. Lembaga yang dimaksud Megawati adalah KPK yang resmi lahir pada 29 Desember 2003. Dasarnya adalah UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Megawati lantas menyinggung soal keberadaan sekitar 300 ribu kredit macet. Setelah resmi membentuk KPK, Megawati mengaku malah dikritik karena persoalan kredit macet tersebut.

“Wah, waktu itu yang bukan KPK ini, enggak percaya. Katanya, mana mungkin 300 kredit macet itu digugat. Malak pengusaha-pengusaha ini. Saya bilang sama KPK-nya, sini dong buktikan kalau saya malak. Ini dunia modern, saya mau naruh uangnya di mana? Emangnya di karung?” kata Megawati.

Megawati menegaskan semua tindakan selalu ketahuan di dunia modern. Ketua Dewan Pengarah BPIP ini mengaku bahkan pernah meminta Presiden Jokowi untuk membubarkan KPK karena tidak efektif.

“Saya sampai kadang-kadang bilang sama Pak Jokowi, sudah deh bubarin aja KPK itu pak. Menurut saya enggak efektif. Ibu nih kalau ngomong ces pleng, lho aku sing nggaweke kok (lho saya yang bikin kok)” kata Megawati.

Sontak, pernyataan Megawati tersebut langsung mendapat kritik keras dari para pegiat antikorupsi. Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai, kinerja KPK tidak efektif akibat ulah partai politik. Ia beralasan, produk hukum terhadap KPK saat ini, yang dibuat legislatif dari notabene adalah representasi parpol, serta pemilihan pimpinan KPK lah pemicu masalahnya.

“Mestinya Bu Mega memahami bahwa biang kerok yang menyebabkan kinerja KPK tak efektif, ya karena ulah partai politik sendiri. Sebab, produk hukum seperti UU KPK baru, lalu terpilihnya pimpinan KPK penuh kontroversi disepakati oleh sebagian besar partai di DPR,” kata Kurnia, Rabu (23/8/2023).

Kurnia menilai, Megawati perlu sadar bahwa KPK bukan sebaiknya dibubarkan, melainkan direvolusi total. Menurut dia, revolusi tersebut dilakukan lewat cara mengembalikan Undang-Undang KPK ke Nomor 30 tahun 2002 dari Nomor 19 tahun 2019.

Selain itu, Kurnia juga mendorong agar pimpinan KPK diubah. Ia malah menyindir Megawati agar meminta lembaga antirasuah menyelesaikan perkara yang stagnan, salah satunya penangkapan eks caleg dari PDIP, Harun Masiku.

“Revolusi yang dimaksud dengan cara mengembalikan UU KPK seperti sedia kala dan merombak total struktur pimpinan KPK," tutur Kurnia.

Gedung KPK

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). ANTARA/Fianda Sjofjan Rassat

Hal senada diungkapkan pegiat antikorupsi dari Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) UGM Yogyakarta, Zaenur Rohman. Ia menilai kinerja KPK melemah karena dua faktor. Pertama adalah revisi UU KPK yang dilakukan legislatif. Kedua, pimpinan KPK saat ini.

Kedua faktor tersebut, kata Zaenur, yang membuat kinerja KPK tidak optimal.

“Yang perlu dilihat adalah apa sih yang menyebabkan kinerja KPK itu dianggap tidak cukup baik seperti kondisi saat ini? Saya melihat penyebabnya, ya pembentuk undang-undang yaitu pemerintah dan DPR ketika mereka melakukan revisi UU KPK yang menjadi Undang-Undang [Nomor] 19 tahun 2019 dan juga pemerintah dan DPR pula yang memilih para pimpinan KPK yang sekarang eksis," kata Zaenur.

Zaenur mengenang bahwa KPK memang membuat gerah para koruptor sehingga kerap diserang. Setidaknya ada dua momen 'serangan besar' kepada KPK. Pertama adalah serangan fisik hingga kriminalisasi kepada pegawai maupun pimpinan seperti penyerangan kepada eks penyidik KPK, Novel Baswedan maupun pencurian alat kerja penyidik.

Kedua adalah pelemahan eksistensi KPK lewat perubahan regulasi UU Nomor 30 tahun 2002 menjadi UU 19 tahun 2019. Aturan tersebut membuat KPK kehilangan independensi, pegawai menjadi bagian pemerintah dengan status ASN dan Dewan Pengawas KPK dipilih presiden.

Kehilangan independensi tersebut, dalam kacamata Zaenur, krusial karena KPK menjadi tidak berbeda dengan organisasi lain.

Lebih lanjut, Zaenur menilai, ada dua opsi terkait nasib KPK saat ini. Pertama, pemerintah harus memperjelas nasib KPK dengan mengembalikan independensi KPK atau setidaknya mengembalikan kewenangan sesuai UU Nomor 30 tahun 2002.

Opsi kedua adalah membubarkan KPK, tapi harus dengan solusi jelas dalam pemberantasan korupsi. Jika tidak ada kejelasan dalam pemberantasan korupsi usai pembubaran KPK, maka hal itu memberikan “karpet merah” bagi para koruptor.

Ia mengingatkan, esensi pembentukan KPK adalah upaya pemberantasan korupsi di tengah kondisi lembaga penegak hukum, yaitu kepolisian dan kejaksaan yang kala itu terindikasi korup.

“Tanpa Indonesia memperbaiki penegak hukumnya, khususnya kepolisian dan kejaksaan, maka korupsi tidak akan pernah bisa diberantas karena justru memang selama ini yang masih menjadi problem dari pemberantasan korupsi adalah institusi penegak hukum masih sangat dianggap belum bebas dari praktik-praktik korupsi,” kata Zaenur.

HUT ke-50 PDIP

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menyampaikan pidato politiknya saat perayaan HUT ke-50 PDIP di JIExpo, Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa (10/1/2023). FOTO/ tim humas pdip

Klarifikasi PDIP soal Pernyataan Megawati

PDIP pun mengklarifikasi pernyataan Megawati tentang pembubaran KPK yang ramai diperbincangkan. Sekjen DPP PDIP, Hasto Kristiyanto berdalih, pernyataan Megawati dipelintir media.

“Itu dipelintir. Maksud Bu Mega, beliau yang mendirikan KPK, (tapi korupsi) masih jadi persoalan pokok,” kata Hasto menjawab pertanyaan wartawan di Yogyakarta, Selasa (22/8/2023) dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto pada Rabu (23/8/2023).

Hasto mengatakan, Megawati justru ingin KPK tidak bersifat adhoc, melainkan lembaga permanen. “Bu Mega menegaskan jangan hanya komisi, karena komisi sifatnya bukan permanen,” kata Hasto mengklaim.

Hasto menekankan bahwa Megawati ingin agar gerakan pemberantasan korupsi mampu menurunkan angka serta perilaku korupsi anggaran negara. Ia ingin momen tersebut dilakukan secara sungguh-sungguh. Ia juga mengaku sempat mengklarifikasi langsung mengenai isu tersebut.

“Baru saja saya melakukan konfirmasi juga kepada Ibu Megawati Soekarnoputri, (bahwa Bu Mega ingin KPK bubar) sama sekali tidak benar, karena beliau mendirikan KPK itu dalam spirit untuk memenuhi amanat dari reformasi,” kata Hasto.

Baca juga artikel terkait KPK atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz